KABARBURSA.COM - Ekonom merekomendasikan pemerintah Indonesia melakukan diversifikasi ekonomi untuk menghadapi tantangan serius akibat penurunan harga komoditas global.
Pasalnya, ketergantungan yang tinggi pada sektor komoditas primer seperti batu bara dan sawit membuat ekonomi negara rentan terhadap fluktuasi pasar internasional.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bakhrul Fikri menekankan pentingnya mengembangkan produk bernilai tambah melalui pengolahan industri, terutama pada komoditas yang restoratif, untuk memperkuat posisinya di pasar internasional.
"Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan serius dalam menjaga ketahanan ekspornya akibat fluktuasi harga komoditas global, terutama batu bara, sawit, dan mineral," ujarnya kepada Kabarbursa.com, Jumat 20 September 2024.
Selain itu, Fikri mengatakan, sektor industri manufaktur yang berbasis teknologi hijau dan energi terbarukan menjadi fokus utama dalam upaya ini. Dengan cara ini, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada sektor komoditas yang rentan terhadap fluktuasi pasar.
"Pada gilirannya, ketergantungan pada sektor komoditas rentan menyebabkan penurunan penerimaan negara dan berdampak pada program pembangunan lainnya, termasuk juga transisi menuju ekonomi hijau," jelasnya.
Oleh sebab itu, Fikri menekankan dalam upaya menghadapi berbagai tantangan ekonomi, Indonesia dihadapkan pada kebutuhan mendesak untuk melakukan inovasi dan diversifikasi produk.
Langkah ini dianggap sebagai kunci untuk mengurangi ketergantungan negara pada sektor-sektor ekstraktif dan komoditas primer, yang umumnya berupa barang mentah atau setengah jadi.
"Untuk menghadapi tantangan ini, tentunya inovasi dan diversifikasi produk ini menjadi kunci keberhasilan di mana Indonesia ini dapat terlepas dari ketergantungan di sektor-sektor ekstraktif. Dan juga komoditas primer yang sifatnya itu barang-barang mentah atau barang setengah jadi," paparnya.
Fikri menyarankan, bahwa penguatan sektor industri, termasuk pengolahan dan manufaktur, akan memberikan landasan yang lebih kokoh bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Melalui diversifikasi produk, Indonesia tidak hanya bisa meningkatkan pendapatan nasional, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru dan memperkuat ketahanan ekonomi secara keseluruhan.
"Seperti yang saya bilang, di industri manufaktur misalkan, tapi yang berbasis teknologi yang hijau dan juga energi terbarukan," tambahnya.
Fikri mengatakan diversifikasi pasar, baik domestik maupun regional, juga sangat penting untuk memperluas pangsa pasar produk hijau dan mengurangi risiko dari guncangan pasar global.
Dengan strategi ini, Indonesia berupaya membangun ketahanan ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan di era transisi menuju ekonomi hijau di masa mendatang.
Penurunan harga komoditas global telah menyoroti kerentanan ekonomi Indonesia. Untuk mengatasi tantangan ini, diversifikasi ekonomi menjadi langkah strategis.
Dengan mengembangkan sektor industri manufaktur yang bernilai tambah tinggi, Indonesia tidak hanya dapat meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru dan memperkuat ketahanan ekonomi.
Selain itu, fokus pada teknologi hijau dan energi terbarukan akan mendukung transisi Indonesia menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Ekspor Indonesia
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai ekspor Indonesia pada Agustus 2024 mencapai USD23,56 miliar, mengalami kenaikan sebesar 5,97 persen dibandingkan dengan ekspor pada Juli 2024. Pudji menyampaikan bahwa dibandingkan Agustus 2023, ekspor meningkat 7,13 persen.
“Ekspor Indonesia pada Agustus 2024 tumbuh 5,97 persen dibandingkan Juli 2024, yaitu dari USD22,24 miliar menjadi USD23,56 miliar. Dibandingkan Agustus 2023, ekspor juga naik 7,13 persen. Peningkatan ini terutama didorong oleh kenaikan ekspor nonmigas sebesar 7,43 persen, dari USD20,81 miliar menjadi USD22,36 miliar,” ujar Pudji.
Secara kumulatif, ekspor Indonesia dari Januari hingga Agustus 2024 mencapai USD170,89 miliar, dengan nilai ekspor nonmigas mencapai USD160,36 miliar.
Dari sepuluh komoditas nonmigas utama yang diekspor pada Agustus 2024, mayoritas mengalami peningkatan, dengan peningkatan terbesar terjadi pada komoditas lemak dan minyak hewani/nabati, yang naik sebesar USD470,8 juta atau 24,50 persen. Namun, ada penurunan pada komoditas logam mulia dan perhiasan/permata, yang turun sebesar USD93,7 juta atau 11,88 persen.
Jika dilihat berdasarkan sektor, ekspor nonmigas dari industri pengolahan selama Januari–Agustus 2024 meningkat 2,05 persen dibandingkan periode yang sama pada 2023. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan juga mencatatkan kenaikan sebesar 14,54 persen. Namun, ekspor dari sektor pertambangan dan lainnya mengalami penurunan sebesar 10,62 persen.
Negara tujuan ekspor nonmigas terbesar pada Agustus 2024 adalah China, dengan nilai USD5,33 miliar, diikuti Amerika Serikat sebesar USD2,61 miliar, dan Jepang sebesar USD1,80 miliar. Ketiga negara ini berkontribusi sebesar 43,55 persen terhadap total ekspor. Sementara itu, ekspor ke ASEAN dan Uni Eropa (27 negara) masing-masing tercatat sebesar USD4,12 miliar dan USD1,54 miliar.
Dari sisi provinsi asal barang, ekspor terbesar Indonesia pada Januari–Agustus 2024 berasal dari Jawa Barat dengan nilai USD24,85 miliar atau 14,54 persen dari total ekspor, diikuti oleh Jawa Timur sebesar USD16,90 miliar (9,89 persen) dan Kalimantan Timur sebesar USD16,73 miliar (9,79 persen). (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.