KABARBURSA.COM – Ambisi pemerintah untuk mengakhiri ketergantungan impor energi dalam lima tahun ke depan kembali menjadi sorotan. Target swasembada energi yang dicanangkan tampak kian menantang bila dihadapkan dengan kondisi aktual industri minyak dan gas (migas) nasional saat ini.
Hal itu ditegaskan oleh Wakil Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), Achmad Widjaja, yang menilai bahwa fondasi menuju kemandirian energi belum benar-benar terbentuk.
“Sejak reformasi sampai hari ini, kita belum punya judul yang jelas soal ketahanan energi. Belum ada kerangka strategis yang benar-benar kuat sebagai pijakan menuju swasembada energi,” ujar Achmad kepada media di Jakarta, Rabu, 28 Mei 2025.
Pernyataan tersebut mencerminkan kekhawatiran dari pelaku industri terhadap kelanjutan pasokan energi nasional, terutama minyak dan gas bumi, di tengah stagnasi eksplorasi dan ketergantungan terhadap lapangan migas lama.
Dalam penjelasannya, Achmad mengungkapkan bahwa Indonesia hingga kini masih tergolong sebagai negara pengimpor minyak bersih (net importer). Kebutuhan konsumsi harian nasional mencapai sekitar 1,5 juta barel, namun produksi dalam negeri dari sumur-sumur tua hanya berkisar di bawah 700 ribu barel per hari.
“Produksi kita dari sumur-sumur tua masih di bawah 700 ribu barel. Artinya, selisihnya harus ditutup lewat impor. Dengan kondisi ini, target 5 tahun itu sangat berat,” jelasnya.
Ia juga menyinggung minimnya penemuan cadangan migas baru dalam 10–15 tahun terakhir. Menurutnya, penambahan cadangan menjadi syarat mutlak untuk memperbaiki struktur pasokan energi domestik. Sayangnya, sektor hulu justru belum menunjukkan geliat eksplorasi yang berarti, baik dari BUMN maupun swasta.
Tak hanya sektor minyak, perhatian juga tertuju pada gas alam cair (LNG) yang sebagian besar produksinya masih dialirkan ke pasar ekspor. Proyek-proyek besar seperti Bontang, Tangguh, Donggi Senoro, dan yang terbaru, Masela, justru belum berkontribusi optimal bagi kebutuhan domestik.
“Sebagian besar LNG kita masih diekspor. Kalau betul-betul mau mengejar swasembada energi, orientasinya harus dibalik: prioritas untuk pasar domestik dulu,” ungkap Achmad.
Menurutnya, selama arah kebijakan energi belum memfokuskan pemanfaatan LNG untuk konsumsi dalam negeri, swasembada hanya akan menjadi jargon tanpa realisasi nyata.
Dalam pandangannya, Achmad menilai bahwa persoalan teknis bukanlah hambatan utama. Ia menyoroti lemahnya koordinasi antarinstansi sebagai akar persoalan ketahanan energi nasional. "Kalau tidak ada sumur baru, dan orientasi tetap ekspor, jangan harap bisa mandiri. Kita butuh kerja sama konkret dan koordinasi yang rapi antara ESDM, SKK Migas, Ditjen Migas, dan seluruh stakeholder energi,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa hingga kini belum terlihat langkah sinergis dan terstruktur yang melibatkan lintas lembaga secara menyeluruh. Menurutnya, Presiden perlu memberikan penugasan yang bersifat lintas sektoral dan terukur, agar arah kebijakan energi berjalan harmonis.
“Masalah utama Indonesia itu koordinasi yang jelek, yang enggak pernah selesai. Bukan berarti kami pesimis dengan swasembada, tapi ini perlu jadi PR besar Presiden,” tegas Achmad.
Achmad juga mengingatkan bahwa dampak dari ketidakjelasan arah kebijakan energi sangat dirasakan oleh kalangan industri. Para pelaku usaha yang menjadi pengguna energi kerap menghadapi pasokan yang tidak stabil hingga harga gas yang tinggi dan tidak kompetitif.
Ia menilai bahwa selama para pemangku kepentingan belum satu suara dalam mengelola potensi dan distribusi energi nasional, beban akan terus ditanggung oleh sektor industri. Hal ini tentu mengancam daya saing manufaktur nasional yang banyak bergantung pada pasokan energi yang efisien dan berkelanjutan.
“Selama belum satu suara, industri yang jadi korban. Ini yang harus segera dibenahi kalau memang pemerintah serius ingin keluar dari jerat impor energi,” tutupnya. (*)