KABARBURSA.COM - Partner di Ernst & Young Global Limited (EY) Indonesia, Reuben Tirtawidjaja, mengungkapkan penjualan saham perusahaan perdana kepada publik atau Initial Public Offering (IPO) sektor energi terbarukan menjadi perhatian penting seiring dengan langkah Indonesia menuju Net Zero Emission pada 2060. Beberapa perusahaan EBT yang telah melantai di bursa dalam lima tahun terakhir antara lain PT Kencana Energi Lestari Tbk (KEEN), PT Arkora Hydro Tbk (ARKO), PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN).
Meskipun jumlah IPO di sektor ini masih terbatas, Reuben menekankan harga saham perusahaan EBT telah meningkat setidaknya 30 persen pada 30 September 2024 dibandingkan harga penawaran perdana mereka. Hal ini, kata Reuben, menunjukkan tingginya minat investor.
"Mengingat komitmen Indonesia untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 dan antisipasi kebijakan yang menguntungkan dari pemerintahan baru terhadap industri energi terbarukan, diharapkan lebih banyak perusahaan energi terbarukan akan melakukan IPO di tahun-tahun mendatang," kata Reuben dalam keterangan tertulis, Senin, 14 Oktober 2024.
EY Asean IPO Leader, Chan Yew Kiang, memprediksi aktivitas IPO akan meningkat pada kuartal mendatang, terutama didorong oleh pelonggaran suku bunga dan kesiapan perusahaan-perusahaan untuk ekspansi di kawasan Asia. Menurutnya, kekuatan fundamental pasar dan dukungan regulator untuk memanfaatkan pasar modal turut menjadi faktor pendorong.
"Kami juga memprediksi bahwa akan ada peningkatan minat terhadap pencatatan lintas negara, seiring perusahaan mengejar ekuitas merek di pasar-pasar baru yang mereka eksplorasi," jelas Chan.
Chan memperkirakan sisa tahun 2024 akan dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral, dinamika geopolitik, serta hasil Pemilu AS. "Penurunan suku bunga dan inflasi menjadi optimisme tersendiri yang dapat memicu kebangkitan IPO, terutama di sektor-sektor yang sensitif terhadap biaya pinjaman," katanya.
Pasar utama seperti AS, Eropa, dan India diperkirakan akan mendukung pertumbuhan IPO, dengan banyak debut publik yang signifikan, terutama dari perusahaan private equity (PE) serta spin-off dan pemisahan bisnis yang mencari waktu tepat untuk melantai di bursa.
Sementara itu, EY Global IPO Leader, George Chan, menegaskan investor bersiap menghadapi paruh kedua 2024 yang penuh tantangan. "Saat inflasi dan suku bunga menurun, faktor-faktor lain mulai muncul sebagai prioritas dalam keputusan IPO," ujar George. Dalam situasi yang tidak pasti ini, menurutnya, wakty yang tepat dan narasi yang menarik menjadi kunci sukses bagi perusahaan yang ingin memanfaatkan peluang IPO.
Di tengah situasi global yang penuh ketidakpastian, pasar IPO global pada kuartal III-2024 tetap menunjukkan optimisme. Meskipun volume IPO turun 14 persen secara tahunan menjadi 310 IPO dan pendapatan menurun 35 persen menjadi 24,9 miliar dolar AS, kuartal ini sedikit lebih baik dibanding dua kuartal pertama tahun 2024.
Di kawasan Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan India, hasil IPO justru meningkat 45 persen dibanding tahun lalu. Namun, Indonesia mengalami penurunan dalam tiga kuartal pertama 2024 dengan hanya mencatat 34 IPO dan total pengumpulan dana sebesar USD300 juta, jauh lebih rendah dibandingkan 66 IPO pada periode yang sama tahun sebelumnya yang meraih USD3,3 miliar.
Selain itu, kinerja IPO Indonesia pada kuartal III-2024 juga kalah bersaing dengan negara tetangga seperti Malaysia yang mengumpulkan USD1,4 miliar dan Thailand dengan USD0,6 miliar.
Pemanfaatan Baru 14 Persen
Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang mencapai 3.677 gigawatt. Potensi ini berasal dari berbagai sumber seperti tenaga surya, angin, air, biomassa, arus laut, hingga panas bumi. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani mengungkapkan hal ini dalam acara Leaders Forum ‘Menuju Indonesia Hijau: Inovasi Energi dan Sumber Daya Manusia,’ di Hotel St. Regis, Jakarta Selatan, Selasa, 17 September 2024.
Rosan menjelaskan, meskipun potensi EBT di Indonesia sangat besar, pemanfaatannya masih jauh dari harapan. Hingga saat ini, Indonesia baru mampu memanfaatkan sekitar 14 persen dari total potensi tersebut. Angka ini masih jauh dari target 23 persen yang telah ditetapkan untuk tahun 2025.
“Energi baru terbarukan itu 14 persen, padahal target kita pada tahun 2025 setahun dari sekarang itu sebetulnya adalah 23 persen. Jadi kita memang ketinggalan,” ungkap Rosan.
Salah satu sumber energi yang belum dimanfaatkan secara optimal adalah panas bumi. Saat ini, kontribusi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) hanya mencapai 3 persen dari total produksi listrik nasional. Padahal, Indonesia memiliki cadangan energi panas bumi terbesar kedua di dunia, yang sebagian besar tersimpan di Pulau Jawa.
“Potensi panas bumi kita mungkin nomor dua terbesar di dunia, terutama di Pulau Jawa. Namun, utilisasinya masih kurang dari 3 persen,” jelas Rosan.
Rosan menilai, tanpa adanya kebijakan yang mendukung, seperti pemberian insentif kepada pengusaha atau investor, potensi energi terbarukan di Indonesia akan sulit untuk berkembang. Ia menekankan pentingnya kebijakan yang mampu mendorong peralihan ke energi hijau secara lebih cepat, efektif, dan efisien.
“Kita bisa beralih ke energi hijau dengan lebih cepat, lebih baik, lebih efektif dan lebih efisien,” kata Rosan.(*)