KABARBURSA.COM – Kualitas udara di Indonesia sepanjang tahun lalu menunjukkan tren yang kian memburuk. Data terbaru Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) mencatat kawasan Jabodetabek sebagai wilayah dengan tingkat polusi tertinggi di Indonesia dengan konsentrasi PM2.5 berada pada rentang 30 hingga 55 mikrogram per meter kubik (μg/m³). Angka itu berarti enam sampai 11 kali lipat lebih tinggi dari ambang batas ideal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang hanya 5 μg/m³.
Partikulat halus PM2.5 menjadi perhatian utama karena ukurannya yang sangat kecil sehingga mampu menembus jaringan terdalam paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah. Karena itu, CREA mendorong pemerintah untuk segera menetapkan Baku Mutu Udara Ambien Nasional sebagai kerangka kerja hukum guna mempercepat perbaikan kualitas udara secara menyeluruh.

Di Pulau Jawa, nyaris semua kota kini masuk dalam kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif. Purwakarta mencatat konsentrasi PM2.5 sebesar 56,9 μg/m³, sementara Bandung mencapai 40 μg/m³. Adapun kota-kota besar lain di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, hingga Papua mencatat kualitas udara yang masuk kategori sedang dengan kadar rata-rata PM2.5 tahunan sekitar 18 hingga 26 μg/m³.
Situasi ini terjadi ketika pemantauan kualitas udara di Indonesia sebenarnya menunjukkan perbaikan dari sisi cakupan. Isu polusi pun sempat menjadi topik utama dalam debat Pemilihan Presiden 2024. Namun hingga kini, pemerintah belum memiliki komitmen nasional yang menetapkan target jangka panjang untuk pengurangan polutan udara yang berdampak pada kesehatan masyarakat.
“Meskipun Indonesia tidak sendirian dalam menghadapi tantangan kualitas udara, pemerintah tidak seharusnya menunda penerapan Baku Mutu Udara Ambien Nasional. Kami mendesak Presiden Prabowo untuk proaktif menangani semua masalah kualitas udara yang beliau bahas pada saat debat Pemilihan Presiden 2024 dengan memprioritaskan transparansi dan pembuatan kebijakan berbasis bukti,” kata analis dari CREA, Katherine Hasan, dalam keterangan tertulis, Selasa, 24 Juni 2025.

CREA menilai pernyataan yang disampaikan dalam debat capres lalu membuka jalan untuk menuntut tindakan konkret dari Prabowo dan kabinetnya. Perbaikan kualitas udara, menurut CREA, harus dimulai dengan memperkuat konsolidasi kewenangan, menyusun kebijakan lintas sektor, menyempurnakan kerangka hukum, dan mengalokasikan sumber daya yang cukup di tingkat pusat maupun daerah.
Salah satu langkah yang mendesak ialah memperbaiki sistem pemantauan kualitas udara. Sejak Maret lalu, Kedutaan Besar Amerika Serikat menghentikan dua perangkat monitor yang sebelumnya dipasang di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan sejak 2015. Saat ini, monitor di Jakarta Pusat sudah tidak lagi aktif. Jika situasi yang sama terjadi di wilayah selatan, maka Jakarta hanya akan memiliki satu titik pantau kualitas udara aktif.
Tak hanya itu, CREA juga menyoroti belum terbukanya akses publik secara menyeluruh terhadap sistem pemantauan kualitas udara ambien nasional. Padahal, ketersediaan data yang transparan merupakan prasyarat penting untuk mengelola polusi secara efektif. Akses data ini bisa membantu sektor kesehatan merancang langkah mitigasi jika terjadi lonjakan polusi yang berisiko bagi masyarakat.
Menurut Katherine, masyarakat sipil di Indonesia sejak lama menyuarakan tuntutan terhadap udara bersih lewat berbagai cara, mulai dari gugatan warga negara, aksi unjuk rasa, hingga kampanye di media sosial dan inisiatif berbasis komunitas. CREA memandang pembangkit listrik termal menjadi salah satu sektor yang paling mungkin disasar karena memiliki sumber emisi yang teridentifikasi dan terkelola dengan baik. “Serta telah terbentuknya kerangka peraturan yang mapan, yang memungkinkan pemantauan dan koordinasi yang ketat dengan badan pengawasan tingkat nasional maupun internasional,” kata Katherine.
WHO sebenarnya telah merilis Air Quality Guideline sejak 2021. Meski tak mengikat secara hukum, panduan ini dapat menjadi arah bagi negara untuk secara bertahap menurunkan tingkat polusi hingga ke batas yang disarankan.
Saat ini, Indonesia menetapkan ambang batas tahunan PM2.5 sebesar 15 μg/m³, sesuai dengan Target Interim WHO 3. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun kenyataannya, nilai ambang batas itu hampir selalu dilampaui setiap tahun. Fakta ini menjadi sinyal bahwa Indonesia memerlukan tata kelola udara yang lebih kuat dan terukur.
Udara Jabodetabek Makin Pengap
Sepanjang musim kemarau panjang 2024, kualitas udara di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi tak kunjung membaik. Alih-alih menurun, tingkat polusi udara justru kian parah. Urbanisasi yang pesat membuat kawasan ini menjadi kantong emisi dari berbagai sumber, baik yang bersifat stasioner seperti industri dan pembangkit, maupun sumber bergerak seperti kendaraan bermotor.
Tanpa pengelolaan yang terintegrasi, semua sumber itu menyumbang peningkatan konsentrasi polutan berbahaya di udara. Di antaranya adalah partikel halus PM2.5 dan PM10, serta gas pencemar seperti nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO2), ozon permukaan (O3), dan karbon monoksida (CO).

