KABARBURSA.COM – Instrumen obligasi hijau atau green bond mulai menarik perhatian pelaku pasar keuangan nasional.
Peningkatan minat terhadap instrumen berbasis lingkungan ini memberi sinyal kuat bahwa pembiayaan berkelanjutan di Indonesia akan semakin berkembang hingga tahun depan.
Perwakilan PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI), Salvian Fernando, menyampaikan tren kenaikan penerbitan green bond oleh korporasi di Indonesia.
“Kami melihat memang prospek atau demand dari green bond ini cukup tinggi yang beberapa korporasi menerbitkan green bond. Cukup banyak dibandingkan dengan tahun-tahun lalu,” ujar Salvian dalam edukasi daring dikutip Minggu, 12 Oktober 2025.
Ia menambahkan bahwa PHEI juga tengah mempersiapkan langkah untuk mengakomodasi faktor keberlanjutan dalam metodologi penilaian.
“Salah satu yang sedang kita selesai juga, yang sedang kita kaji, mungkin juga ada rencana untuk lebih banyak menginfo faktor keberlanjutan dalam metodologi kita, baik itu kekenyangan, valuasi, ataupun resursi,” papar Salvian.
Peningkatan minat investor terhadap green bond terjadi di tengah kondisi fiskal Indonesia yang diperkirakan mendorong stabilitas pasar obligasi. Pemerintah diprediksi akan mengurangi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) tahun depan karena adanya peningkatan pendapatan negara. Penurunan pembiayaan anggaran ini menjadi momentum bagi penerbitan obligasi korporasi, termasuk obligasi hijau.
Salvian juga menekankan bahwa kepemilikan asing terhadap SBN saat ini masih rendah, sehingga pasar obligasi Indonesia relatif lebih stabil terhadap tekanan eksternal. “Investor asing kepemilikan yang sekarang tinggal 14 persen, sangat rendah, makanya kita tidak terlalu terimpact dengan isu-isu global,” ujarnya.
Permintaan tinggi terhadap obligasi hijau juga beriringan dengan tren serupa pada obligasi syariah. Dalam beberapa lelang terakhir, permintaan mencapai hampir Rp100 triliun, sementara yang dimenangkan hanya sekitar Rp30 triliun.
“Demand terhadap obligasi hijau dan syariah selalu tinggi,” kata Salvian.
Menurutnya, tren ini akan terus berlanjut hingga kuartal IV 2025 karena instrumen berkelanjutan semakin dilirik oleh investor institusional seperti dana pensiun dan asuransi. Stabilitas yield dan momentum ESG dinilai akan memperkuat posisi green bond di pasar keuangan Indonesia.
Kebijakan Fiskal Menjadi Katalis Pasar Obligasi
Pemerintah diperkirakan akan mengurangi penerbitan SBN pada 2026 mendatang. Penurunan penerbitan ini didorong oleh proyeksi peningkatan pendapatan negara, meski belanja negara naik sekitar Rp200 triliun. Kondisi ini menciptakan ruang yang lebih luas bagi penerbitan obligasi korporasi, termasuk green bond.
Salvian juga menyoroti potensi penurunan suku bunga acuan secara bertahap pada kuartal IV 2025, yang dapat menopang tren penurunan yield obligasi. Ia menyebutkan penyesuaian suku bunga sebesar 25 basis poin kemungkinan terjadi pada Oktober dan Desember.
Dalam diskusi tersebut, Salvian juga menjelaskan bahwa kepemilikan asing terhadap SBN saat ini rendah. “Investor asing kepemilikan yang sekarang tinggal 14 persen, sangat rendah, makanya kita tidak terlalu terimpact dengan isu-isu global,” ujarnya.
Kondisi ini memberikan daya tahan terhadap tekanan eksternal, termasuk dampak kenaikan yield US Treasury yang berada di kisaran 4 persen hingga 5 persen akibat tekanan fiskal di Amerika Serikat. Spread yield antara obligasi Indonesia dan AS kini menyempit di kisaran 200 basis poin, turun dari level 360 hingga 400 basis poin pada periode sebelumnya.
Sementara, minat terhadap obligasi dengan tenor pendek terus menguat. Yield obligasi di bawah lima tahun lebih cepat turun dibandingkan tenor panjang, baik pada SBN maupun obligasi korporasi. Ini menjadi salah satu alasan mengapa investor ritel maupun institusi mulai memperbesar eksposur ke green bond dan obligasi jangka pendek.
“Demand terhadap obligasi hijau dan syariah selalu tinggi,” kata Salvian.
Dalam beberapa lelang terakhir, permintaan mendekati Rp100 triliun, sementara penawaran yang dimenangkan hanya sekitar Rp30 triliun. Kondisi ini memperlihatkan kuatnya minat pasar terhadap instrumen berkelanjutan. (*)