Logo
>

PGEO Panaskan Transisi Energi di Tengah Kebijakan Abu-abu

Di balik komitmen politik Prabowo soal energi bersih, PGEO bergerak nyata dengan ekspansi kapasitas panas bumi dan kerja sama internasional demi transisi energi nasional.

Ditulis oleh Syahrianto
PGEO Panaskan Transisi Energi di Tengah Kebijakan Abu-abu
Ilustrasi: PGEO Panaskan Transisi Energi di Tengah Kebijakan Abu-abu. (Foto: AI untuk KabarBursa)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Transisi energi telah menjadi agenda strategis bagi banyak negara, termasuk Indonesia, dalam menghadapi tantangan perubahan iklim, ketergantungan terhadap energi fosil, dan ketidakstabilan geopolitik global. Sebagai negara dengan sumber daya energi baru dan terbarukan yang melimpah, terutama di sektor panas bumi, potensi Indonesia untuk melakukan transformasi sistem energi menuju energi bersih sangat besar. 

    Dalam konteks nasional, transisi energi memiliki peran vital tidak hanya dalam menjaga ketahanan energi jangka panjang, tetapi juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hijau, menciptakan lapangan kerja baru, dan memperkuat daya saing industri di era rendah karbon. Indonesia telah menyatakan komitmen untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) sebelum tahun 2060 dan meningkatkan porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional menjadi 23 persen pada 2025. Namun, implementasi dari target tersebut masih menghadapi banyak kendala, mulai dari ketergantungan struktural terhadap batu bara hingga tantangan dalam pendanaan proyek energi bersih.

    Setelah resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto secara eksplisit menyampaikan komitmennya terhadap transisi energi sebagai bagian dari prioritas pembangunan nasional. Dalam pidato inaugurasi di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan masyarakat Indonesia, Prabowo menekankan pentingnya swasembada energi dan transisi menuju sumber daya terbarukan untuk memastikan stabilitas nasional di tengah dinamika global. 

    Tak lama berselang, dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil pada November 2024, Prabowo kembali menegaskan niat pemerintahannya untuk mempercepat proses dekarbonisasi ekonomi. Di hadapan para pemimpin dunia, ia menyampaikan rencana Indonesia untuk menghentikan semua pembangkit listrik tenaga batu bara dan bahan bakar fosil dalam kurun waktu 15 tahun ke depan, serta membangun kapasitas energi terbarukan sebesar 75 gigawatt. Pernyataan tersebut disambut sebagai sinyal positif dari pemimpin negara berkembang yang memiliki posisi strategis dalam transisi energi global, mengingat Indonesia merupakan eksportir batu bara terbesar kedua di dunia dan memiliki potensi panas bumi yang mencapai sekitar 40 persen dari total cadangan global.

    Selain di forum G20, Prabowo juga membicarakan isu transisi energi dalam pertemuan APEC CEO Summit dan berbagai dialog bilateral dengan negara-negara mitra energi bersih, termasuk Turki, Jepang, dan Korea Selatan. Di setiap forum, Presiden Prabowo menyampaikan bahwa Indonesia tidak hanya ingin mengikuti arus global, melainkan turut menjadi pemimpin kawasan dalam energi hijau. 

    Dalam sambutannya di APEC, ia menyebut bahwa kerja sama internasional dalam teknologi dan pembiayaan proyek hijau sangat krusial untuk memastikan bahwa transisi energi dapat berjalan adil dan inklusif. Dukungan kuat juga datang dari kementerian teknis terkait, termasuk Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Investasi, yang mendorong percepatan realisasi proyek energi terbarukan melalui regulasi pendukung dan skema insentif fiskal.

    Namun demikian, meskipun secara naratif politik dan diplomasi Indonesia menunjukkan arah yang sejalan dengan agenda global transisi energi, masih terdapat kesenjangan antara komitmen yang disampaikan dan kebijakan aktual di tingkat domestik. Beberapa kebijakan terbaru justru menunjukkan indikasi perlambatan dalam implementasi rencana energi bersih, yang akan dikaji lebih dalam pada bagian berikutnya. 

    Kondisi ini menjadi pertanyaan penting: sejauh mana keseriusan komitmen Presiden Prabowo terhadap transisi energi akan ditindaklanjuti secara konkret dalam perencanaan, regulasi, dan pembiayaan program-program energi hijau nasional?

