KABARBURSA.COM – Dampak krisis iklim tak lagi berupa ancaman jangka panjang yang samar, tapi telah nyata terasa hingga ke meja makan rumah tangga. Laporan Climate extremes, food price spikes, and their wider societal risks yang dirilis pertengahan Juli 2025 menyebutkan harga beras di Indonesia melonjak hingga 16 persen pada Februari 2024 akibat kekeringan ekstrem yang terjadi tahun sebelumnya. Fenomena ini bukan kasus tunggal, melainkan bagian dari krisis iklim memicu lonjakan harga pangan di berbagai belahan dunia.
Temuan yang mengkaji 16 peristiwa iklim ekstrem di 18 negara selama periode 2022–2024 tersebut menggarisbawahi bagaimana gelombang panas, kekeringan, dan curah hujan tak menentu telah mendorong harga pangan melambung di luar pola normal yang pernah tercatat sebelumnya.
Tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah modern dengan suhu rata-rata global melampaui 1,5°C di atas tingkat pra-industri. Bukan hanya Indonesia yang terdampak. Di Korea Selatan, harga kubis naik 70 persen pada September 2024. Jepang mencatat lonjakan harga beras hingga 48 persen, sementara di China, harga sayur naik 30 persen.
Amerika Serikat juga terdampak kekeringan parah di California dan Arizona yang menyebabkan harga sayuran melonjak hingga 80 persen secara tahunan pada November 2022.

“Selama kita belum mencapai nol emisi, cuaca ekstrem akan terus memburuk dan berdampak pada hasil panen serta harga pangan di seluruh dunia,” kata penulis utama laporan tersebut, Maximillian Kotz, dikutip dari publikasi lembaga riset CERAH, Senin, 21 Juli 2025.
Dampak dari kenaikan harga pangan bukan hanya persoalan ekonomi, tapi juga kesehatan masyarakat. Laporan ini menyebut makanan sehat kini rata-rata dua kali lebih mahal per kalori dibanding makanan olahan. Dalam situasi krisis, keluarga berpendapatan rendah menjadi kelompok paling rentan—terpaksa mengganti asupan bergizi dengan pilihan yang lebih murah namun kurang sehat.
Kenaikan harga pangan tidak hanya berdampak pada konsumsi gizi, tetapi juga menambah potensi risiko penyakit kronis seperti diabetes, gangguan jantung, dan kanker. Di saat yang sama, beban psikologis turut meningkat akibat tekanan ekonomi dan ketidakpastian dalam ketersediaan bahan makanan.
Menurut temuan peneliti, masyarakat kini makin menyadari bahwa lonjakan harga pangan menjadi salah satu dampak paling nyata dari krisis iklim yang mereka rasakan, hanya kalah dari paparan panas ekstrem. "Keluarga berpenghasilan rendah seringkali terpaksa beralih ke makanan yang kurang bergizi dan lebih murah,” kata Maximillian.
Laporan ini mendorong perlunya sistem peringatan dini berbasis prakiraan iklim yang bisa memberi informasi tentang potensi dampak cuaca ekstrem terhadap produksi pangan. Dengan demikian, produsen dapat menyesuaikan strategi tanam, dan pemerintah bersama lembaga keuangan dapat mengantisipasi gejolak harga.
Situasi Indonesia tak kalah genting. Rata-rata suhu global kini berada di level 1,3°C di atas pra-industri dan diproyeksikan bisa tembus 3°C jika tak ada perubahan arah. Met Office bahkan memperkirakan 2025 akan menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah. Di tengah ketergantungan pangan nasional yang besar pada komoditas tunggal seperti beras, risiko kegagalan panen semakin mengemuka.
“Sistem pangan kita, terutama yang sangat bergantung pada satu komoditas seperti beras, kini berada di ambang kehancuran. Tanpa perubahan arah kebijakan yang segera, adil, dan fundamental, kita tidak hanya menghadapi krisis iklim tetapi juga krisis pangan yang berkepanjangan dan kronis,” ujar Yosi Amelia, Pimpinan Program Iklim dan Ekosistem di MADANI Berkelanjutan.
Yosi menyoroti proyek lumbung pangan nasional yang digagas pemerintah bukan jawaban yang tepat. Pembukaan lahan seluas 20 juta hektare untuk pertanian skala besar dianggap mengulang pendekatan lama yang sentralistik dan minim keberlanjutan. Selain rawan merusak lingkungan, pendekatan ini juga dinilai gagal mengintegrasikan pengetahuan lokal dan strategi adaptasi yang terbukti efektif.
“Pendekatan lumbung pangan justru berisiko memperburuknya. Ini bukanlah solusi jangka panjang. Yang benar-benar dibutuhkan Indonesia adalah transformasi fundamental sistem pertaniannya—yang berbasis pada diversifikasi pangan dan penguatan komoditas pangan lokal,” jelas Yosi.
Peringatan serupa disampaikan analis kebijakan CERAH, Sartika Nur Shalati. Ia menyoroti iklim ekstrem terhadap produksi beras di wilayah pesisir. Berdasarkan laporan CERAH tahun 2022, naiknya permukaan air laut hanya satu meter saja sudah berpotensi menenggelamkan lebih dari 130 ribu hektare sawah. Kerugian ini berarti kehilangan sekitar satu juta ton beras—jumlah yang seharusnya bisa memberi makan lima juta jiwa.
“Krisis iklim bukan lagi ancaman di masa depan, ancamannya kini sudah sampai ke meja makan kita. Jika tidak ada aksi konkret untuk menahan laju krisis iklim ini, maka krisis pangan akan berubah menjadi ancaman ekonomi dan ketahanan nasional yang lebih besar dan serius,” kata Sartika.
Laporan ini menambah deretan bukti bahwa krisis iklim tak lagi hanya berbicara soal naiknya permukaan laut atau mencairnya es di kutub. Di banyak negara, termasuk Indonesia, ancamannya sudah bergeser menjadi krisis harga, krisis kesehatan, dan krisis ketahanan pangan yang semuanya berpangkal pada sistem produksi yang tak cukup adaptif terhadap iklim ekstrem.(*)