KABARBURSA.COM – Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mulai masuk RUPTL 2025–2034. Namun pasar modal belum bergeming. Investor institusi memilih menunggu. Bagi mereka, reaktor 500 megawatt yang dirancang pemerintah belum cukup bikin panas harga saham.
Hal ini disampaikan oleh pengamat pasar modal Wahyu Laksono yang menilai bahwa proyek PLTN masih tergolong terlalu dini untuk diantisipasi secara signifikan oleh pelaku pasar.
“Belum ada indikasi kuat bahwa investor institusi sudah secara masif mengantisipasi proyek ini dari pergerakan harga di sektor tertentu,” ujar Wahyu kepada KabarBursa.com, Kamis, 12 Juni 2025.
Menurut Wahyu, proyek PLTN memiliki karakteristik jangka panjang yang membuat investor lebih memilih menunggu hingga ada kepastian lebih lanjut. Rencana awal pembangunan reaktor sebesar 500 MW yang tercantum dalam RUPTL hanyalah permulaan dari ambisi pemerintah membangun kapasitas hingga 35 GW dalam beberapa dekade ke depan.
“PLTN itu proyek panjang. Perencanaannya bertahun-tahun, konstruksinya lebih lama lagi, dan operasionalnya bisa sampai dekade mendatang. Investor institusi cenderung masuk pada proyek yang konkret, punya timeline lebih pasti, dan menghasilkan return dalam jangka menengah,” jelas Wahyu.
Ia juga menyoroti sejumlah tantangan yang membuat investor institusi bersikap wait and see. Salah satunya adalah kepastian regulasi dan kelengkapan skema pembiayaan. Meski proyek PLTN telah masuk dalam RUPTL, implementasinya tetap memerlukan regulasi teknis, perizinan berlapis, hingga pendanaan besar yang belum tentu mudah didapatkan.
“Regulasi belum siap, dan ini bukan proyek murah. Pemerintah harus memberikan kerangka hukum dan insentif yang kuat. Tanpa itu, investor besar tidak akan terburu-buru masuk,” lanjutnya.
Di sisi lain, sentimen pasar modal saat ini masih lebih banyak digerakkan oleh faktor lain yang dampaknya lebih langsung dan nyata. Wahyu menyebut beberapa sektor seperti komoditas, perbankan, dan konsumsi rumah tangga sebagai fokus utama investor dalam merespons dinamika suku bunga global dan ekonomi makro.
“Pasar saat ini lebih reaktif terhadap sektor yang punya katalis jangka pendek. Komoditas, perbankan, atau emiten konsumer jauh lebih cepat terlihat dampaknya dibanding proyek energi jangka panjang seperti PLTN,” katanya.
Meski demikian, Wahyu tidak menampik potensi sektor-sektor tertentu seperti konstruksi dan logam di masa depan. Namun ia menegaskan bahwa kenaikan harga saham di sektor-sektor tersebut belakangan ini lebih disebabkan oleh proyek infrastruktur non-nuklir yang sudah berjalan atau akan segera dimulai.
“Pergerakan di sektor konstruksi atau logam saat ini lebih banyak dikaitkan dengan proyek IKN atau infrastruktur umum, bukan PLTN. Untuk melihat efek PLTN, kita perlu tunggu ada kontraktor yang ditunjuk atau perjanjian besar yang diumumkan secara resmi,” kata Wahyu.(*)