Logo
>

Pentingnya CEO Perusahaan Bersatu Hadapi Iklim untuk Keberlanjutan Bisnis

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Pentingnya CEO Perusahaan Bersatu Hadapi Iklim untuk Keberlanjutan Bisnis

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Sustainabilitas dan keberhasilan bisnis memiliki hubungan yang saling mendukung, seperti simbiosis. Bisnis modern kini dituntut mengadopsi praktik ramah lingkungan agar bisa bertahan di tengah dunia yang terus berubah. Lebih dari sekadar patuh pada regulasi, pendekatan ini membuka peluang efisiensi biaya, memperkuat posisi merek, hingga memastikan efektivitas operasional.

    Laporan The Cost of Inaction: A CEO Guide to Navigating Climate Risk dari World Economic Forum (WEF) menegaskan, risiko iklim bukan lagi ancaman jauh di masa depan, melainkan kenyataan yang sedang berlangsung. Sejak tahun 2000, bencana iklim telah menyebabkan kerugian lebih dari USD3,6 triliun (sekitar Rp55.530 triliun).

    WEF bekerja sama dengan Boston Consulting Group (BCG) memetakan risiko iklim yang terus meningkat serta peluang yang bisa dimanfaatkan perusahaan untuk beradaptasi dan bertahan. Panduan ini membekali CEO dengan langkah-langkah praktis, mulai dari menilai risiko iklim secara menyeluruh hingga memantau kemajuan dan mengintegrasikan strategi keberlanjutan ke dalam operasional harian.

    [caption id="attachment_102381" align="alignnone" width="1070"] Ilustrasi: Potret dampak bencana alam di sebuah kawasan yang hancur akibat krisis iklim. Foto: Forest Digest.[/caption]

    Dilansir dari Sustainability, laporan WEF mencatat beberapa fakta mencengangkan:

    • Perusahaan yang gagal beradaptasi dengan risiko iklim bisa kehilangan hingga 7 persen pendapatan tahunan pada 2035.
    • Kerugian aset tetap akibat panas ekstrem dan bencana iklim lainnya diproyeksikan mencapai USD560 miliar hingga USD610 miliar per tahun pada 2035.
    • Sektor telekomunikasi, utilitas, dan energi menjadi yang paling rentan terhadap risiko iklim.
    • Sektor dengan emisi tinggi menghadapi risiko kehilangan hingga 50 persen profit mereka pada 2030 jika tidak mendekarbonisasi.
    • Pasar hijau diproyeksikan melonjak dari USD5 triliun menjadi USD14 triliun pada 2030, menciptakan peluang pertumbuhan besar.

    Tindakan untuk Para CEO

    CEO didorong untuk mulai dengan menilai risiko iklim secara komprehensif, memahami dampaknya pada operasional bisnis dan rantai pasokan. Target keberlanjutan harus tertanam dalam strategi perusahaan untuk memastikan keselarasan dengan tujuan bisnis utama.

    Wakil Presiden Eksekutif Sony Group Corporation, Shiro Kambe, menyoroti pentingnya kolaborasi dengan mitra. “Untuk mencapai target net zero pada 2040, pengurangan emisi dari pemasok adalah langkah krusial,” katanya.

    WEF juga mengingatkan pentingnya alokasi sumber daya untuk inisiatif keberlanjutan, termasuk investasi di energi terbarukan, efisiensi energi, dan program pengurangan limbah. Selain itu, budaya keberlanjutan dalam perusahaan harus dipromosikan agar seluruh keputusan bisnis mempertimbangkan dampak lingkungan.

    Peran CEO dalam Menahkodai Risiko Iklim

    Langkah pertama yang perlu dilakukan para CEO adalah memahami risiko iklim terhadap bisnis mereka. Laporan ini menyarankan pemimpin perusahaan untuk melakukan penilaian risiko iklim secara menyeluruh guna melihat dampak potensial pada operasional bisnis dan rantai pasokan mereka. Gagasan ini artinya membutuhkan data, apa yang tidak terukur, tidak bisa diubah.

    Menetapkan tujuan keberlanjutan yang ambisius memang penting, tetapi tujuan tersebut harus tertanam dalam strategi perusahaan agar selaras dengan visi besar dan bisa dijalankan secara efektif.

    “Untuk mencapai target net zero kami di tahun 2040, pengurangan emisi dari pemasok adalah langkah utama,” kata Shiro Kambe, “Kami mulai meminta para pemasok utama untuk mencapai net zero Scope 2 emissions pada 2030 dan berencana mendukung pembangunan kapasitas mereka.”

    Menurut World Economic Forum (WEF), mengalokasikan sumber daya untuk inisiatif keberlanjutan menjadi langkah krusial. Ini termasuk investasi pada energi terbarukan, efisiensi energi, dan program pengurangan limbah. Lebih jauh, budaya keberlanjutan di perusahaan harus dibangun dari bawah ke atas agar pertimbangan lingkungan benar-benar menjadi bagian integral dari pengambilan keputusan.

    Penelitian dan pengembangan (R&D) juga menjadi area penting untuk memastikan nilai keberlanjutan. CEO perlu mendukung pengembangan teknologi ramah lingkungan yang bisa meningkatkan upaya keberlanjutan perusahaan. Kolaborasi dengan pembuat kebijakan juga bisa menciptakan lingkungan regulasi yang kondusif untuk kebijakan iklim yang efektif.