Berbagai studi menunjukkan paparan polutan udara menjadi faktor risiko utama bagi penyakit tidak menular, termasuk jantung iskemik, stroke, asma, PPOK, dan kanker. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan menegaskan bahwa tidak ada ambang batas polusi udara yang bisa dikatakan aman.
Penegasan itu dituangkan dalam Pedoman Kualitas Udara WHO (Air Quality Guidelines/AQG) yang diperbarui pada 2021. Di dalamnya tercantum ambang batas yang direkomendasikan untuk berbagai jenis polutan dengan standar ketat berdasarkan rata-rata harian, musiman, maupun tahunan.
Laporan tahunan dari IQAir mencatat lonjakan signifikan dalam jumlah kota yang dipantau kualitas udaranya. Jika pada 2017 hanya ada 2.045 kota, maka pada 2024 jumlah itu melonjak jadi 8.234 kota. Pertumbuhan lebih dari empat kali lipat ini mencerminkan meningkatnya kesadaran global atas bahaya polusi udara terhadap kesehatan masyarakat. Permintaan akan data kualitas udara tak hanya tumbuh dari publik, tapi juga menjadi dorongan bagi pemerintah untuk bersikap lebih proaktif.
Indonesia juga mengalami perkembangan dalam hal pemantauan. Pada 2017, Jakarta menjadi satu-satunya kota dengan data kualitas udara yang tersedia. Namun pada 2024, informasi telah tersedia untuk 60 kota dan daerah di 26 provinsi. Meski demikian, dari total 98 kota yang ditetapkan Kementerian Dalam Negeri, hanya sepertiga yang memiliki data kualitas udara tahunan yang bisa diakses.
Jabodetabek masih memegang predikat sebagai wilayah paling tercemar. Tahun lalu, Tangerang Selatan menempati peringkat pertama kota dengan polusi tertinggi di Indonesia dengan rerata PM2.5 tahunan sebesar 61,1 mikrogram per meter kubik. Disusul Purwakarta (56,9 μg/m³), Tangerang (50,5 μg/m³), Cikarang, Depok, Bekasi, Serpong, dan Jakarta. Ibu kota sendiri duduk di peringkat ke-8 dengan rerata 41,7 μg/m³.
Kondisi ini jauh di atas standar kesehatan yang direkomendasikan lembaga internasional. Ambang batas tahunan untuk PM2.5 yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia hanya 5 μg/m³. Artinya, sejumlah kota di Indonesia mencatatkan tingkat polusi hingga tujuh sampai dua belas kali lipat dari batas aman tersebut.
Dalam Indeks Kualitas Udara (AQI) Amerika Serikat, kadar harian antara 35–55 μg/m³ sudah tergolong “tidak sehat bagi kelompok sensitif”. Adapun AQI versi Uni Eropa mengategorikan kadar 25–50 μg/m³ sebagai kualitas udara “buruk”. Dengan tingkat tahunan yang melebihi 55 μg/m³, kota-kota seperti Tangerang Selatan, Purwakarta, dan Tangerang sudah masuk dalam kategori “tidak sehat” menurut klasifikasi Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) Indonesia.
Tren ini menandakan bahwa krisis udara bersih di Indonesia telah menyebar melampaui Jakarta dengan kota-kota satelit dan kawasan industri mulai menunjukkan tingkat pencemaran yang serupa atau bahkan lebih tinggi.(*)