KABARBURSA.COM - Sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia hingga kini belum memulai implementasi campuran wajib biodiesel yang lebih tinggi, yakni B40. B40 merupakan program pencampuran biodiesel dengan bahan bakar fosil, di mana 40 persen dari bahan bakar yang digunakan berasal dari minyak kelapa sawit, sementara sisanya, 60 persen, adalah bahan bakar diesel berbasis fosil.
Rencananya, bauran bahan bakar berlaku mulai 1 Januari. Namun, ketidakjelasan soal regulasi teknis membuat para pelaku industri kebingungan, termasuk para pedagang minyak sawit sendiri. Akibatnya, kontrak minyak sawit patokan untuk pengiriman Maret di Bursa Berjangka Malaysia turun 2,5 persen pada Kamis, 2 Januari 2025, menjadi 4.336 ringgit (sekitar USD968,72 atau Rp15,5 juta) per ton, setelah sebelumnya sempat naik 1,8 persen mengikuti penguatan harga minyak nabati di Dalian.
Rencana peningkatan campuran biodiesel ini sebelumnya telah mendorong kenaikan hampir 20 persen pada harga minyak sawit Malaysia sepanjang 2024. Ekspektasi berkurangnya ekspor minyak sawit dari Indonesia menjadi faktor utama penguat harga.
Namun, hingga hari ini, Pertamina dan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) masih menunggu keputusan resmi untuk mulai menjual bahan bakar tersebut. “Setelah regulasi diterbitkan, akan ada waktu transisi sebelum penjualan dimulai. Saat ini kami telah mempersiapkan kilang Plaju dan Kasim untuk memproses B40,” kata Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, dikutip dari Reuters, Kamis, 2 Januari 2025.
[caption id="attachment_109967" align="alignnone" width="1580"] Realisasi biodiesel di Indonesia dari tahun 2021 hingga Agustus 2024.[/caption]
Sekretaris Jenderal APROBI, Ernest Gunawan, mengatakan anggotanya tidak dapat menandatangani kontrak distribusi biodiesel tanpa adanya keputusan resmi dari pemerintah.
Sementara Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Edi Wibowo, pada hari yang sama menyebutkan pihaknya masih menunggu arahan lebih lanjut mengenai B40, namun tidak memberikan rincian lebih jauh. Beberapa pejabat senior kementerian pun belum merespons pertanyaan perihal implementasi kebijakan ini.
Para pengamat industri minyak sawit memperkirakan kebijakan ini akan diberlakukan secara bertahap. Di sisi lain, pedagang minyak sawit masih menunggu alokasi resmi biodiesel yang akan diberikan pemerintah kepada penyalur bahan bakar untuk menghitung dampak kebijakan ini terhadap ekspor.
Pemerintah sebelumnya menyatakan akan mengalokasikan 15,62 juta kiloliter (setara 4,13 miliar galon) bahan bakar berbasis sawit untuk B40 pada 2025. Namun, rencana subsidi yang diperuntukkan bagi non-industri ini—di mana mencakup kurang dari separuh kebutuhan nasional— telahmemicu kekhawatiran.
“Masih ada hambatan bagi sentimen bullish karena pelaku pasar belum yakin dengan keberhasilan kebijakan biodiesel B40 Indonesia,” kata Kepala Riset Sunvin Group yang berbasis di Mumbai, Anilkumar Bagani.
Kesiapan Biodiesel B40
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Yuliot, sebelumnya mengatakan B40 akan mulai berjalan pada 1 Januari 2025. Ia bahkan sempat melakukan inspeksi langsung ke Kilang Pertamina Refinery Unit II di Dumai, Riau, pada akhir Desember 2024 untuk memastikan kesiapan industri Fatty Acid Methyl Ester (FAME), bahan baku utama B40. “Kami sudah melihat sendiri kesiapan dari sisi industri Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebagai bahan bakar nabati," kata Yuliot di Dumai, Jumat, 27 Desember 2024, dilansir dari laman Kementerian ESDM.
Program B40 memerlukan pasokan biodiesel yang tidak main-main. Dengan estimasi kebutuhan mencapai 15,6 juta kiloliter per tahun, tantangan terbesar bukan hanya pada ketersediaan bahan baku, tetapi juga rantai pasok yang mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari kota-kota besar hingga daerah terpencil, distribusi biodiesel ini menjadi pekerjaan rumah besar yang harus segera diselesaikan.
Menurut Yuliot, Kementerian ESDM memahami kondisi geografis Indonesia yang begitu beragam dapat menjadi hambatan serius dalam implementasi B40. Tidak hanya soal jarak, tetapi juga infrastruktur yang belum merata di beberapa wilayah. Untuk itu, pemerintah mencoba melibatkan berbagai badan usaha dan pelaku industri untuk memberikan masukan terkait strategi distribusi yang efektif dan efisien.
"Kami mengharapkan masukan dari Pertamina Patra Niaga maupun badan usaha lain terkait tantangan implementasi B40. Misalnya, wilayah seperti Dumai yang relatif panas, atau daerah dataran tinggi dengan suhu lebih dingin, apakah ada impact yang perlu disiapkan baik oleh Pertamina maupun badan usaha BBM yang akan melaksanakan mandatori B40," jelas Yuliot.
PT Pertamina (Persero) telah menyiapkan infrastruktur utama untuk mendukung implementasi program B40. Dua kilang andalan, yakni Refinery Unit III di Plaju, Palembang, dan Refinery Unit VII di Kasim, Papua, akan menjadi pusat produksi bahan bakar berbasis biodiesel ini. Kedua kilang tersebut akan memproduksi B0, yang kemudian dicampur dengan bahan bakar nabati untuk menghasilkan B40.
Proses pencampuran atau blending bahan bakar ini nantinya akan dikelola oleh Pertamina Patra Niaga. Dengan pengaturan ini, seluruh rantai produksi dan distribusi B40 diharapkan dapat berjalan secara efisien.
"Pada dasarnya, kilang kami rata-rata memproduksi bahan bakar B0, dan insya Allah siap untuk memproduksi B40. Kilang yang akan memproduksi B40 adalah RU III Plaju dan RU VII Kasim, sementara blendingnya dilakukan oleh Patra Niaga," kata Direktur Operasi PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Didik Bahagia.(*)