    Kepemimpinan Iklim dalam Aksi Nyata

    Grup Ingka — pemegang waralaba terbesar IKEA — menjadi contoh nyata harmoni antara aksi iklim dan keberhasilan bisnis. CEO-nya, Jesper Brodin, yang juga Co-Chair Alliance of CEO Climate Leaders, menegaskan: “Aksi iklim tidak harus mengorbankan kinerja ekonomi. Mengelola sumber daya dengan bijak adalah langkah bisnis yang cerdas.”

    Sejak 2016, Grup Ingka berhasil mengurangi jejak karbon sebesar 24,3 persen di Scope 1, 2, dan 3, sambil tetap tumbuh 30,9 persen. Brodin percaya transisi menuju masyarakat net zero bukan hanya hal yang benar dilakukan, tetapi juga model bisnis yang berkelanjutan bagi generasi mendatang.

    “Biaya ketidakpedulian jauh lebih besar dibandingkan investasi proaktif. Transisi ke ekonomi bebas karbon sudah dimulai dan tidak bisa dihentikan,” tegasnya.

    Chief Sustainability Officer (CSO) Grup Ingka, Karen Pflug, menambahkan, “Perubahan iklim kini menjadi realitas yang semakin terlihat dan memengaruhi kita semua. Laporan terbaru ini menegaskan pentingnya memasukkan risiko dan peluang iklim ke dalam proses pengambilan keputusan bisnis. Ini bukan hanya langkah yang tepat, tetapi juga sebuah keharusan bagi bisnis yang ingin terus berkembang.”

    Ia mencontohkan, transisi ke makanan berbasis tanaman, elektrifikasi transportasi, dan peralihan ke energi terbarukan tidak hanya membantu mengurangi emisi dan biaya dalam jangka panjang, tetapi juga membuka peluang bisnis baru.

    Investasi Iklim di Indonesia

    Investasi iklim tak lagi sekadar urusan lingkungan, tapi sudah menyangkut kelangsungan ekonomi dunia. Di panggung Konferensi Para Pihak ke-29 tentang Perubahan Iklim atau COP29, isu transisi energi dan pendanaan iklim menjadi pusat perhatian.

    Negara-negara maju didesak menyuntikkan dana hingga USD300 miliar setiap tahun hingga 2035. Meski angka itu masih jauh dari cukup untuk menanggulangi krisis iklim, langkah ini setidaknya menandai keseriusan dunia memandang perubahan iklim sebagai tantangan kolektif. Apa kaitannya dengan Indonesia? Jawabannya, amat signifikan.

    Sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar kedelapan di dunia, menurut laporan Our World in Data (2022), Indonesia menghadapi tanggung jawab besar. Emisi ini didominasi oleh sektor energi dan deforestasi, dua bidang yang erat kaitannya dengan roda ekonomi.

    Dalam komitmen Nationally Determined Contributions (NDC), Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 31,89 persen secara mandiri dan hingga 43,20 persen dengan bantuan internasional pada 2030. Ambisius, tetapi tanpa suntikan dana besar-besaran, target ini sulit terealisasi.

    [caption id="attachment_104130" align="alignnone" width="3400"] Grafik menunjukkan peningkatan signifikan emisi karbon dioksida Indonesia per kapita dari bahan bakar fosil dan industri sejak tahun 1980-an hingga 2023. Hal ini menandakan ketergantungan tinggi pada energi fosil di tengah upaya global mengurangi jejak karbon. Sumber: Our World in Data[/caption]

    Padahal, potensi energi terbarukan di Indonesia begitu melimpah. Data Kementerian ESDM mencatat kapasitas energi terbarukan Indonesia mencapai 3.687 GW, mencakup tenaga surya, angin, hingga air.

    Namun, hingga 2023 kapasitas yang terpasang baru 13.155 MW atau hanya 0,4 persen dari total potensinya. Untuk 2024, Indonesia menargetkan pemanfaatannya sebesar 13.886 MW. Ironisnya, ketergantungan Indonesia pada batu bara masih tinggi, yakni menopang lebih dari 60 persen kebutuhan listrik nasional.

    Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Arief Rosadi, mengatakan untuk mempercepat transisi energi, Indonesia membutuhkan investasi sebesar USD20-40 miliar per tahun hingga 2050.

    “Namun, rata-rata investasi publik untuk energi terbarukan hanya di bawah USD2 miliar per tahun pada periode 2017-2023. Pada 2022, pembiayaan dari sektor swasta meningkat hingga Rp26 triliun (sekitar USD1,7 miliar),” kata Arief dalam Media Briefing COP-29 pada Selasa, 3 Desember 2024.

    Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menilai hasil pertemuan COP29 di Azerbaijan mengecewakan banyak pihak dan menggerus kepercayaan terhadap mekanisme multilateral. Padahal, kata Fabby, membatasi kenaikan suhu bumi pada 1,5 derajat Celcius adalah tantangan global yang hanya bisa diatasi melalui kolaborasi internasional yang erat.

    “Dukungan pendanaan, alih teknologi, dan pengembangan kapasitas untuk negara berkembang dari negara maju menjadi faktor penting bagi peningkatan dan pencapaian aksi mitigasi dan adaptasi krisis iklim yang ambisius di negara berkembang. COP29 seharusnya dapat menjamin tersedianya pendanaan yang memadai dan efektif bagi negara berkembang, seperti Indonesia,” kata Fabby.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).