KABARBURSA.COM - Dari 11 hingga 22 November, hampir 200 negara berkumpul di agenda iklim COP29 buat urun rembuk soal duit buat iklim. Duit ini bakal jadi kunci biar transisi energi bersih bisa jalan dan negara-negara miskin enggak kelimpungan hadapi dampak perubahan iklim. Mereka membicarakan soal berapa banyak duit yang harus dikumpulin, dari mana aja sumbernya, dan siapa yang wajib bayar.
Dilansir dari Reuters, pada 2009, negara-negara kaya janji kasih USD100 miliar per tahun buat bantu negara berkembang. Duit itu baru beneran kekumpul pada 2022. Tapi, janji USD100 miliar batasnya habis tahun ini. Nah, mulai tahun depan, bakal ada target baru. Sayangnya, negara-negara masih pada hitung-hitungan. Targetnya mungkin bakal ada dua lapis:
- Sumbangan pokok dari pemerintah negara kaya.
- Tambahan dari lembaga keuangan internasional atau investor swasta.
Dulu, duitnya mayoritas dari anggaran negara. Tapi sekarang banyak yang mulai minta swasta ikutan urun.
Siapa yang Harus Bayar?
Amerika, misalnya, kasih hampir USD10 miliar tahun lalu. Tapi itu masih kalah sama Uni Eropa yang nyumbang USD31 miliar. Masalahnya, kalau Trump naik lagi jadi Presiden AS, sumbangan Amerika bisa hilang. Ini bikin pusing karena Amerika salah satu penyumbang terbesar. Trump dikenal tak suka dengan pendanaan iklim negara-negara berkembang karena hal itu membebani Negeri Paman Sam.
Ada juga tuntutan biar negara-negara kaya yang berkembang pesat, kayak China dan negara minyak Teluk biar ikut nyumbang. Tapi, China nolak mentah-mentah. Menurut mereka, tanggung jawab lebih besar ada di negara-negara industri lama kayak Inggris atau Amerika.
China udah invest miliaran buat energi bersih dan kendaraan listrik. Tapi, mereka jalan sendiri, enggak ikut aturan PBB.
Berapa Banyak yang Dibutuhkan?
Negara berkembang bilang kebutuhan mereka buat hadapi iklim rusak itu lebih dari USD1 triliun per tahun. Contoh, negara-negara Arab minta targetnya USD1,1 triliun per tahun, dengan USD441 miliar dari kantong negara maju. Sementara, Afrika, India, dan negara-negara pulau kecil juga setuju kalau angka USD1 triliun itu realistis. Tapi, mereka beda pendapat soal porsinya.
[caption id="attachment_101853" align="alignnone" width="3049"] Permintaan dana iklim dari negara-negara berkembang. Sumber: Reuters.[/caption]
Di sisi lain, negara kaya masih bingung. Mereka bilang angka segitu susah diwujudkan apalagi dengan ekonomi dunia yang lagi seret.
Kenapa Penting?
Perubahan iklim makin ngeri. Planet udah makin panas, sekitar 1,3 derajat Celsius lebih tinggi dari suhu rata-rata dulu. Ini bikin banjir makin parah, badai makin ganas, dan gelombang panas enggak ketulungan.
Masalahnya, janji pemotongan emisi negara-negara masih jauh dari cukup. Kalau COP29 gagal bikin kesepakatan duit besar, negara-negara bakal cari alasan buat enggak naikin ambisi iklim mereka alias penggunaan bahan bakar fosil dalam jumlah besar akan jalan terus.
Parahnya lagi, investasi energi bersih dunia masih timpang. Afrika, misalnya, cuma dapat 2 persen dari total investasi energi terbarukan global dalam 20 tahun terakhir.
Jadi, akankah duitnya kekumpul? Kesepakatan di COP29 harus disetujui semua negara. Kalau gagal, bakal susah mencegah krisis iklim yang lebih buruk. Yang jelas, kita butuh lebih dari sekadar janji. Kita butuh aksi—dan, ya, duitnya.
Debat Duit Demi Bumi
COP29 resmi digelar di Baku, Azerbaijan, sejak Senin, 11 November 2024. Tapi forum itu tak langsung ada pembahasan serius soal iklim. Faktanya, sesi pertama malah diwarnai sembilan jam adu argumen di balik layar. Isunya bukan soal cuaca ekstrem atau emisi karbon, tapi agenda diskusi. Setelah itu disepakati, barulah perhatian beralih ke topik utama yang nggak kalah panas: duit.
Buat yang belum akrab, COP adalah singkatan dari Conference of the Parties. Ini adalah ajang para negara—hampir 200 jumlahnya—yang udah tanda tangan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Tahun ini, giliran Azerbaijan yang jadi tuan rumah, negara tempat sumur minyak pertama dunia dibor. Di sini, selain bau bahan bakar yang masih tercium di udara, topik pembahasan juga dipenuhi aroma duit yang besar.
Di Baku, negara-negara berkembang rame-rame nuntut negara kaya buat bayar kompensasi. Duit itu bakal dipakai buat:
- Mengurangi polusi karbon.
- Beralih dari energi fosil ke energi bersih.
- Hadapi dampak bencana iklim yang makin ngeri, dari banjir sampai kekeringan.
Agar konferensi ini enggak langsung chaos dari awal, presiden COP29 yang baru, Mukhtar Babayev, ngumumin kabar baik, bahwa ada kesepakatan soal perdagangan hak emisi karbon. Katanya, ini bisa buka dana sampai USD250 miliar (sekitar Rp3.875 triliun) per tahun buat bantu negara miskin.
Tapi enggak semua seneng. Erika Lennon, pakar hukum lingkungan internasional, ngingetin kalau keputusan terburu-buru tanpa diskusi itu bahaya. Bisa-bisa malah bikin negosiasi berikutnya jadi berantakan.
Angka Fantastis dan Realitas Pahit
Ketika obrolan beralih ke dana besar, angka yang muncul bikin melongo: negara berkembang bilang butuh USD1,3 triliun (Rp20.150 triliun) per tahun. Angka ini banyak disuarakan negara-negara Afrika, yang walaupun cuma nyumbang 7 persen emisi gas rumah kaca dunia, udah sering kena getah krisis iklim dari banjir parah sampai kekeringan panjang.
Presiden Babayev langsung pasang nada tegas di pembukaan: “Dana ini harus menggantikan target lama yang cuma USD100 miliar per tahun.”
Negara-negara kaya, meski sadar angka itu besar, masih pada bingung cara ngumpulinnya. Skema pendanaannya beragam, mulai dari hibah, pinjaman lunak, sampai investasi swasta. Babayev sendiri bilang, “Angka ini memang kelihatan fantastis, tapi enggak sebanding sama biaya yang harus kita tanggung kalau enggak bertindak.”(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.