KABARBURSA.COM - Pemerintah menargetkan peningkatan kapasitas pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) hingga 5 gigawatt pada tahun 2030. Salah satu strategi untuk mencapai hal ini adalah melalui kemitraan dengan berbagai institusi global.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, menilai upaya mendorong pemanfaatan PLTB langkah baik dalam mendorong transisi energi. Apalagi saat ini, kata dia, pemanfaatan sumber energi baru dan energi terbarukan kian masif dilakukan.
"Itu bagus karena kita kan mencari berbagai sumber, energi baru terbarukan PLTS yang paling agak masif, bayu setelah itu," kata Mulyanto kepada KabarBursa.com di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 30 September 2024.
Di samping itu, Mulyanto menilai adaptasi pemanfaatan PLTB memungkinkan terjadi di Indonesia. Pasalnya, ada beberapa daerah di Indonesia yang memiliki sumber angin yang stabil.
"Memang ini kan di beberapa daerah kita punya potensi bayu yang lumayan bagus, anginnya cepat, lebih stabil," jelasnya.
Kendati demikian, Mulyanto menilai teknologi yang mempercepat pemanfaatan PLTB masih sangat minim. Dia menyebut, operasional PLTB masih membutuhkan alat yang bersumber dari impor. "Tinggal masalah teknologinya yang masih belum, yang sebagian masih kita impor," ungkapnya.
Lebih jauh, Mulyanto juga mengingatkan pemerintah untuk segera menggaet investor di sektor PLTB. Pasalnya, dia menilai target yang ditetapkan pemerintah untuk PLTB tergolong besar.
"Ini kan tergantung investor ya. Karena 5 giga besar untuk bayu, karena bayu kecil-kecil. Ya mudah-mudahan satu mega dapat lah," kata Mulyanto.
Wacana Adopsi PLTB
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, sebelumnya mengungkapkan pemerintah dan PT PLN sedang merancang Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Dokumen ini akan mencakup target peningkatan pembangkit energi terbarukan hingga lima tahun ke depan atau hingga 2030.
“Sampai 2030, kita butuh 5 gigawatt (GW) dari tenaga angin,” kata Eniya dalam keterangannya, Jumat, 27 September 2024.
Data dari Kementerian ESDM menunjukkan potensi energi angin di Indonesia mencapai 154,6 GW, terbesar kedua setelah tenaga surya. Dari jumlah tersebut, 60,4 GW berada di daratan, sementara 94,2 GW di lepas pantai, dengan potensi terbesar di wilayah Indonesia Timur seperti Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara, yang menyumbang 40 persen dari total potensi nasional.
Namun, meski potensinya besar, pemanfaatan energi angin saat ini masih rendah, hanya mencapai 152,3 MW. Padahal, pemerintah menargetkan kapasitas terpasang PLTB mencapai 37 GW pada 2060. Beberapa kendala, seperti investasi yang besar dan tantangan keekonomian, menjadi penghambat pengembangan PLTB.
Eniya menegaskan pentingnya kerja sama dengan pihak internasional untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan, terutama energi angin. Kementerian ESDM bekerja sama dengan Energy Transition Partnership – United Nations Office for Project Services (ETP-UNOPS) untuk memfasilitasi berbagai studi pengembangan PLTB di Indonesia.
“Dukungan ini merupakan langkah strategis untuk mempercepat pengembangan energi angin di Indonesia. Kita bersama-sama dapat memajukan sektor energi terbarukan di negara ini,” katanya.
Selain energi angin, pemanfaatan energi terbarukan lainnya di Indonesia masih tergolong rendah. Dari potensi energi terbarukan sebesar 3.600 GW, kapasitas terpasang pembangkit listrik energi bersih baru mencapai 13,8 GW per Juni 2024.
Energi Terbarukan Lewat Skema Power Wheeling
Pengembangan energi terbarukan di Indonesia yang berjalan lambat diupayakan untuk dipercepat melalui skema pemanfaatan jaringan listrik bersama atau power wheeling, yang rencananya akan dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET). Meski begitu, masih muncul perdebatan terkait implementasi power wheeling ini.
Skema power wheeling memungkinkan penggunaan jaringan transmisi bersama. Melalui mekanisme ini, energi terbarukan bisa disalurkan langsung dari produsen ke industri atau perusahaan pengguna, meskipun tetap menggunakan jaringan transmisi milik PLN. Nantinya, PLN akan mendapatkan pendapatan dari biaya sewa jaringan tersebut.
Di satu sisi, skema ini menjawab kebutuhan industri akan energi bersih dan meningkatkan realisasi energi terbarukan dalam bauran energi nasional. Namun, ada kekhawatiran skema ini bisa menjadi jalan masuk bagi liberalisasi kelistrikan yang berpotensi meningkatkan harga listrik bagi masyarakat.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut power wheeling sebagai langkah strategis untuk memperluas akses energi ramah lingkungan, khususnya bagi sektor industri. Selain itu, skema ini diharapkan dapat mempercepat adopsi teknologi energi terbarukan dan mendukung pencapaian target bauran energi terbarukan serta net zero emission (NZE) pada 2060.
Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR, Deon Arinaldo, mengatakan kebutuhan industri terhadap energi terbarukan meningkat, terutama karena tekanan dari pasar internasional terkait pengurangan emisi gas rumah kaca. Karena itu, skema power wheeling bisa menjadi solusi atas lambatnya perkembangan energi terbarukan.
“Akses yang luas terhadap energi terbarukan perlu segera disediakan untuk menjawab kebutuhan industri, baik melalui power wheeling atau mekanisme lain. Perusahaan multinasional terutama yang tergabung dalam grup (inisiasi) RE100, sudah banyak menargetkan 100 persen penggunaan energi terbarukan paling lambat pada 2050,” jelasnya.(*)