Logo
>

Transisi Energi Jalan di Tempat, PLN Masih Terlilit Prosedur

PLN dinilai lamban eksekusi proyek EBT, sementara pemerintah menggandeng investor asing untuk dorong transisi energi di 15 provinsi.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Transisi Energi Jalan di Tempat, PLN Masih Terlilit Prosedur
Transisi energi Indonesia masih lambat. PLN terhambat prosedur, regulasi tumpang tindih, investor ragu, target bauran energi terancam meleset. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM – Kinerja transisi energi Indonesia ternyata melambat jauh dari harapan. Sejumlah pakar menuding kinerja tak efisien PT PLN (Persero) dan kebijakan yang saling tambal–sulam sebagai biang keladi minimnya proyek terbarukan yang layak dibiayai.

Di sisi lain, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mulai menggeber inisiatif energi hijau. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya menyatakan adanya minat investor kelas kakap—mulai dari raksasa minyak Inpex asal Jepang hingga Chevron dari Amerika Serikat—untuk masuk ke ladang panas bumi Indonesia.

Dalam sebuah forum publik pada 24 Juni lalu, Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP), Paul Butarbutar, tak menutupi kekecewaannya terhadap kinerja PLN. “PLN masih lamban membeli listrik energi terbarukan, khususnya proyek skala kecil dan off-grid,” ujarnya, dikutip dari Recessary di Jakarta, Selasa, 1 Juli 2025.

Reformasi aturan kandungan lokal dan skema perjanjian jual-beli listrik (PPA) memang sempat memompa optimisme pelaku usaha. Namun, kata Paul, implementasinya mandek karena PLN belum juga menerbitkan PPA yang benar-benar mengikuti regulasi baru. Ia menilai pola pengadaan berbasis kuota yang terjadwal bakal memulihkan kepercayaan pengembang.

Paul membandingkan situasi sebelum 2017, ketika pengembang bisa bernegosiasi langsung dengan PLN sehingga proses persetujuan proyek jauh lebih singkat. Kini semuanya harus melalui lelang formal yang kerap dianggap gelap dan berbelit. Di saat bersamaan, PLN terikat kontrak pasokan fosil jangka panjang—faktor yang mengerek biaya transisi sekaligus menekan fiskal pemerintah.

Dalam peta jalan perusahaan listrik negara, tahun ini Indonesia ditargetkan menambah 10 GW kapasitas terbarukan baru. Target itu kian diragukan. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, memperkirakan hanya sekitar 2 GW proyek skala besar yang benar-benar beroperasi secara komersial hingga akhir tahun. Bila ditambah PLTS atap, total tambahan kapasitas mungkin cuma seperempat dari rencana.

Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, menyebut hambatan utama transisi bukan kekurangan modal, melainkan regulasi yang saling bertubrukan. “Investor siap menggelontorkan jutaan dolar, tapi menunggu proyek yang bankable,” ujarnya.

Nada serupa datang dari Analis Senior Iklim dan Energi Ember, Dody Setiawan. Ia menegaskan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN seharusnya menjadi tulang punggung transisi, namun eksekusi yang lemah membuat pengembangan surya dan bayu ketinggalan jauh.

Gebyar Proyek Hijau di 15 Provinsi

Di tengah skeptisisme, Prabowo mencoba menyalakan harapan. Pada 26 Juni, ia meresmikan paket proyek energi baru terbarukan di 15 provinsi bernilai Rp25 triliun. Fokusnya terbagi pada pembangkit panas bumi dan tenaga surya.

Pemerintah menargetkan kapasitas terpasang panas bumi naik menjadi 5,15 GW pada 2030. Karena butuh keahlian pengeboran tingkat tinggi, sektor ini menggoda pemain migas. Direktur Jenderal EBTKE ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengungkap Inpex dan Chevron siap berebut sepuluh wilayah kerja panas bumi yang segera ditenderkan.

Eniya menambahkan, kementeriannya sedang menyiapkan relaksasi regulasi agar proyek panas bumi bisa memberi imbal hasil (IRR) di atas 10 persen. Skema ini diharapkan menarik modal baru dan menjadi pemantik akselerasi transisi energi Nusantara.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).