Logo
>

Simulasi di COP29 Ungkap Mengatasi Perubahan Iklim Hampir Mustahil

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Simulasi di COP29 Ungkap Mengatasi Perubahan Iklim Hampir Mustahil

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Para aktivis dan ahli yang mendorong pemimpin dunia menyelamatkan planet dari pemanasan global menyadari bahwa menyelesaikan krisis iklim tidak mudah, bahkan di dalam simulasi sekali pun. Dalam negosiasi iklim di Baku, Azerbaijan, Associated Press memperkenalkan Daybreak, sebuah permainan papan yang menantang pemain bekerja sama untuk mengendalikan perubahan iklim.

    Permainan ini mengajak peserta—di antaranya aktivis, analis, dan reporter dari berbagai negara—memainkan peran sebagai Amerika Serikat, Cina, Eropa, dan kawasan lainnya. Tujuannya adalah menekan kenaikan suhu global agar tidak melampaui ambang batas, sambil menghadapi bencana seperti badai dan banjir akibat perubahan iklim. Dalam permainan ini, upaya mitigasi dilakukan melalui proyek seperti restorasi lahan basah atau pengembangan transportasi publik.

    Namun, setiap putaran membawa kartu krisis yang memperburuk situasi. Misalnya, kenaikan permukaan laut yang mengurangi infrastruktur pemain, atau “Badai” yang meningkatkan jumlah komunitas dalam krisis. Di sisi lain, kartu proyek seperti efisiensi pupuk dapat mengurangi emisi metana dari ternak, memberikan sedikit harapan.

    Batas 1,5 Derajat yang Sulit Dipertahankan

    Dalam setiap permainan, suhu global selalu melampaui batas yang ditetapkan Perjanjian Paris 2015, yaitu kenaikan 1,5 derajat Celsius dibandingkan era pra-industri. Meski permainan baru dianggap kalah saat suhu naik dua derajat Celsius, pemain merasa terpuruk ketika suhu melewati 1,5 derajat, simbol penting dalam diskusi perubahan iklim.

    Dalam satu sesi permainan yang berlangsung 20 menit, suhu global langsung naik ke 1,45 derajat Celsius. “Bagaimana bisa terjadi begitu cepat?” keluh Borami Seo, kepala divisi pangan dan pertanian di Solutions for Our Climate, Korea Selatan, dikutip dari AP, Sabtu, 23 November 2024. Ia memilih peran Eropa, yang dianggap pemimpin dalam kebijakan iklim dan berharap dapat membantu kawasan lain.

    “Aku pikir permainan ini memberi harapan. Tapi sejauh ini aku tidak mendapatkannya,” ujarnya dengan nada frustrasi.

    Permainan ketiga berlangsung lebih lama, hingga 47 menit dengan tiga putaran. Ketika suhu global mencapai 1,8 derajat Celsius, badai menghantam “wilayah mayoritas dunia” yang diperankan Jake Schmidt dari Natural Resources Defense Council. Schmidt kehilangan seluruh komunitasnya. “Semuanya hancur,” katanya. “Baru tiga putaran dan dunia sudah hangus.”

    Pelajaran dari Permainan

    Menurut desainer permainan, Matt Leacock—yang sebelumnya menciptakan permainan Pandemic—simulasi ini sengaja dirancang sulit. “Aku ingin pemain kalah dulu, menyalahkan diri sendiri, lalu belajar dari pengalaman. Dengan begitu mereka ingin mencoba lagi, mencari cara yang lebih baik,” ujarnya.

    Leacock menekankan pesan politik dalam permainan: dunia bisa diselamatkan, tetapi membutuhkan tindakan dramatis sejak dini. Hal ini mencerminkan kenyataan bahwa memerangi perubahan iklim adalah tugas berat yang memerlukan kerja sama global.

    Leacock mulai mengembangkan Daybreak di tengah pandemi beberapa tahun lalu. Ia terinspirasi oleh krisis eksistensial yang dihadapi dunia. “Aku ingin permainan ini menjadi alat untuk membuat perbedaan,” katanya. Permainan ini mengingatkan bahwa menyelamatkan planet tidak hanya soal aksi individu, tapi kolaborasi kolektif yang mendesak.

