KABARBURSA.COM - Di era globalisasi yang penuh ketidakpastian, ketahanan energi makin menjadi faktor krusial bagi pertahanan negara. Ketergantungan pada bahan bakar fosil tidak hanya membebani anggaran, tetapi juga menciptakan risiko strategis jika rantai pasokan energi terganggu akibat konflik geopolitik atau krisis ekonomi. Inilah yang membuat energi terbarukan kian relevan dalam sektor pertahanan, termasuk bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Analis Pertahanan Negara Madya di Direktorat Teknologi dan Industri Pertahanan Ditjen Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan (Ditjen Pothan Kemhan), Jusuf Sarante, mengatakan transisi energi di sektor pertahanan bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan strategis. “Dari sisi aspek pertahanan negara pemanfaatan energi baru terbarukan berpotensi sebagai komponen pendukung dalam penyelenggaraan pertahanan negara.,” tulis Jusuf, dikutip dari risetnya berjudul Energi Baru dan Terbarukan sebagai Teknologi Alternatif di Masa Depan dalam Mendukung Pertahanan Negara di Jakarta, Selasa, 11 Februari 2025.
Keunggulan utama energi terbarukan bagi sektor pertahanan adalah sifatnya yang mandiri dan berkelanjutan. Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atau biomassa, misalnya, dapat digunakan untuk memasok listrik di pangkalan militer yang berada di daerah terpencil, terutama di wilayah perbatasan yang sulit dijangkau oleh jaringan PLN.
Dalam risetnya, Jusuf menyebutkan pengembangan energi terbarukan bisa menjadi solusi bagi operasi militer yang membutuhkan energi stabil. Pemanfaatan sumber energi terbarukan pun dapat meningkatkan kemandirian energi pangkalan militer sehingga mengurangi ketergantungan terhadap BBM yang rentan terhadap gangguan rantai pasok.
“Pembangkit listrik terbarukan binarycycle tidak menghasilkan polusi dan emisi gas rumah kaca dan energi terbarukan dihasilkan secara domestik dan mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak bumi,” tulis Jusuf.
Tak hanya itu, sistem microgrid berbasis energi terbarukan juga dapat meningkatkan efisiensi logistik militer. Saat ini, pengiriman bahan bakar untuk operasi di medan perang atau daerah perbatasan masih menjadi tantangan besar. Dengan adanya sumber energi yang bisa diproduksi langsung di lokasi, pasokan energi lebih terjamin dan risiko serangan terhadap konvoi logistik berkurang.
[caption id="attachment_115764" align="alignnone" width="1179"] Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. PLTB berkapasitas 75 megawatt ini merupakan salah satu dari sejumlah proyek hijau yang didanai oleh PT Bank BTPN Tbk yang menjadi PLTB pertama dan terbesar di Indonesia. Foto: Dok. PT UPC Sidrap Bayu Energi.[/caption]
Selain aspek strategis, peluang investasi di sektor ini juga cukup menjanjikan. Sejumlah negara sudah mulai melibatkan perusahaan swasta dalam pengembangan teknologi energi hijau untuk kebutuhan militer. Indonesia pun bisa menerapkan model serupa, di mana pemerintah bekerja sama dengan sektor swasta untuk membangun infrastruktur EBT di instalasi militer.
Namun, implementasi energi terbarukan di sektor pertahanan memerlukan sinergi antara pemerintah, industri, dan akademisi dalam pengembangan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan militer. Ini membuka peluang bagi investor di sektor energi hijau untuk ikut terlibat dalam proyek strategis nasional.
Beberapa sektor yang potensial antara lain pengembangan biofuel untuk kendaraan tempur, PLTS untuk pangkalan militer, hingga sistem penyimpanan energi berbasis baterai yang bisa digunakan dalam operasi taktis. Dengan tren global yang makin beralih ke energi bersih, investasi di sektor ini bukan hanya mendukung ketahanan negara, tetapi juga sejalan dengan kebijakan transisi energi nasional.
Tantangan dan Hambatan
Tentu saja, implementasi energi terbarukan di sektor pertahanan tidak lepas dari tantangan. Salah satu kendala utama adalah regulasi yang belum sepenuhnya mendukung investasi energi terbarukan untuk keperluan militer. Infrastruktur yang masih terbatas juga menjadi kendala dalam penerapan teknologi ini secara luas.
Menurut Jusuf, perlu ada kebijakan khusus yang memastikan proyek energi hijau untuk pertahanan mendapatkan insentif yang cukup. Dengan kata lain, perlu adanya kebijakan yang mendukung investasi di bidang energi terbarukan untuk pertahanan, baik dalam aspek regulasi, pendanaan, maupun insentif teknologi.
