KABARBURSA.COM – Pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan atau RUU EBET kembali masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 setelah tertunda lebih dari dua tahun. Namun, tarik-menarik kepentingan dan perdebatan seputar skema power wheeling masih menjadi hambatan dalam proses pengesahan regulasi ini.
Analis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Katherine Hasan, menilai molornya regulasi ini menimbulkan ketidakpastian bagi investor di sektor energi hijau. Jika terus berlarut, Indonesia berisiko kehilangan momentum karena investor bisa mengalihkan modalnya ke negara lain dengan regulasi yang lebih jelas dan ramah investasi.
"Di tingkat global, tren energi bersih sudah mendominasi pasar. Namun, realisasinya di Indonesia masih tertinggal, bukan karena kurangnya minat, melainkan karena kebijakan yang belum mendukung penuh. Jika regulasi tidak segera diselesaikan, investor bisa mencari peluang di negara lain," ujar Katherine kepada KabarBursa.com di Jakarta, Rabu, 5 Maret 2025.
Menurut Katherine, faktor utama yang menghambat transisi energi di Indonesia bukanlah kurangnya sumber daya, melainkan ketidakjelasan kebijakan yang mengatur insentif, tarif listrik, dan mekanisme transisi energi.
Selain itu, Katherine juga menyoroti inkonsistensi pemerintah dan DPR dalam mendorong energi hijau. Meski sering menyuarakan pentingnya transisi energi, faktanya, pembahasan RUU EBET terus tertunda tanpa kepastian.
"Jika memang serius ingin mempercepat transisi energi, maka pemerintah dan DPR harus memiliki political will yang kuat. Reformasi kebijakan mendasar dibutuhkan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga di daerah," katanya.
Progres Terkini RUU EBET
Ia berjanji komisinya akan menyegerakan pembahasan RUU EBET untuk kepastian sektor energi terbarukan di Indonesia. Tanpa kepastian hukum, kata dia, pengembangan energi terbarukan bisa terhambat oleh kebijakan yang tumpang tindih.
“Kita ingin memastikan bahwa regulasi ini akan mendukung industrialisasi nasional, bukan malah memperumit proses transisi energi,” kata Bambang dalam Diksusi Forum Legislasi bertajuk “RUU EBT Kembali Dibahas, Menanti Energi Terbarukan Sebagai Solusi Energi” di Komplek Parlemen, Jakarta Pusat, pada Selasa, 25 Februari 2025, lalu.
Politikus Partai Golkar ini pun mengatakan RUU EBT bukan hanya regulasi teknis, tetapi juga bagian dari strategi besar Indonesia dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi delapan persen yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. Kepastian regulasi di sektor energi terbarukan diyakini akan menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif dan mendorong pembangunan industri hijau.
“Indonesia menargetkan pembangunan 107 gigawatt (GW) energi dalam 15 tahun ke depan, dan 75 persen di antaranya harus berasal dari energi terbarukan. Ini bukan hanya soal energi bersih, tapi juga ketahanan energi nasional dan daya saing industri,” jelas Bambang.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya menyatakan pembahasan RUU EBET sebenarnya sudah hampir rampung, dengan 61 dari 63 pasal telah disepakati. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, menyebut dua pasal yang masih dalam perdebatan berkaitan dengan skema Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) atau mekanisme sewa jaringan atau power Wheeling.
“Tim perumus dan tim sinkronisasi sudah membahas 63 pasal, di mana 61 pasal sudah disepakati. Dua pasal yang belum sepakat terkait pemanfaatan jaringan transmisi energi baru dan terbarukan. Pemerintah ingin memastikan bahwa pemenuhan listrik berbasis EBT harus sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan bisa dilakukan dengan mekanisme PBJT,” kata Eniya dalam konferensi pers, Senin, 9 September 2024, lalu, dikutip dari laman esdm.go.id.
Mekanisme ini memungkinkan pihak swasta untuk menyewa jaringan transmisi PLN yang diklaim akan membuat harga listrik lebih kompetitif dan meringankan beban subsidi pemerintah. Namun, konsep ini masih menuai pro dan kontra di DPR. “Skema ini bisa menekan harga listrik berbasis EBT sehingga lebih murah buat masyarakat. Pemerintah juga bisa mengurangi beban subsidi. Ini yang jadi dasar kami mendorong mekanisme PBJT dalam RUU EBET,” katanya.
Selain itu, RUU EBET juga mengusulkan insentif bagi perusahaan-perusahaan yang berkontribusi dalam menurunkan emisi karbon. Jika aturan ini disahkan, maka badan usaha yang sudah memasang pembangkit tenaga surya, memanfaatkan biomassa, atau berinvestasi dalam energi hijau lainnya bisa mendapat insentif dari mekanisme nilai ekonomi karbon.
“Kalau UU ini jalan, insentif karbon bisa berlaku dan perusahaan-perusahaan yang sudah berkontribusi dalam energi hijau akan mendapatkan manfaat. Kalau tidak disahkan, mekanisme insentif ini tidak bisa dijalankan,” ujar Eniya.
Selain mendorong transisi energi di sektor industri, regulasi ini juga diharapkan dapat meningkatkan elektrifikasi di wilayah yang masih bergantung pada bahan bakar diesel, khususnya di Indonesia Timur. Eniya menjelaskan bahwa di beberapa daerah terpencil, biaya listrik dari diesel bisa mencapai USD50 sen per kWh, sedangkan dengan energi terbarukan seperti baterai atau tenaga surya, biayanya dapat ditekan hingga di bawah USD30 sen per kWh.
“Artinya, energi hijau bukan hanya solusi lingkungan, tapi juga solusi ekonomi,” kata Eniya.(*)