    Prabowo menyampaikan bahwa ketergantungan terhadap energi fosil dan impor bahan bakar menjadikan Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga global dan dinamika geopolitik internasional. Oleh karena itu, menurutnya, pembangunan sistem energi nasional harus mengarah pada kemandirian dan keberlanjutan jangka panjang. Dalam konteks ini, energi terbarukan, seperti panas bumi, surya, angin, dan bioenergi, ditegaskan sebagai prioritas kebijakan yang tidak bisa ditunda.

    Dalam berbagai pernyataan publik dan forum internasional, pemerintah Indonesia menyatakan keterbukaan terhadap kerja sama lintas negara dalam pembangunan proyek-proyek energi hijau, dengan menjadikan BUMN strategis seperti PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) sebagai salah satu motor penggerak.

    Transisi Energi Jadi Prioritas Pemerintahan Prabowo?

    Dalam konteks domestik, pernyataan Prabowo ini kemudian diturunkan ke dalam sejumlah rencana kementerian teknis. Kementerian ESDM mengonfirmasi bahwa pihaknya sedang mengkaji percepatan pensiun PLTU secara bertahap, dimulai dari PLTU milik BUMN yang masuk kategori usia tua dan efisiensi rendah. Selain itu, pemerintah juga mengumumkan rencana untuk memperluas portofolio energi terbarukan dalam bauran nasional, termasuk dengan mendorong percepatan proyek panas bumi dan pembangkit energi baru lainnya. 

    Meski demikian, perwujudan komitmen ini masih harus diuji lebih jauh melalui implementasi kebijakan, alokasi anggaran, dan pembentukan kerangka regulasi yang benar-benar berpihak pada energi bersih. Beberapa pengamat energi dan lembaga independen bahkan menyoroti bahwa hingga awal 2025, dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) belum sepenuhnya mencerminkan arah transisi yang progresif sebagaimana dinyatakan Presiden.

    Infografis: Timeline Komitmen Prabowo Soal Transisi Energi. (Foto: AI untuk KabarBursa)

    Dengan demikian, meskipun secara politik terdapat pernyataan kuat dari Presiden Prabowo terkait target net zero emission sebelum 2050 dan penghentian PLTU dalam 15 tahun, pelaksanaan di level teknis masih menyisakan tantangan besar. Konsistensi antara narasi dan kebijakan menjadi penentu utama keberhasilan agenda transisi energi nasional di bawah kepemimpinan pemerintahan baru ini.

    Meskipun narasi politik dan komitmen publik Presiden Prabowo Subianto terhadap transisi energi telah ditegaskan dalam berbagai forum, realitas implementasi kebijakan energi Indonesia masih menunjukkan arah yang bertolak belakang. Salah satu indikator paling nyata dari ketidaksesuaian ini adalah keberlanjutan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara hingga tahun 2035. 

    Dalam dokumen perencanaan kelistrikan nasional, beberapa proyek PLTU baru yang masuk dalam pipeline tetap dijalankan melalui skema Independent Power Producer (IPP), dan di sejumlah wilayah masih diberikan ruang untuk pengembangan PLTU captive, khususnya di kawasan industri dan smelter. Padahal, dalam forum internasional, Indonesia telah menyampaikan rencana pensiun dini PLTU dan pengalihan menuju sumber energi terbarukan secara bertahap. Keputusan mempertahankan pembangunan PLTU ini dinilai tidak hanya melemahkan kredibilitas komitmen transisi energi Indonesia, tetapi juga menciptakan ketidakpastian bagi investor yang mulai mengalihkan portofolio ke energi bersih.

    Evaluasi terhadap dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) terbaru yang diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga memperlihatkan ketidaksesuaian arah kebijakan dengan semangat percepatan transisi energi. RUKN yang seharusnya menjadi peta jalan transformasi sistem energi nasional masih mencantumkan proyeksi pasokan dari pembangkit berbasis batu bara dalam jumlah signifikan hingga satu dekade ke depan. 

    Selain itu, meskipun ada alokasi peningkatan kapasitas energi baru dan terbarukan, target bauran energi bersih justru diturunkan dalam revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2025, dari sebelumnya 23 persen menjadi kisaran 17–19 persen. Penurunan target ini menjadi indikasi melemahnya arah kebijakan energi nasional yang sebelumnya diharapkan menjadi lebih ambisius menyusul komitmen net zero emission sebelum 2050 yang dideklarasikan Presiden.