“Pemberian subsidi dan insentif bagi investor teknologi hijau relatif rendah. Pemberian subsidi masih terlalu kecil dibandingkan subsidi untuk energy primer fosil, sedangkan investasi teknologi EBT masih tinggi akibat komponen domestik untuk teknologi ini masih sangat minim,” kata Jusuf.
Selain itu, pengembangan teknologi EBT untuk kebutuhan militer juga membutuhkan riset dan inovasi yang lebih intensif. Teknologi harus dirancang agar bisa bertahan dalam kondisi ekstrem, baik dari segi cuaca maupun keamanan. Oleh karena itu, kolaborasi antara TNI, lembaga riset, dan industri energi menjadi faktor kunci dalam mendorong percepatan transisi energi di sektor pertahanan.
Pelajaran dari Fort Cavazos di Amerika
[caption id="attachment_119559" align="alignnone" width="680"] Seorang perwira militer berbicara di depan ladang surya Fort Cavazos, yang sebelumnya dikenal sebagai Fort Hood. Pangkalan ini telah mengadopsi energi terbarukan sebagai bagian dari upaya meningkatkan ketahanan energi dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Sumber: Media Center Fort Cavazos.[/caption]
Indonesia bukan satu-satunya negara yang mulai mempertimbangkan energi terbarukan buat kepentingan pertahanan. Amerika Serikat sudah jauh lebih dulu menerapkan strategi ini, salah satunya di Fort Hood, Texas—yang sekarang berganti nama jadi Fort Cavazos. Pangkalan militer ini adalah salah satu yang terbesar di muka bumi dan sejak 2017 sudah mulai menggunakan hampir setengah dari kebutuhan listriknya dari energi terbarukan.
Menurut laporan dari Angkatan Darat AS, Fort Cavazos mulai beralih dari bahan bakar fosil ke energi angin dan surya dengan alasan strategis. Seorang juru bicara pangkalan tersebut menjelaskan bahwa ketergantungan pada energi eksternal adalah risiko keamanan. “Apabila ada hal-hal yang tidak diinginkan dan kita diserang atau seseorang menyerang jaringan listrik kami, sudah barang tentu Anda ingin agar Fort Hood dapat merespons,” kata Chris Haug, juru bicara Fort Cavazos, ketika itu, dikutip dari Voice of America.
Fort Cavazos saat ini mengandalkan 63.000 panel surya yang dipasang di dalam kompleks pangkalan, serta 21 turbin angin yang berada di luar area pangkalan. Kombinasi ini mampu menghasilkan 65 megawatt listrik, cukup buat memenuhi sebagian besar kebutuhan energi untuk 36.500 personel militer dan 6.000 bangunan yang ada di dalamnya.
Sebelum proyek ini berjalan, 77 persen kebutuhan energi pangkalan ini masih bergantung pada bahan bakar fosil. Namun setelah transisi ke energi terbarukan, mereka berhasil menekan biaya operasional dan mengurangi risiko gangguan pasokan energi. Dalam jangka panjang, proyek ini diperkirakan bakal menghemat lebih dari USD100 juta (sekitar Rp1,6 triliun) dalam 30 tahun ke depan.
Bahkan, Departemen Pertahanan AS sudah lama menyadari perubahan iklim bisa berdampak langsung pada keamanan nasional. Pejabat militer dan intelijen AS sepakat bahwa bencana alam akibat perubahan iklim bisa merusak pangkalan-pangkalan militer di seluruh dunia.
Ditambah lagi, kompetisi global buat mendapatkan sumber daya energi terbarukan bakal makin ketat. Makanya, mereka mulai agresif berinvestasi di energi hijau. Antara tahun 2011 hingga 2015, jumlah proyek energi terbarukan yang dikelola militer AS naik hampir tiga kali lipat menjadi 1.390 proyek.
Selain Fort Cavazos, Defense Logistics Agency (DLA)—lembaga di bawah Departemen Pertahanan AS—juga bekerja sama dengan Angkatan Udara AS buat proyek energi terbarukan jangka panjang. Upaya ini bukan cuma buat menekan emisi karbon, tetapi juga buat memastikan pasukan tetap bisa beroperasi tanpa tergantung pada pasokan energi dari luar yang rentan terganggu.
Di tengah perubahan geopolitik dan ancaman ketahanan energi global, transisi ke energi terbarukan dalam sektor pertahanan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan energi hijau guna mendukung kemandirian energi militer, sekaligus membuka peluang investasi bagi industri energi hijau.
Seperti yang disampaikan Jusuf dalam risetnya, “(Energi terbarukan) dapat mengurangi penggunaan devisa dari pemanfaatan energi berbasis fosil sehingga dapat meningkatkan ketahanan dalam negeri.”(*)