KABARBURSA.COM – Langkah transisi energi yang diambil Indonesia dan negara-negara anggota BRICS akan menjadi kunci dalam menentukan berhasil tidaknya target global peningkatan kapasitas energi terbarukan tiga kali lipat pada 2030. Target ini merupakan komitmen yang disepakati dalam Konferensi Perubahan Iklim COP28.
Laporan bertajuk BRICS Going Green yang diterbitkan oleh Net Zero Policy Lab (NZPL) dari Johns Hopkins University menyebutkan, negara-negara BRICS—yang kini beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Indonesia, Iran, dan Uni Emirat Arab—menyumbang lebih dari 50 persen emisi karbon global. Secara kolektif, investasi energi bersih di kelompok ini telah mulai melampaui investasi energi fosil, didorong oleh langkah cepat Brasil, China, dan India. Namun, perbedaan kebijakan dan komitmen antarnegara masih menyisakan tantangan.
Laporan ini menegaskan, tanpa percepatan transisi energi, negara-negara BRICS, termasuk Indonesia, akan menghadapi berbagai risiko ekonomi. Mulai dari potensi sanksi perdagangan, kesenjangan akses teknologi, hingga posisi tawar yang lemah dalam rantai nilai global. Karena itu, pendekatan multilateralisme inklusif dinilai krusial untuk memastikan pembangunan yang adil dan berdaulat di kawasan selatan global.
Menurut peneliti dari Net Zero Policy Lab, Kritika Kapoor, adopsi kebijakan industri hijau oleh negara-negara BRICS bukan hanya dilandasi komitmen lingkungan, tapi juga pertimbangan ekonomi.
“Mengapa negara-negara BRICS mengadopsi kebijakan industri hijau ini? Salah satu alasannya adalah kebijakan ini memungkinkan mereka untuk mendapatkan bagian dari nilai ekonomi, lapangan kerja, dan produktivitas sektor yang berkembang pesat atau berisiko tertinggal. Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan teknologi bersih menyumbang sekitar 10 persen pertumbuhan PDB global tahun lalu,” ujarnya.
Kontribusi ini berasal dari berbagai lini aktivitas ekonomi yang berkelindan dengan transisi energi. Mulai dari manufaktur panel surya, baterai kendaraan listrik, dan turbin angin, hingga investasi di sektor pembangkitan energi terbarukan dan penjualan peralatan rumah tangga berbasis energi bersih seperti pompa panas.
Menurut IEA, nilai tambah yang dihasilkan sektor energi bersih ini mencapai sekitar USD320 miliar selama 2023. Angka itu setara dengan pertumbuhan ekonomi sebuah negara seperti Republik Ceko.
Penilaian kontribusi ekonomi dari sektor energi bersih ini merujuk pada analisis IEA yang dilakukan terhadap tiga kelompok utama aktivitas industri ramah lingkungan, yakni:
Investasi di sektor manufaktur teknologi energi bersih, yang mencakup seluruh rantai pasok produksi panel surya, turbin angin, hingga pabrik baterai.
Pembiayaan untuk pembangunan kapasitas pembangkit energi rendah karbon, mulai dari pembangkit tenaga surya, angin, nuklir, penyimpanan baterai, hingga infrastruktur jaringan listriknya. Ketiga, nilai ekonomi dari penjualan produk akhir berbasis teknologi bersih, seperti kendaraan listrik (EV) dan perangkat hemat energi seperti pompa panas.
Kategori inilah yang menjadi fondasi perhitungan kontribusi sektor energi bersih terhadap pertumbuhan ekonomi global.
Antara Ambisi dan Realita
Terlepas dari soal nilai tambah, laporan NZPL menyoroti kemajuan Indonesia dalam pengembangan manufaktur hijau. Salah satunya adalah kemitraan senilai USD10 miliar dengan Singapura untuk mengembangkan zona industri hijau di Bintan, Batam, dan Karimun, mencakup produksi panel surya dan baterai. Sebagai pusat hilirisasi nikel global, Indonesia juga mengumumkan target ambisius membangun kapasitas produksi baterai kendaraan listrik hingga 150 gigawatt hour (GWh) per tahun.
Namun di sisi lain, komitmen Indonesia terhadap transisi energi dinilai masih bertolak belakang dengan kebijakan ketenagalistrikan yang ada. Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024 masih menunjukkan ketergantungan pada batu bara hingga sekitar 60 persen. Padahal, Indonesia telah menetapkan target bauran energi terbarukan mencapai 75 GW pada 2040. Hingga kini, pemanfaatan energi terbarukan masih minim dibandingkan potensi besar yang dimiliki.
Rendahnya investasi dalam riset, pengembangan teknologi, dan pendidikan juga disebut sebagai hambatan serius untuk mewujudkan transformasi energi yang berkelanjutan dalam jangka panjang.
Untuk memastikan keberhasilan transisi energi global yang adil dan inklusif, laporan merekomendasikan tiga agenda kebijakan utama bagi negara-negara BRICS:
1. Kerja Sama Industri dan Teknologi
Negara-negara BRICS disarankan membangun kemitraan untuk berbagi kapasitas teknologi, pengetahuan produksi, dan infrastruktur manufaktur energi bersih. Hal ini mencakup pengembangan bersama teknologi seperti baterai, kendaraan listrik, dan sistem energi terbarukan.
2. Kerja Sama Pembiayaan dan Investasi
Ditekankan pentingnya memperluas pembiayaan transisi energi melalui lembaga keuangan pembangunan (DFI), bank pembangunan multilateral (MDB), serta membentuk mekanisme pendanaan intra-BRICS yang mendukung investasi pada industri hijau.
3. Multilateralisme yang Inklusif
Laporan menyerukan tata kelola global yang lebih adil, dengan keterlibatan aktif negara berkembang dalam menentukan aturan perdagangan, teknologi, dan investasi terkait industri hijau. BRICS diharapkan memimpin agenda global yang menjamin keadilan iklim dan akses teknologi yang setara.
Secara khusus untuk Indonesia, dibutuhkan reformasi menyeluruh dalam rantai pasok bahan bakar nabati (BBN). Sebagai negara dengan potensi bahan baku pertanian terbesar, Indonesia perlu mengatur kebijakan pemanfaatan lahan dan jalur konversi BBN yang ramah lingkungan guna menghindari deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Selain itu, Indonesia perlu memperkuat regulasi pencampuran dan sertifikasi BBN di sektor hilir, serta menyelaraskan kebijakan fiskal, perdagangan, dan teknologi agar mampu menopang pemanfaatan bahan bakar nabati secara luas.(*)