    Kritik tajam terhadap arah kebijakan ini datang dari Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga riset independen yang fokus pada isu energi dan iklim. Dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2025, IESR menyatakan bahwa langkah-langkah transisi energi Indonesia mengalami stagnasi akibat lemahnya keberpihakan kebijakan terhadap sektor energi terbarukan. Laporan tersebut mencatat bahwa kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2023 hanya mencapai 13,1 persen, jauh di bawah target tahunan yang telah ditetapkan. 

    Bahkan, capaian tersebut menunjukkan tren perlambatan karena tidak ada peningkatan signifikan dibanding tahun sebelumnya. IESR juga menyoroti bahwa peta jalan pensiun dini PLTU yang disusun bersama Asian Development Bank (ADB) melalui program Energy Transition Mechanism (ETM) belum menunjukkan realisasi konkret. Kurangnya insentif fiskal, kepastian regulasi, serta skema pembiayaan jangka panjang menjadi hambatan utama dalam percepatan penghentian pembangkit berbasis batu bara.

    Selain itu, IESR menilai bahwa revisi RUKN tidak menjabarkan secara rinci daftar PLTU yang akan dipensiunkan, tidak menetapkan tenggat waktu yang jelas, dan tidak mencantumkan skema just energy transition yang inklusif bagi pekerja, masyarakat terdampak, dan pelaku industri terkait. Absennya kerangka transisi yang terintegrasi menjadikan upaya-upaya pensiun dini PLTU hanya bersifat wacana, dan belum menyentuh pada tahap perencanaan operasional yang konkret. 

    Dalam situasi ini, BUMN energi seperti Pertamina Geothermal Energy atau PGEO dan PT PLN pun menghadapi dilema strategis: di satu sisi mereka ditugaskan menjadi motor transisi energi, namun di sisi lain harus beroperasi dalam kerangka regulasi yang belum sepenuhnya mendukung pergeseran ke energi hijau.

    Realitas kebijakan ini menimbulkan risiko sistemik terhadap keberhasilan agenda transisi energi nasional. Ketika komitmen politik di tingkat tertinggi tidak diikuti oleh konsistensi dalam regulasi dan perencanaan sektoral, maka target-target ambisius seperti net zero emission, peningkatan bauran energi bersih, dan pensiun dini PLTU berpotensi besar tidak tercapai. 

    Lebih jauh lagi, ketidaksesuaian ini dapat merusak persepsi global terhadap kredibilitas Indonesia dalam panggung kerja sama iklim internasional, yang berimplikasi pada menurunnya daya tarik investasi hijau dan pembiayaan transisi energi dari mitra luar negeri. Oleh karena itu, koreksi arah dan keberanian untuk menyelaraskan kebijakan dengan komitmen perlu segera dilakukan agar agenda transisi energi Indonesia tidak menjadi sekadar retorika.

    Ketergantungan Indonesia terhadap batu bara sebagai sumber energi utama menjadi tantangan struktural dalam proses transisi energi nasional. Saat ini, sekitar 60 hingga 65 persen pembangkit listrik di Indonesia masih bergantung pada batu bara, menjadikannya tulang punggung pasokan energi nasional. 

    Data dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021–2030 menunjukkan bahwa meskipun ada peningkatan alokasi untuk pembangkit berbasis energi terbarukan, dominasi batu bara tetap dipertahankan untuk menjamin pasokan listrik yang andal dan murah. Hal ini didorong oleh ketersediaan batu bara dalam negeri yang melimpah, infrastruktur rantai pasok yang sudah mapan, serta skema subsidi dan kontrak jangka panjang yang menguntungkan bagi pelaku usaha di sektor ini. Ketergantungan yang tinggi ini menjadi hambatan besar dalam upaya dekarbonisasi sistem energi nasional, karena menyebabkan insentif untuk beralih ke sumber energi bersih menjadi kurang menarik secara ekonomi.

    Di sisi lain, keterbatasan investasi dan infrastruktur untuk mendukung pengembangan energi terbarukan juga menjadi faktor penghambat utama. Meskipun sektor energi bersih menawarkan prospek pertumbuhan jangka panjang dan dukungan kebijakan global, realisasi investasi energi terbarukan di Indonesia masih tergolong rendah.

    Berdasarkan laporan IEA dan IESR, total investasi energi terbarukan di Indonesia pada 2023 hanya sekitar USD1,3 miliar, masih jauh dari kebutuhan tahunan yang diperkirakan mencapai USD20–30 miliar agar target Net Zero Emission pada 2060 bisa tercapai. Hambatan utama yang diidentifikasi adalah kompleksitas perizinan proyek, ketidakpastian tarif pembelian listrik (feed-in tariff), rendahnya daya serap PLN terhadap energi terbarukan, dan kurangnya mekanisme risiko berbagi (risk sharing mechanism) untuk proyek-proyek jangka panjang. 

