KABARBURSA.COM – Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia sekaligus praktisi pasar karbon, Paul Butarbutar, menilai potensi pasar karbon nasional masih sangat besar, namun belum sepenuhnya tergarap optimal. Menurutnya, dinamika supply dan demand menjadi kunci utama dalam menentukan arah dan daya saing pasar karbon Indonesia.
“Selama ini jumlah sertifikat pengurangan emisi (SPE) yang berhasil terjual di bursa belum sampai dua juta ton. Itu angka yang rendah, dan menjadi cerminan bahwa pasar karbon kita belum atraktif,” kata Paul dalam diskusi Indonesia Carbon Market Academy (ICMA) di Jakarta, Kamis, 24 Juli 2025.
Paul menjelaskan, penyebab rendahnya volume transaksi di pasar karbon domestik terutama karena dua hal: kualitas proyek yang masih belum konsisten, serta minimnya permintaan (demand) dari sektor pengguna.
“Pertama, tentu soal kualitas proyek karbonnya sendiri. Kedua, demand-nya belum cukup terbentuk. Kita belum bisa menciptakan kebutuhan dari sisi pembeli, baik di sektor industri maupun sektor lainnya,” ujarnya.
Namun ia memberi catatan positif bahwa saat ini Kementerian Perindustrian tengah menyusun skema wajib penurunan emisi untuk sektor industri. Jika implementasi ini berjalan sesuai rencana, maka akan muncul permintaan baru yang dapat mendorong pasar karbon domestik lebih aktif.
Paul juga menyoroti pentingnya pendekatan berbasis komunitas dalam proyek karbon. Ia menegaskan, orientasi masyarakat lokal dalam inisiatif pengurangan emisi sering kali bukan pada besaran nilai ekonominya, melainkan pada manfaat langsung yang mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari.
“Misalnya proyek kehutanan masyarakat di Jambi, itu bukan soal mereka langsung dapat miliaran dari karbon kredit. Tapi dari program itu, mereka bisa memproduksi hasil bumi secara berkelanjutan, dan itu jadi insentif tersendiri. Produksi yang berkelanjutan itulah yang jadi sumber penghasilan utama,” jelasnya.
Contoh lain ia sampaikan dari pengalaman Fairatmos di Lambulet, di mana pelibatan masyarakat lebih sebagai bagian dari program sosial dan pemulihan lingkungan. “Ketika masyarakat bisa kembali produktif, di situlah sebenarnya insentif terbesar bagi mereka,” tambahnya.
Meski masih banyak tantangan, Paul menilai kemajuan pasar karbon Indonesia sejak 2021 cukup signifikan. Ia menyebut pencapaian 2024, di mana Indonesia untuk pertama kalinya membuka perdagangan karbon secara internasional, sebagai tonggak penting.
“Dari yang awalnya masih mempelajari struktur bursa karbon, sekarang kita sudah sampai ke tahap perdagangan terbuka dengan pelibatan internasional. Ini patut diapresiasi,” ucapnya.
Ia menegaskan bahwa pembangunan ekosistem karbon masih berlangsung dan bersifat dinamis. Banyak aspek yang perlu terus disempurnakan, mulai dari regulasi, verifikasi proyek, hingga peningkatan partisipasi lintas sektor.
Menurut Paul, prospek ekonomi dari pasar karbon sangat tergantung pada jenis dan skala proyek yang dijalankan. Karena itu, pendekatan yang digunakan tidak bisa seragam.
“Jumlah uang yang bisa dihasilkan sangat tergantung dari proyeknya. Tidak semua proyek akan menghasilkan karbon kredit bernilai tinggi. Tapi kalau proyeknya tepat dan terverifikasi baik, nilai jualnya bisa signifikan,” ujarnya.
Di tengah euforia transisi energi dan komitmen pengurangan emisi, Paul menekankan pentingnya membangun pasar karbon yang kredibel, transparan, dan inklusif. Ia juga menyambut positif berbagai inisiatif lintas sektor, termasuk upaya pemerintah mendorong keterlibatan swasta dan masyarakat.
“Kalau kita ingin pasar karbon Indonesia tumbuh dan bersaing global, maka semua pemangku kepentingan harus dilibatkan. Ini bukan soal segelintir pemain, tapi soal keadilan, transparansi, dan keberlanjutan,” katanya.(*)