Logo
>

Investor Energi Hijau Masih Tunggu dan Lihat

Investor masih cenderung berhati-hati dalam menyuntikkan dana ke sektor ini, terutama di tengah kondisi ekonomi global yang tidak stabil.

Ditulis oleh Dian Finka
Investor Energi Hijau Masih Tunggu dan Lihat
Papan pantau IHSG di Bursa Efek Indonesia. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Saham emiten energi terbarukan seperti PGEO, BREN, dan ADRO masih menghadapi tantangan besar meski ada dukungan pendanaan dari International Renewable Energy Agency (IRENA). 

    Pengamat pasar modal Ibrahim Assuaibi menilai bahwa investor masih cenderung berhati-hati dalam menyuntikkan dana ke sektor ini, terutama di tengah kondisi ekonomi global yang tidak stabil.

    "Saat ini, dengan adanya perang dagang dan perlambatan ekonomi global, investor lebih selektif. Mereka tidak ingin terburu-buru mengalokasikan dananya ke perusahaan energi hijau," ujar Ibrahim kepada KabarBursa.com di Jakarta, Minggu, 23 Maret 2025.

    Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa meskipun IRENA bisa menjadi katalis positif bagi sektor energi terbarukan, pendanaan yang diberikan tidak hanya berfokus pada Indonesia. 

    "IRENA juga membiayai proyek di Malaysia dan Thailand. Jadi, perusahaan energi terbarukan di Indonesia harus mencari sumber pendanaan lain agar tidak hanya bergantung pada IRENA," jelasnya.

    Ibrahim mencontohkan proyek geotermal di Jambi yang masih menghadapi berbagai kendala pendanaan.

    "Proyek geotermal membutuhkan investasi yang sangat besar. Pertamina, misalnya, pernah membangun proyek di Jambi dengan anggaran puluhan triliun rupiah, namun hingga kini masih tertatih-tatih karena sulit mendapatkan investor yang tepat,” ungkapnya.

    Menurutnya, transisi energi tidak bisa berjalan instan, terutama karena biaya investasi yang masih tinggi. 

    "Pendanaan global memang bisa membantu, tetapi tanpa strategi yang matang dan kesiapan industri, sektor ini masih harus menghadapi banyak tantangan," tutupnya.

    Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 

    Meski dihadapkan pada berbagai kendala, menurut Catatan CREA, proyek energi terbarukan yang prospektif saat ini mencapai 45 GW. Jika dikelola dengan baik, angka ini bisa melampaui target energi baru terbarukan (EBT) dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2030 yang ditetapkan sebesar 38 GW. Katherine juga menyoroti selain percepatan proyek energi hijau, perhatian juga perlu diberikan pada pembatalan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang masih berbasis batu bara.  

    "Yang seharusnya dipertanyakan adalah proyek PLTU mana saja yang sudah dibatalkan? PLN misalnya, membatalkan proyek PLTU sebesar 13,3 GW, sementara Hyundai juga menarik diri dari pembelian aluminium Adaro yang diproduksi dengan PLTU batu bara. Ini menunjukkan bahwa peralihan ke energi terbarukan bukan hanya untuk memenuhi komitmen iklim, tetapi juga demi keberlanjutan bisnis," jelasnya.  

    Saat ini, RUU EBET sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025 setelah di-carryover dari Komisi VII DPR periode 2019-2024. Ketua Komisi XII DPR RI—yang kini menjadi komisi bidang energi menggantikan Komisi VII—Bambang Patijaya, mengatakan RUU EBET menjadi regulasi yang ia tandatangani pertama setelah menjadi pimpinan komisi tersebut.
     
    Ia berjanji komisinya akan menyegerakan pembahasan RUU EBET untuk kepastian sektor energi terbarukan di Indonesia. Tanpa kepastian hukum, kata dia, pengembangan energi terbarukan bisa terhambat oleh kebijakan yang tumpang tindih. “Kita ingin memastikan bahwa regulasi ini akan mendukung industrialisasi nasional, bukan malah memperumit proses transisi energi,” kata Bambang dalam Diksusi Forum Legislasi bertajuk “RUU EBT Kembali Dibahas, Menanti Energi Terbarukan Sebagai Solusi Energi” di Komplek Parlemen, Jakarta Pusat, pada Selasa, 25 Februari 2025, lalu.
     
    Politikus Partai Golkar ini pun mengatakan RUU EBT bukan hanya regulasi teknis, tetapi juga bagian dari strategi besar Indonesia dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi delapan persen yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. Kepastian regulasi di sektor energi terbarukan diyakini akan menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif dan mendorong pembangunan industri hijau.
     
    “Indonesia menargetkan pembangunan 107 gigawatt (GW) energi dalam 15 tahun ke depan, dan 75 persen di antaranya harus berasal dari energi terbarukan. Ini bukan hanya soal energi bersih, tapi juga ketahanan energi nasional dan daya saing industri,” jelas Bambang.

    Proyek Pembangkit Listrik Berbasis Energi Terbarukan

    Ambisi transisi energi ini akan sulit terwujud tanpa strategi yang jelas dan percepatan proyek pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, terutama tenaga surya dan angin, yang kini menjadi fokus utama pemerintah dalam peta jalan ketenagalistrikan nasional. Dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024-2060, pemerintah menargetkan kapasitas pembangkit listrik berbasis energi bersih mencapai 75,6 gigawatt (GW) pada 2035. Namun, untuk bisa sampai ke angka itu, pengembangan tenaga surya dan angin dinilai perlu dikebut dengan strategi matang dan pengawasan ketat.
     
     Menurut laporan terbaru dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), tenaga surya merupakan opsi paling realistis untuk mempercepat pencapaian target ini. Dari 45 GW proyek pembangkit listrik yang prospektif, sekitar 16,5 GW di antaranya berasal dari tenaga surya, jauh lebih besar dibandingkan target yang disebutkan dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar 3,1 GW dan juga 30 persen lebih tinggi dari target RUKN 2030 sebesar 12,8 GW.
     
    Katherine menilai proyek-proyek energi terbarukan yang prospektif perlu segera diluncurkan dan dipantau agar target bisa tercapai lebih awal. Menurutnya, percepatan pengembangan proyek-proyek ini dapat meningkatkan kapasitas energi terbarukan Indonesia hingga empat kali lipat. “Proyek-proyek prospektif ini … akan meningkatkan kapasitas energi terbarukan Indonesia hingga empat kali lipat pada dekade berikutnya, melampaui target yang ditetapkan dalam RUKN pada 2030,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa, 4 Februari 2025, lalu.
     
    Berbeda dengan tenaga surya yang memiliki potensi besar, pengembangan pembangkit listrik tenaga angin masih tertinggal. Proyek tenaga angin yang tercatat baru mencapai 2,5 GW, lebih rendah dibandingkan target RUKN 2030 sebesar 4,8 GW.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.