    Infografis: Peta Tantangan Transisi Energi Nasional. (Foto: AI untuk KabarBursa)

    Selain itu, keterbatasan kapasitas jaringan transmisi di kawasan terpencil dan kepulauan, tempat potensi energi bersih seperti panas bumi, surya, dan hidro berada, membuat realisasi proyek semakin sulit dan mahal.

    Kondisi ini diperburuk oleh dinamika ekonomi global dan domestik yang tidak stabil. Dalam beberapa bulan terakhir, ketegangan geopolitik global, termasuk konflik di Timur Tengah dan ketidakpastian hubungan dagang antara negara-negara besar, telah menekan pasar energi dan mengacaukan rantai pasok komponen teknologi bersih seperti panel surya dan baterai. 

    Di dalam negeri, pemerintah menghadapi tekanan fiskal akibat perlambatan ekonomi yang diprediksi tumbuh hanya 5 persen atau lebih rendah pada 2025, menurut laporan IMF. Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75 persen untuk menjaga nilai tukar rupiah, sementara inflasi tetap terkendali di bawah 2 persen. Namun, ketatnya likuiditas dan sikap wait-and-see investor dalam negeri membuat arus pembiayaan ke sektor energi hijau masih sangat terbatas. Banyak investor memilih menahan ekspansi karena menilai sektor ini memiliki risiko regulasi yang tinggi dan kepastian pengembalian investasi yang rendah.

    Implikasi dari kondisi makroekonomi ini sangat nyata dalam proyek-proyek energi terbarukan. Beberapa pengembang panas bumi, termasuk BUMN seperti PGEO, menghadapi tekanan untuk menjaga efisiensi biaya dan profitabilitas di tengah tingginya beban modal dan minimnya dukungan fiskal. Proyek-proyek pembangkit berbasis EBT sering kali tertunda karena kendala pendanaan, pembebasan lahan, hingga ketidaksesuaian antara lokasi sumber daya dan pusat beban listrik. 

    Tanpa perbaikan struktural dalam mekanisme investasi dan penguatan infrastruktur pendukung, sektor energi hijau sulit berkembang secara signifikan. Maka, meskipun secara politik pemerintah telah menyatakan komitmen tinggi terhadap transisi energi, keberhasilannya sangat bergantung pada kemampuan negara dalam memperbaiki fondasi makroekonomi dan menciptakan ekosistem investasi yang menarik, kompetitif, dan berkelanjutan. Dalam konteks inilah, keberadaan aktor strategis seperti PGEO menjadi penting, tetapi juga rentan terhadap dinamika kebijakan dan kondisi ekonomi yang lebih luas.

    PGEO sebagai Pilar Energi Hijau Nasional

    PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) menempati posisi strategis dalam ekosistem transisi energi Indonesia sebagai anak perusahaan PT Pertamina (Persero) yang bergerak di bidang panas bumi. Berstatus sebagai BUMN dan juga perusahaan terbuka yang tercatat di Bursa Efek Indonesia sejak 2023, PGEO memiliki mandat ganda: mendukung agenda dekarbonisasi nasional melalui pengembangan energi terbarukan, serta memastikan kinerja keuangan yang solid sebagai entitas bisnis. PGEO menjadi salah satu pemain utama di sektor energi hijau Indonesia yang fokus pada pengelolaan, pengembangan, dan pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi listrik dan uap untuk kebutuhan nasional.

    Sepanjang tahun 2024, PGEO mencatatkan kinerja yang stabil dengan pendapatan mencapai USD407,12 juta, meningkat tipis sebesar 0,20 persen dibandingkan tahun 2023. Meskipun peningkatan pendapatan tidak signifikan secara nominal, angka ini mencerminkan ketahanan bisnis perusahaan di tengah fluktuasi ekonomi global dan tekanan terhadap sektor energi bersih. 

    Namun demikian, laba bersih PGEO tercatat mengalami sedikit penurunan dari USD163,57 juta pada 2023 menjadi USD160,30 juta pada akhir 2024. Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh peningkatan beban pokok pendapatan, khususnya dari biaya operasional dan perawatan fasilitas pembangkit.

    Di sisi lain, produksi listrik dan uap perusahaan mencapai 4.827 GWh, rekor tertinggi yang pernah dicapai sejak PGEO berdiri. Angka ini merefleksikan efisiensi dan keandalan sistem pembangkitan panas bumi yang dikelola perseroan, dengan kontribusi utama berasal dari lima pembangkit utama: Kamojang, Ulubelu, Lahendong, Lumut Balai, dan Karaha.

    Infografis: Profil dan Capaian PGEO Tahun 2024. (Foto: AI untuk KabarBursa)

    Dalam rangka memperluas kontribusinya terhadap bauran energi nasional, PGEO telah menyusun peta jalan ekspansi kapasitas hingga 2034. Target utama perusahaan adalah meningkatkan kapasitas terpasang dari 672 MW pada 2024 menjadi 1 GW dalam dua tahun ke depan, serta mencapai 1,7 GW pada 2034. Untuk mendukung target tersebut, PGEO telah menyiapkan sejumlah proyek strategis, baik yang dikelola sendiri maupun dalam kemitraan. 

    Di antaranya adalah pengembangan proyek Lumut Balai Unit 2, Hululais Unit 1 & 2, serta inisiatif co-generation yang memanfaatkan potensi energi panas bumi untuk keperluan non-listrik. Selain itu, PGEO juga telah menjalin kerja sama internasional, termasuk Joint Study Agreement dengan Zorlu Enerji dari Turki untuk mengkaji pengembangan proyek PLTP di wilayah konsesi Zorlu. Kolaborasi ini tidak hanya bertujuan memperkuat kapabilitas teknis dan rantai pasok, tetapi juga untuk membuka jalur investasi dan transfer teknologi lintas negara yang dapat mempercepat pencapaian target energi hijau.

    PGEO juga aktif melakukan pengelolaan dan eksplorasi terhadap sepuluh Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari wilayah-wilayah tersebut, perusahaan telah mengidentifikasi potensi cadangan mencapai 3 GW, memberikan ruang yang cukup untuk ekspansi jangka panjang. Salah satu strategi utama PGEO adalah mengembangkan proyek-proyek greenfield (wilayah baru), sembari terus meningkatkan efisiensi dari lapangan-lapangan yang sudah berproduksi. Dengan cadangan panas bumi yang cukup besar dan infrastruktur yang terus diperkuat, PGEO memosisikan diri sebagai motor penggerak pertumbuhan sektor energi terbarukan, khususnya dalam skema transisi energi nasional.

    Namun, untuk mencapai target ekspansi tersebut, PGEO menghadapi tantangan pembiayaan yang tidak ringan. Proyek-proyek panas bumi umumnya memiliki risiko teknis tinggi dan memerlukan investasi modal awal yang besar, dengan periode pengembalian investasi yang panjang. Untuk itu, perusahaan mulai menjajaki berbagai skema pendanaan hijau, termasuk green bond, pinjaman lunak dari lembaga multilateral, dan kerja sama strategis dengan mitra global. Di saat yang sama, PGEO juga memperkuat tata kelola dan pengelolaan risiko untuk meningkatkan kredibilitas di mata investor. 

    Ke depan, keberhasilan perusahaan tidak hanya ditentukan oleh kapasitas teknis dan sumber daya, tetapi juga kemampuan dalam beradaptasi dengan dinamika regulasi, perubahan iklim kebijakan nasional, dan tantangan ekonomi global yang mempengaruhi seluruh rantai nilai industri energi bersih. Sebagai pionir panas bumi Indonesia, PGEO berpotensi memainkan peran lebih besar dalam menavigasi peta transisi energi menuju sistem yang lebih hijau, berkelanjutan, dan berdaulat.

    Analisis fundamental terhadap PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) menunjukkan performa yang relatif stabil sepanjang tahun 2024, dengan prospek pertumbuhan yang masih terbuka lebar dalam jangka menengah dan panjang, seiring dengan komitmen Indonesia untuk mendorong transisi energi dan memperbesar porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran nasional. Secara umum, kinerja keuangan PGEO pada 2024 mencerminkan ketahanan bisnis di tengah dinamika ekonomi dan ketidakpastian regulasi transisi energi. Pendapatan perusahaan tercatat sebesar USD 407,12 juta, meningkat 0,20 persen dibandingkan tahun sebelumnya, sementara laba bersih sedikit terkoreksi menjadi USD 160,30 juta dari USD 163,57 juta pada 2023.

