Logo
>

Konsumsi Bensin Masih Tinggi, Progres Bioetanol Mandek

Ditulis oleh KabarBursa.com
Konsumsi Bensin Masih Tinggi, Progres Bioetanol Mandek

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Permintaan bahan bakar minyak (BBM) jenis bensin di Indonesia diperkirakan akan tetap tinggi seiring dengan meningkatnya kepemilikan kendaraan berbasis mesin pembakaran internal. Hal ini ditambah dengan minimnya ketersediaan energi alternatif dari sektor biofuel, meskipun upaya pemerintah untuk memperkenalkan bioetanol sebagai bahan campuran bensin terus berjalan.

    Peneliti dari BMI, yang merupakan bagian dari Fitch Solutions, mencatat bahwa konsumsi bensin di Indonesia terus stabil dari tahun 2022 hingga 2024, dengan rata-rata permintaan dari sektor transportasi mencapai 634.000 barel per hari (BOPD). Meski demikian, pertumbuhan tahunan permintaan BBM melambat menjadi 0,9 persen selama periode 2018-2023, dibandingkan dengan 2,9 persen pada rentang waktu 2014-2019.

    "Permintaan bensin diperkirakan terus naik seiring dengan tingginya kepemilikan mobil," tulis BMI dalam laporan terbarunya yang dirilis pada Jumat, 30 Agustus 2024. Namun, meskipun pasar bensin domestik tergolong besar, Indonesia masih menghadapi kendala dalam mengimpor etanol, yang berdampak pada pelaksanaan program bioetanol dalam negeri.

    Setelah keberhasilan program biodiesel, pemerintah kini mengalihkan fokusnya untuk memproduksi etanol di dalam negeri guna meluncurkan bensin campuran bioetanol. Pada Juli 2023, PT Pertamina (Persero) memulai penjualan Pertamax Green 95, yaitu BBM dengan campuran 5 persen bioetanol, di beberapa stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Jakarta dan Surabaya. Namun demikian, menurut BMI, kemajuan ini masih akan terbatas dalam jangka menengah, karena kapasitas produksi etanol dalam negeri masih minim.

    Hingga saat ini, Indonesia hanya memiliki satu pabrik etanol di Jawa Timur dengan kapasitas produksi 690 barel per hari, yang sangat jauh dibandingkan dengan kapasitas produksi biodiesel yang mencapai 349.000 barel per hari. BMI menekankan bahwa investasi besar diperlukan untuk memperluas perkebunan tebu dan meningkatkan kapasitas produksi etanol. Jika tidak, Indonesia akan terpaksa mengimpor etanol untuk memenuhi target yang telah ditetapkan.

    Dengan keterbatasan ini, kecil kemungkinan etanol akan mampu menggantikan BBM konvensional dalam waktu dekat. Di sisi lain, permintaan bensin di Indonesia diperkirakan akan tetap tinggi dalam jangka panjang, meskipun laju pertumbuhannya melambat seiring upaya pemerintah melakukan diversifikasi energi dari bahan bakar fosil. BMI memperkirakan pertumbuhan permintaan bensin akan mencapai rata-rata 2 persen per tahun hingga 2026, turun dari estimasi sebelumnya sebesar 3 persen.

    Konsumsi BBM olahan pada tahun 2024 akan terus didorong oleh permintaan yang stabil terhadap solar, bensin, LPG, dan bahan bakar jet. Namun, pertumbuhan permintaan BBM diprediksi akan melambat akibat langkah-langkah pemerintah seperti peningkatan pasokan gas alam untuk sektor listrik guna mendorong transisi energi, serta pengurangan subsidi bahan bakar. Peningkatan penggunaan biofuel di sektor transportasi juga diperkirakan akan mengurangi permintaan terhadap solar dari kilang, sehingga meredupkan prospek pertumbuhan permintaan bahan bakar jangka panjang.

    "Kami memproyeksikan total konsumsi bahan bakar di Indonesia akan stabil di kisaran 1,7—1,76 juta BOPD antara tahun 2024 hingga 2026," papar BMI.

    Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa Indonesia membutuhkan 2 juta kiloliter (kl) bioetanol per tahun jika pemerintah memutuskan menerapkan campuran bensin dengan 5 persen bioetanol (E5) yang menjadi pengganti potensial untuk Pertalite atau Pertamax.

    Namun, saat ini Indonesia hanya memiliki dua pabrik yang mampu memproduksi bioetanol berkualitas bahan bakar (fuel grade) dengan kapasitas 40.000 kl per tahun. Padahal, Indonesia sebenarnya memiliki 11 pabrik dengan total kapasitas 400.000 kl per tahun, namun hanya 40.000 kl per tahun yang memenuhi standar fuel grade, sementara sisanya merupakan kualitas makanan (food grade).

    "Untuk E5 dibutuhkan 2 juta kl per tahun bioetanol, tetapi saat ini kita baru memiliki 40.000 kl per tahun yang memenuhi kualitas fuel grade 99,8 persen. Sisanya, 400.000 kl per tahun, itu masih kualitas food grade 95 persen," ungkap Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi.

    Eniya juga menambahkan bahwa Indonesia berpotensi untuk meningkatkan campuran bioetanol hingga 20 persen pada tahun 2025, sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 12/2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Namun, menurut Eniya, implementasi peraturan tersebut masih terkendala oleh harga dan cukai yang masih dikenakan pada etanol, bahan baku bioetanol.

    Cukai ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 160/2023 tentang Tarif Cukai Etil Alkohol, Minuman Beralkohol, dan Konsentrat yang Mengandung Etil Alkohol. Berdasarkan aturan tersebut, etanol dikenakan cukai sebesar Rp20.000 per liter, baik produksi dalam negeri maupun impor, yang menambah beban biaya dalam pengembangan bioetanol domestik. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi