KABARBURSA.COM – Kepastian hukum masih jadi barang mahal di pasar energi hijau. Di tengah gembar-gembor transisi, Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) justru mengundang kekhawatiran. Bukan hanya soal pasal-pasal abu-abu, tapi juga dampaknya terhadap valuasi saham emiten yang sedang agresif ekspansi di sektor energi bersih.
Pengamat ekonomi Ibrahim Assuaibi menyebut regulasi yang kabur bisa bikin investor ragu, apalagi bagi perusahaan seperti PGEO, HGII, dan KEEN yang sedang cari dana lewat bursa. Harga saham boleh naik, tapi tanpa kepastian hukum, nilai dan daya tariknya bisa tergerus pelan-pelan.
“PGEO, HGII, KEEN itu kan perusahaan energi hijau yang sudah listing. Mereka ingin cari dana dari pasar untuk bangun pembangkit, mungkin smelter juga. Tapi kalau RUU EBT disahkan tanpa kejelasan, ya pasti mempengaruhi valuasi mereka,” ujar Ibrahim kepada KabarBursa.com, Senin, 26 Mei 2025.
Menurut Ibrahim, kenaikan harga saham emiten energi hijau belum tentu berdampak signifikan terhadap kekuatan modal mereka. Di balik grafik yang naik, perusahaan masih kesulitan menjangkau kebutuhan pendanaan untuk membangun infrastruktur skala besar.
“Walaupun harga saham naik, belum tentu cukup bantu pendanaan proyek mereka. Apalagi porsi saham yang dilepas ke publik umumnya kecil, maksimal 15 persen saja. Artinya, dana yang terkumpul juga terbatas,” tegasnya.
Ia menambahkan, mayoritas emiten energi baru dan terbarukan pada akhirnya tetap menggantungkan diri pada sumber pendanaan jumbo dari luar negeri atau lembaga keuangan global. Sebab, proyek-proyek mereka membutuhkan suntikan modal yang tak bisa dipenuhi hanya dari dana IPO semata.
Fenomena keterbatasan dana dari pasar saham ini tidak hanya terjadi pada sektor energi hijau. Emiten-emiten sektor batu bara pun mengalami hal serupa, di mana mayoritas masih mengandalkan fasilitas pinjaman untuk eksplorasi maupun pengembangan usaha.
“Perusahaan batu bara juga begitu. Walaupun sudah IPO, tetap banyak yang bergantung pada pinjaman bank. Misalnya pakai LC atau SKBDN buat impor alat atau eksplorasi. Jadi bukan semata-mata andalkan dana dari pasar,” jelasnya.
Ia mencontohkan kasus perusahaan TPK (tenaga pembangkit khusus) di Jawa Tengah, yang meskipun sudah melantai di bursa, tetap mengalami masalah pendanaan dan memiliki utang jumbo ke sejumlah bank.
“Yang di Jawa Tengah itu misalnya, mereka punya utang sampai Rp3,5 triliun ke bank-bank besar. Artinya, saat IPO pun sahamnya belum tentu laku. Dan kalau laku pun, belum tentu dana yang dikumpulkan cukup,” ungkapnya.
IPO tak Menjamin Pendanaan Sukses
Ibrahim menyebut struktur kepemilikan saham dan strategi pelepasan saham ke publik menjadi salah satu hambatan utama perusahaan energi hijau dalam menghimpun dana besar lewat pasar modal.
“PGEO, HGII, KEEN itu bisa naik sahamnya, tapi tetap saja porsi publiknya terbatas. Akhirnya, untuk pembiayaan tetap butuh partner strategis dari luar. Saham mereka tidak bisa sepenuhnya menopang rencana ekspansi besar,” jelas Ibrahim.
Ia membandingkan kondisi emiten energi hijau dengan saham-saham BIK2 yang memiliki porsi free float besar. BIK2 adalah istilah pasar untuk merujuk pada saham-saham yang punya likuiditas tinggi karena sebagian besar sahamnya dilepas ke publik.
Menurutnya, saham BIK2 lebih mampu mendorong pendanaan ekspansi karena likuiditasnya tinggi dan sahamnya banyak beredar di pasar. Harga saham BIK2 bisa melesat dari level murah hingga menembus Rp13.000, sesuatu yang belum bisa dicapai oleh perusahaan-perusahaan energi terbarukan saat ini.
Ibrahim mengatakan kejelasan regulasi menjadi krusial untuk menjaga stabilitas dan menarik minat investor ke sektor energi baru dan terbarukan. Tanpa kepastian, valuasi saham bisa terganggu dan proyek berisiko tertunda.
“Kalau pasalnya ambigu, investor pasti was-was. Apalagi ini proyek jangka panjang. Kalau tidak ada kepastian, valuasi saham bisa jeblok dan minat investor turun,” katanya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.