    Dari sisi profitabilitas, PGEO masih mampu menjaga margin keuntungan di level yang sehat. Margin laba bersih (net profit margin) perusahaan pada 2024 tercatat sebesar 39,37 persen, turun tipis dari 40,17 persen di tahun sebelumnya. Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya beban pokok pendapatan dan operasional, yang naik seiring dengan meningkatnya produksi dan kebutuhan pemeliharaan fasilitas pembangkit. Meski demikian, margin laba ini masih tergolong sangat baik, terutama jika dibandingkan dengan rata-rata margin perusahaan sejenis di sektor energi terbarukan yang umumnya berkisar antara 15–25 persen.

    Dari sisi efisiensi pengelolaan aset, Return on Equity (ROE) PGEO pada 2024 tercatat sekitar 16,3 persen. Ini menandakan bahwa perusahaan masih mampu menghasilkan laba bersih yang kompetitif terhadap ekuitas yang dimiliki. Sementara itu, Debt to Equity Ratio (DER) berada pada level konservatif di bawah 1 kali, mencerminkan struktur permodalan yang sehat dan risiko leverage yang rendah. 

    Rasio keuangan ini memperlihatkan bahwa PGEO memiliki ruang yang cukup luas untuk melakukan ekspansi melalui pembiayaan eksternal tanpa menimbulkan tekanan likuiditas yang berlebihan. Dalam konteks investasi jangka panjang, posisi keuangan seperti ini sangat penting, karena proyek-proyek panas bumi umumnya bersifat padat modal dengan waktu balik modal yang panjang.

    Melihat prospek jangka menengah hingga panjang, PGEO memiliki landasan yang kuat untuk tumbuh lebih agresif. Pertama, cadangan panas bumi yang telah teridentifikasi di wilayah kerja PGEO mencapai 3 GW, memberikan ruang yang besar untuk ekspansi kapasitas terpasang yang saat ini berada di level 672 MW. Target perusahaan untuk meningkatkan kapasitas menjadi 1 GW dalam dua tahun dan 1,7 GW pada 2034 merupakan strategi ekspansi yang realistis mengingat portofolio proyek yang sedang digarap dan potensi pasar domestik yang terus berkembang. Kedua, kebijakan pemerintah yang mendorong pensiun dini PLTU dan bauran energi hijau, meski implementasinya masih belum optimal, tetap memberikan sinyal positif bagi perusahaan seperti PGEO yang beroperasi di sektor energi bersih.

    Ketiga, tren global menuju dekarbonisasi membuka peluang pembiayaan hijau dari lembaga multilateral, sovereign green bond, hingga skema blended finance yang dapat dimanfaatkan PGEO untuk memperkuat struktur pembiayaan proyek. Selain itu, upaya perusahaan dalam menjalin kerja sama internasional, seperti dengan Zorlu Enerji dari Turki, juga mencerminkan kesiapan PGEO untuk menjadi pemain regional bahkan global di bidang panas bumi. Dalam jangka menengah, strategi co-generation dan diversifikasi penggunaan panas bumi tidak hanya untuk listrik, tetapi juga untuk produksi hidrogen hijau dan silika, membuka potensi pendapatan baru yang memperluas sumber keuntungan perusahaan.

    Dengan mempertimbangkan faktor-faktor di atas, PGEO memiliki fundamental yang solid untuk mempertahankan pertumbuhan jangka panjang. Tantangan tetap ada, terutama dari sisi regulasi yang belum sepenuhnya berpihak dan keterbatasan infrastruktur pendukung. Namun secara umum, PGEO berada pada posisi yang relatif unggul dalam peta transisi energi nasional dan regional. Keberhasilan perusahaan dalam menjaga efisiensi, memperluas kapasitas terpasang, dan memanfaatkan dukungan pembiayaan global akan menjadi kunci utama dalam mempertahankan daya saing dan meningkatkan nilai perusahaan ke depan. Dalam konteks pasar modal, fundamental seperti ini menjadikan PGEO sebagai salah satu emiten energi hijau dengan daya tarik tersendiri bagi investor jangka panjang yang mengedepankan faktor keberlanjutan.

    Pergerakan harga saham PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) dalam beberapa bulan terakhir mencerminkan dinamika sentimen investor terhadap prospek sektor energi hijau di Indonesia, khususnya panas bumi. Setelah mencatatkan kinerja relatif stagnan pada awal kuartal I 2025, saham PGEO menunjukkan tren penguatan pada pertengahan April. Harga saham mulai bergerak di atas rerata pergerakan jangka pendek, mengindikasikan masuknya akumulasi dari pelaku pasar. Data per 24 April 2025 pukul 08:26 GMT mencatat bahwa saham PGEO berada dalam kondisi teknikal “sangat beli” menurut sejumlah indikator teknikal utama. Kenaikan ini didorong oleh optimisme pasar terhadap prospek ekspansi PGEO serta sejumlah sentimen makro yang mendukung penguatan saham sektor energi bersih.

    Secara teknikal, indikator Relative Strength Index (RSI) berada di level 63,39 yang mengindikasikan bahwa saham berada dalam tren naik namun belum masuk zona jenuh beli. Indikator MACD (Moving Average Convergence Divergence) menunjukkan angka 7,97 yang berada di zona positif, menandakan kekuatan momentum kenaikan yang relatif stabil. ADX (Average Directional Index) di level 43,20 memperkuat konfirmasi tren yang kuat dan berkelanjutan. Di sisi lain, indikator stochastic RSI dan Williams %R menunjukkan kondisi overbought dengan angka masing-masing 100 dan -9,09, yang mengisyaratkan kemungkinan adanya konsolidasi harga dalam waktu dekat. Namun, indikator lainnya seperti CCI (Commodity Channel Index) di angka 156,66 dan ROC (Rate of Change) sebesar 15,38 masih menandakan kekuatan beli dominan.

    Sinyal akumulasi juga tercermin dari indikator Moving Average. Rata-rata pergerakan jangka pendek seperti MA5 (864,00) dan MA10 (846,50) berada di bawah harga pasar saat ini, menunjukkan dukungan teknikal dari sisi investor jangka pendek. Bahkan MA20 dan MA50, baik secara sederhana maupun eksponensial, menunjukkan sinyal beli. 

    Sementara itu, MA100 dan MA200 masih berada di atas harga terkini, yang mencerminkan bahwa saham PGEO masih dalam proses recovery dari tren menurun sebelumnya. Namun demikian, konvergensi MA jangka pendek dan menengah memberikan indikasi bahwa pasar mulai membangun landasan kenaikan baru. Dengan resisten terdekat berada di kisaran Rp876 hingga Rp888 menurut perhitungan pivot klasik, dan support kuat berada di kisaran Rp836 hingga Rp848, saham PGEO kini diperdagangkan mendekati level teknikal kritis yang dapat menjadi penentu arah jangka menengah.

    Infografis: Indikator Finansial & Saham PGEO. (Foto: AI untuk KabarBursa)

    Dari sisi sentimen, penguatan harga saham PGEO turut dipengaruhi oleh pemberitaan positif mengenai ekspansi kapasitas dan kerja sama strategis internasional, seperti Joint Study Agreement dengan Zorlu Enerji dari Turki. Di samping itu, meningkatnya kesadaran investor terhadap portofolio berkelanjutan dan prospek jangka panjang energi panas bumi menjadikan PGEO sebagai salah satu saham yang diperhatikan dalam ranah Environmental, Social, and Governance (ESG). Analis pasar mencermati bahwa saham PGEO sedang memasuki fase peralihan dari akumulasi menuju breakout, seiring dengan peningkatan volume perdagangan dan dukungan indikator teknikal yang solid.

    Namun demikian, risiko tetap ada. Fluktuasi harga saham masih dipengaruhi oleh dinamika regulasi energi dalam negeri, perubahan arah kebijakan fiskal, serta sensitivitas investor terhadap rencana pensiun PLTU dan bauran energi nasional. Oleh karena itu, meskipun sinyal teknikal saat ini menunjukkan potensi kenaikan lanjutan, pelaku pasar tetap disarankan untuk memperhatikan titik pivot dan indikator momentum lainnya guna mengantisipasi kemungkinan koreksi jangka pendek. Dalam lanskap yang lebih luas, tren positif saham PGEO menggambarkan bahwa investor mulai merespons prospek energi panas bumi sebagai bagian penting dari agenda transisi energi Indonesia, meskipun realisasi kebijakan pemerintah masih menjadi faktor penentu yang tidak bisa diabaikan.

    Indonesia Punya Potensi Jadi Pemimpin Transisi Energi

    Disparitas antara komitmen politik yang telah dinyatakan oleh Presiden Prabowo Subianto dan implementasi aktual kebijakan transisi energi di Indonesia menjadi sorotan utama dalam dinamika pembangunan sektor energi bersih nasional. Meskipun dalam berbagai forum internasional dan pidato kenegaraan Presiden menyampaikan target ambisius, seperti pensiun dini PLTU dalam 15 tahun dan pencapaian Net Zero Emission sebelum 2050, peta jalan kebijakan di tingkat kementerian dan regulasi teknis menunjukkan arah yang belum sepenuhnya sejalan. 

    Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) bahkan menurunkan target bauran energi terbarukan dan tetap mempertahankan peran dominan batu bara dalam pasokan listrik jangka menengah. Tidak adanya rincian konkret soal daftar PLTU yang akan dipensiunkan serta ketidakjelasan insentif fiskal bagi energi baru dan terbarukan menjadi hambatan struktural yang harus segera diatasi.

    Dalam konteks tersebut, Pertamina Geothermal Energy menempati peran strategis sebagai motor utama sektor panas bumi Indonesia dan pionir dalam industri energi hijau nasional. Sebagai anak usaha Pertamina yang berstatus BUMN dan emiten publik, PGEO tidak hanya memiliki tanggung jawab bisnis untuk menghasilkan laba, tetapi juga memiliki mandat strategis untuk mendukung kebijakan energi bersih dan transisi nasional. 

    Kinerja keuangan PGEO pada 2024 mencerminkan ketahanan model bisnis dengan pendapatan mencapai USD407 juta dan produksi listrik dan uap tertinggi dalam sejarah perusahaan. Di sisi lain, strategi ekspansi kapasitas terpasang menjadi 1 GW dalam dua tahun ke depan menunjukkan kesiapan PGEO untuk menjawab kebutuhan energi bersih yang terus meningkat. Analisis teknikal saham juga menunjukkan tren penguatan, mengindikasikan bahwa investor mulai memberikan apresiasi terhadap fundamental perusahaan dan prospek jangka panjang sektor panas bumi. 

    Namun demikian, agar transisi energi di Indonesia dapat berjalan lebih cepat dan konsisten dengan target internasional, diperlukan sejumlah rekomendasi kebijakan berbasis fakta. Pertama, pemerintah perlu menyelaraskan antara komitmen politik dengan dokumen perencanaan sektoral seperti RUKN, KEN, dan RUPTL, agar seluruh pemangku kepentingan memiliki arah kebijakan yang jelas dan konsisten. 

    Kedua, reformasi regulasi dan penyederhanaan proses perizinan untuk proyek energi terbarukan harus menjadi prioritas, termasuk penetapan skema tarif yang bankable dan model pembiayaan yang menjamin kepastian pengembalian investasi. Ketiga, dukungan fiskal dalam bentuk subsidi, insentif pajak, dan kemudahan pembiayaan hijau perlu diperluas, tidak hanya untuk proyek pemerintah tetapi juga untuk BUMN dan sektor swasta yang bergerak di bidang energi terbarukan.

    Lebih lanjut, keterlibatan lembaga pembiayaan internasional dan platform kolaborasi seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM) perlu dioptimalkan untuk mendorong pensiun dini PLTU dan pembangunan proyek energi bersih pengganti. Dalam hal ini, PGEO dan BUMN energi lainnya dapat berperan sebagai pelaksana utama proyek transisi, dengan didukung oleh regulasi yang proaktif dan ekosistem investasi yang kondusif. 

    Dukungan terhadap riset, transfer teknologi, dan pengembangan sumber daya manusia di sektor energi hijau juga menjadi krusial agar transisi energi tidak hanya berhasil secara teknis, tetapi juga berkelanjutan secara sosial dan ekonomi.

    Infografis: Rekomendasi Kebijakan untuk Transisi Energi. (Foto: AI untuk KabarBursa)

    Dengan keselarasan arah politik, kebijakan regulatif, dan dukungan sektor industri, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pemimpin regional dalam transisi energi. Peran PGEO dalam mendemonstrasikan keberhasilan pengembangan panas bumi akan menjadi model penting dalam pembuktian bahwa transisi energi bukan sekadar komitmen retoris, tetapi realitas yang dapat diwujudkan melalui kepemimpinan, kolaborasi, dan keberanian untuk berubah. 

    Tanpa keberanian untuk mereformasi sistem energi secara menyeluruh, Indonesia berisiko tertinggal dalam perlombaan global menuju ekonomi rendah karbon. Sebaliknya, jika momentum ini dimanfaatkan dengan benar, transisi energi dapat menjadi fondasi baru pertumbuhan ekonomi hijau dan pembangunan nasional jangka panjang. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.