    Dalam permainan pertama, Courtney Howard dari Global Climate and Health Alliance merasakan beban berat saat suhu global terus naik dan bencana terjadi di berbagai wilayah. “Kita merasa kecemasan meningkat seiring dengan menjauhnya tujuan dan bertambahnya titik krisis,” ujar Howard. “Jadi, kita harus mengantisipasi dampak kecemasan yang meningkat ini terhadap perilaku manusia, baik di tingkat lokal maupun global.”

    Howard, seorang dokter ruang gawat darurat asal Kanada, memerankan Amerika Serikat dalam permainan ini. Ia mencoba membantu Nathan Cogswell dari World Resources Institute, yang memerankan “mayoritas dunia” dan mulai terperosok dalam berbagai masalah.

    Ketika Howard mendapatkan kartu “reparasi utang,” yang memungkinkannya memberikan apa pun dari tangannya kepada Cogswell, ia langsung memanfaatkan kesempatan itu. “Saya merasa sangat bersalah atas emisi historis saya,” katanya, merujuk pada fakta bahwa Amerika Serikat adalah kontributor emisi terbesar di dunia.

    Sebagai perwakilan dari negara-negara berkembang, Cogswell menerima bantuan Howard dengan antusias. Howard pun menambahkan perspektif politik dan medis dalam permainan ini. “Saya merasakan pancaran kebaikan yang nyata,” katanya. “Tahukah Anda bahwa memberi sebenarnya meningkatkan kesejahteraan lebih dari menerima? Dan saya benar-benar merasakannya saat ini.”

    Namun, rasa kebersamaan itu tidak cukup untuk menyelamatkan dunia. Kali ini, permainan tetap berakhir dengan kekalahan.

    Empat Langkah Indonesia Atasi Iklim

    Kegagalan menyelamatkan dunia dalam simulasi Daybreak menjadi pengingat bahwa krisis iklim memerlukan tindakan nyata yang terorganisir, tidak hanya di tingkat global tetapi juga lokal. Di Indonesia, tantangan tersebut semakin nyata dengan berbagai aktivitas ilegal yang memperburuk emisi gas rumah kaca. Dalam upaya mitigasi iklim, Indonesia merumuskan empat langkah strategis yang mencakup pencegahan hingga penegakan hukum, sebagaimana diungkapkan dalam Konferensi COP29 di Azerbaijan.

    Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rasio Rido Sani, memaparkan berbagai kasus lingkungan di Indonesia, seperti pembalakan liar, perusakan ekosistem mangrove dan gambut, perdagangan satwa liar ilegal, hingga pembakaran dan pembuangan sampah terbuka, berkontribusi besar pada peningkatan emisi gas rumah kaca.

    Berbicara di Paviliun Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP29) di Azerbaijan, kemarin, Rasio menegaskan aktivitas ilegal ini menciptakan tantangan besar dalam upaya mitigasi perubahan iklim. “Kami menerapkan empat pilar melawan aktivitas ilegal yang menyebabkan tantangan dalam penganan perubahan iklim dengan pilar pertama melakukan pencegahan,” jelasnya.

    Langkah ini diperkuat dengan pilar berikutnya, yakni patroli rutin di kawasan hutan dan pengawasan ketat pada perusahaan yang memegang izin usaha, terutama yang menghasilkan limbah. Pilar ketiga, KLHK akan melakukan audit lingkungan dan menjatuhkan sanksi administratif untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan perundangan.

    Namun, jika pelanggaran terus berlanjut, pilar keempat adalah langkah selanjutnya, yakni penegakan hukum yang lebih tegas diterapkan dengan pendekatan multi-instrumen, salah satunya penggunaan hukum restoratif. Strategi ini dirancang untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang semakin memukul kelompok rentan di Indonesia, terutama akibat ulah korporasi yang gagal memenuhi kewajiban lingkungan mereka.

    Rasio mengatakan perusahaan-perusahaan yang tidak patuh turut memperburuk emisi gas rumah kaca sehingga dampaknya semakin dirasakan oleh masyarakat rentan. “Banyak aktivitas mereka yang dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca,” katanya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).