KABARBURSA.COM - Selain soal PLTU, JETP dinilai gagal menetapkan target agresif untuk pembangkit energi surya dan angin, dua sumber energi terbarukan yang murah dan berpotensi besar.
Sebaliknya, strategi pemerintah justru menitikberatkan pada pembangkit tenaga air skala besar dan bioenergi, yang menurut CREA tidak optimal dan berisiko menghambat penurunan emisi setelah 2030.
Kritik juga diarahkan pada komitmen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia. Target bauran energi terbarukan 19 hingga 23 persen pada 2030 dan puncak emisi energi pada 2038 dianggap tidak lebih dari skenario business as usual.
Pendiri dan Analis Utama CREA, Lauri Myllyvirta menyoroti ketidaksinkronan strategi JETP dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang mendorong 100 GW Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan penghentian pembangkit berbasis fosil pada 2040.
“Strategi yang ditetapkan JETP saat ini pada dasarnya sama seperti komitmen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia, tidak sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto. Ketidaksinkronan ini melemahkan kredibilitas Indonesia di mata investor internasional serta berpotensi menghambat penyaluran pendanaan transisi energi senilai US$ 21,6 miliar dari negara mitra JETP,” ujar Lauri dalam keterangan tertulis, dikutip KabarBursa.com, Jumat, 27 November 2025.
Ia menambahkan, Pemerintah Indonesia perlu melakukan langkah agresif untuk menghentikan ketergantungan pada PLTU dalam ketersediaan listrik negara.
“Hanya dengan menyelaraskan kembali target dengan visi ini, Indonesia dapat membuka investasi yang dibutuhkan untuk merombak total ketergantungan struktural yang berkelanjutan pada pembangkit listrik batu bara," pungkas Lauri.(*)