KABARBURSA.COM - Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang mencapai 3.677 gigawatt. Potensi ini berasal dari berbagai sumber seperti tenaga surya, angin, air, biomassa, arus laut, hingga panas bumi. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani mengungkapkan hal ini dalam acara Leaders Forum 'Menuju Indonesia Hijau: Inovasi Energi dan Sumber Daya Manusia,' di Hotel St. Regis, Jakarta Selatan, Selasa, 17 September 2024.
Rosan menjelaskan, meskipun potensi EBT di Indonesia sangat besar, pemanfaatannya masih jauh dari harapan. Hingga saat ini, Indonesia baru mampu memanfaatkan sekitar 14 persen dari total potensi tersebut. Angka ini masih jauh dari target 23 persen yang telah ditetapkan untuk tahun 2025.
“Energi baru terbarukan itu 14 persen, padahal target kita pada tahun 2025 setahun dari sekarang itu sebetulnya adalah 23 persen. Jadi kita memang ketinggalan," ungkap Rosan.
Salah satu sumber energi yang belum dimanfaatkan secara optimal adalah panas bumi. Saat ini, kontribusi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) hanya mencapai 3 persen dari total produksi listrik nasional. Padahal, Indonesia memiliki cadangan energi panas bumi terbesar kedua di dunia, yang sebagian besar tersimpan di Pulau Jawa.
“Potensi panas bumi kita mungkin nomor dua terbesar di dunia, terutama di Pulau Jawa. Namun, utilisasinya masih kurang dari 3 persen,” jelas Rosan.
Rosan menilai, tanpa adanya kebijakan yang mendukung, seperti pemberian insentif kepada pengusaha atau investor, potensi energi terbarukan di Indonesia akan sulit untuk berkembang. Ia menekankan pentingnya kebijakan yang mampu mendorong peralihan ke energi hijau secara lebih cepat, efektif, dan efisien.
"Kita bisa beralih ke energi hijau dengan lebih cepat, lebih baik, lebih efektif dan lebih efisien," kata Rosan.
Lambat Berjalan
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan Indonesia memiliki potensi sumber daya panas bumi yang sangat besar, mencapai 24.000 megawatt atau sekitar 40 persen dari total potensi panas bumi dunia. Namun, pengembangan energi ini terhambat, dengan hanya 11 persen atau 2.600 MW yang terpasang sejauh ini.
Jokowi mengungkapkan keheranannya mengapa pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) berjalan lambat, padahal investor tertarik pada energi hijau dan Energi Baru Terbarukan (EBT). “Saya sudah ke tiga lokasi PLTP, tapi pengembangan ini belum berjalan cepat,” kata Jokowi dalam acara IIGCE 2024 di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Rabu, 18 September 2024.
Ternyata, proses perizinan yang panjang menjadi kendala utama. Menurut Jokowi, butuh waktu 5-6 tahun untuk membangun sebuah PLTP, dan itu pun belum tentu langsung beroperasi. Dia meminta Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, untuk mencari cara mempercepat proses perizinan ini, agar investor tertarik dan Indonesia bisa segera mendapatkan tambahan listrik hijau.
Dalam acara tersebut, Jokowi juga menyaksikan pengumuman hasil lelang Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) serta penawaran Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi untuk tujuh Wilayah Panas Bumi. Selain itu, terdapat penandatanganan perjanjian pengembangan teknologi binary geothermal power plant dan peluncuran Commercial Operation Date (COD) untuk beberapa PLTP.
Investasi USD28 Miliar
PT Pertamina Geothermal Energy Tbk atau PGE (PGEO) sebelumnya mengungkapkan percepatan pengembangan panas bumi diyakini akan menarik investasi, mendorong pengembangan teknologi dalam negeri, dan memberikan dampak positif pada perekonomian.
Direktur Utama PGE Julfi Hadi, mengatakan panas bumi merupakan energi hijau yang paling layak untuk dikembangkan sebagai tulang punggung transisi energi nasional dan mendukung agenda transisi energi nasional dan pencapaian net zero emission (NZE) 2060.
Hadi menambahkan bahwa Indonesia memiliki total potensi panas bumi sebesar 24 GW, setara dengan 17 persen cadangan global dan terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Sebagian besar cadangan merupakan sumber daya berkualitas tinggi, atau kategori high enthalpy (bersuhu tinggi) yang sangat sesuai untuk pembangkit listrik.
Pemanfaatan 30 persen saja dari potensi energi panas bumi Indonesia tersebut akan mampu memperkuat ketahanan energi nasional. Karena itu, diperlukan upaya percepatan pengembangan energi panas bumi.
“Untuk mencapai target bauran energi nasional pada 2033 dibutuhkan penambahan kapasitas terpasang 4,4 GW yang diperkirakan akan menarik investasi sebesar USD27–28 miliar. Untuk setiap investasi sebesar USD1 di sektor bisnis hijau seperti panas bumi akan menghasilkan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar USD1,25, memberikan manfaat berganda signifikan bagi ekonomi Indonesia. Tak hanya itu, diperkirakan 70-100 lapangan kerja akan tercipta untuk setiap USD1 juta investasi di sektor panas bumi,” kata Julfi, dalam keterangannya, Senin, 16 September 2024.
Julfi Hadi juga menekankan bahwa panas bumi adalah sumber energi terbarukan yang stabil, andal, dan berperan penting dalam mendukung transisi energi Indonesia dan mengurangi ketergantungan pada sumber energi konvensional. Panas bumi memiliki dua karakteristik penting untuk mendukung peran tersebut.
Pertama, potensi panas bumi di Indonesia sebagian besar (70-80 persen) terletak di wilayah yang memiliki kebutuhan energi listrik terbesar, yaitu Jawa dan Sumatra. Karena itu, pengembangan energi panas bumi secara langsung mampu memenuhi kebutuhan energi hijau Indonesia seiring dengan bertumbuhnya ekonomi.
Kedua, selain tidak bersifat intermittent, dalam memberikan pasokan listrik secara terus menerus, pembangkit panas bumi memiliki capacity factor sekitar 90 persen yang berarti efisiensi sangat tinggi antara kapasitas terpasang dan daya listrik aktual yang mampu dibangkitkan. Karakteristik ini membuat panas bumi memiliki potensi besar sebagai energi hijau yang menjadi pemikul beban dasar kelistrikan (green baseload) masa depan.
Meski potensinya sangat besar, saat ini baru 2,6 GW atau sekitar 11 persen dari sumber daya panas bumi Indonesia yang telah dimanfaatkan. Ini menunjukkan masih banyak ruang dan peluang untuk masa depan, termasuk mengembangkan ekosistem investasi panas bumi.
“Penting untuk menarik investasi dari perusahaan manufaktur panas bumi, baik di sektor hulu maupun hilir, agar mereka datang ke Indonesia dan membangun kapasitas manufaktur di sini,” kata Direktur Panas Bumi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Gigih Udi Atmo.(*)