KABARBURSA.COM - Pada Sidang Umum PBB Senin, 23 September 2024, negara-negara berkembang meminta negara-negara terkaya di dunia untuk lebih serius membantu mereka menghadapi dampak ekstrem dari perubahan iklim.
Dilansir dari Reuters, Selasa, 24 September 2024, para pemimpin negara kepulauan kecil yang paling rentan terhadap kenaikan permukaan air laut mendesak negara-negara yang paling banyak membakar bahan bakar fosil – yang menjadi penyebab utama peningkatan suhu – untuk berhenti sekadar "omong kosong" soal isu ini.
"Saya bertanya-tanya apakah negara kita semakin jauh dari persatuan dan kekuatan moral yang kita butuhkan untuk melindungi rakyat kita," kata Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Samoa, Cedric Schuster, yang juga memimpin Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS).
Negara-negara pulau dalam AOSIS kini memiliki suara yang kuat dalam pembicaraan iklim global. Dalam konferensi pers Senin, 23 September 2024, Schuster menantang negara-negara ekonomi terbesar di dunia dalam kelompok G20, yang menyumbang lebih dari 80 persen emisi gas rumah kaca global.
"Kita butuh semua negara, terutama G20, untuk memimpin dalam pengurangan emisi dan pendanaan iklim," kata Schuster kepada wartawan. "Orang-orang yang rentan di dunia kita sudah lelah dengan janji kosong."
Pesan serupa disampaikan Menteri Iklim dan Sumber Daya Alam Malawi, Yusuf Mkungula, yang berbicara atas nama blok negara-negara kurang berkembang. "Negara-negara industri harus memimpin."
Permohonan ini menyoroti semakin lebarnya kesenjangan antara negara-negara yang paling banyak berkontribusi pada pemanasan global dan mereka yang paling menderita akibatnya, menunjukkan bahwa perubahan iklim bukan lagi sekadar masalah lingkungan, tetapi juga keadilan global.
Beberapa pemimpin negara berbicara di "KTT Masa Depan" PBB, sementara yang lain berbicara kepada wartawan dan panel diskusi di lebih dari 900 acara bertema iklim yang digelar di seluruh New York minggu ini.
Sementara itu, para ilmuwan dari Potsdam Institute for Climate Impact Research memperingatkan bahwa manusia telah merusak setidaknya enam sistem alami planet, termasuk keseimbangan iklim. Sistem ketujuh, kimiawi laut, kini terancam oleh pengasaman, yang terjadi saat lautan menyerap karbon dioksida dari udara.
"Peristiwa iklim semakin cepat dan sering," kata Perdana Menteri Bahama, Phillip Davis, kepada Reuters. Ia mendesak negara-negara kaya untuk "tetap fokus" pada masalah ini. "Sejauh ini, sinyal yang dikirim [oleh negara-negara] tidak sesuai dengan komitmen yang telah dibuat," katanya.
Peningkatan Energi Terbarukan dan Nuklir
Pada Senin pekan lalu, eksekutif dari perusahaan-perusahaan besar seperti Amazon.com dan produsen energi seperti Vestas dan Iberdrola mendesak para pemimpin dunia untuk menepati janji yang dibuat pada KTT COP28 tahun lalu untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan hingga 2030.
Di sisi lain, 50 bank AS mengumumkan rencana kerja sama untuk mempercepat investasi dalam energi bersih. Sementara itu, kelompok terpisah yang terdiri dari 14 bank, termasuk Citi dan Bank of America, mendorong peningkatan kapasitas energi nuklir secara global hingga tiga kali lipat.
Namun, penelitian baru dari lembaga pemeringkat Moody’s memperingatkan bahwa investasi iklim global masih kekurangan triliunan dolar untuk mencapai target emisi nol bersih pada 2050 dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Meski investasi ini akan meningkatkan utang pemerintah nasional, tidak berinvestasi justru akan jauh lebih mahal, menurut laporan tersebut.
Analisis lain yang menyoroti skala lokal menyebutkan bahwa lebih dari 40 persen perusahaan besar, kota, dan wilayah di dunia belum memiliki rencana atau target untuk mengurangi emisi yang memicu pemanasan global.
Menurut Net Zero Tracker, sebuah koalisi penelitian dari Universitas Oxford, kesenjangan komitmen ini muncul karena isu iklim bersaing dengan masalah-masalah lain seperti perang, pemilu, atau masalah ekonomi yang menyita perhatian pemerintah.
Emisi Karbon Global Capai Rekor Tertinggi di 2023
Di tengah meningkatnya krisis iklim, emisi karbon global dari bahan bakar fosil justru mencatat rekor tertinggi pada 2023. Dengan tren emisi saat ini, pemanasan global diprediksi akan melampaui batas 1,5 derajat celsius hanya dalam tujuh tahun ke depan.
Laporan ini diungkapkan oleh tim ilmuwan Global Carbon Project dalam jurnal Earth System Science Data pada Selasa, 5 Desember 2023. Kajian tersebut dirilis saat para pemimpin dunia berkumpul dalam Perundingan Iklim Global ke-28 (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab.
Tim peneliti ini terdiri dari akademisi dari University of Exeter, University of East Anglia (UEA), Cicero Center for International Climate Research, Ludwig-Maximilian-University Muenchen, dan 90 institusi lainnya dari seluruh dunia. Studi ini merupakan bagian dari perhitungan tahunan Global Carbon Budget.
Laporan ini mencatat bahwa emisi karbon dioksida (CO2) dari bahan bakar fosil mencapai 36,8 miliar metrik ton pada 2023, meningkat 1,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya, 2022.
Tren emisi karbon di berbagai kawasan dunia menunjukkan variasi yang signifikan. Pada 2023, emisi diperkirakan meningkat di India sebesar 8,2 persen dan di China sebesar 4,0 persen. Sebaliknya, penurunan emisi terjadi di Uni Eropa (-7,4 persen), Amerika Serikat (-3,0 persen), dan negara-negara lain di dunia (-0,4 persen).
Meskipun ada beberapa wilayah yang berhasil menurunkan emisi, secara keseluruhan emisi karbon global tetap meningkat. Para ilmuwan menegaskan bahwa upaya global untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil masih belum cukup cepat untuk mencegah dampak perubahan iklim yang berbahaya.(*)