KABARBURSA.COM – Ambisi Indonesia untuk memimpin industrialisasi hijau global dinilai perlu diimbangi dengan kerangka keuangan berkelanjutan yang lebih ketat. Saat ini, Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) masih memberi ruang yang longgar bagi sektor tambang dan pengolahannya, bahkan tanpa prasyarat bukti nyata pengurangan emisi. Padahal sektor ini menjadi tulang punggung dalam rantai pasok mineral kritis dan industri baterai kendaraan listrik yang digadang sebagai ujung tombak ekonomi rendah karbon.
Temuan ini terungkap dalam laporan terbaru Energy Shift Institute (ESI) berjudul Two Mining Powerhouses, Two Different Standards: Australia’s and Indonesia’s Contrasting Taxonomies. Laporan tersebut membandingkan pendekatan taksonomi keuangan Australia dan Indonesia, dua negara eksportir batu bara terbesar dunia yang sama-sama mengandalkan sektor tambang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mengklaim ambisi menuju ekonomi hijau.
Peneliti ESI dan rekan penulis laporan tersebut, Hans Sutikno, mengatakan perbedaan mencolok muncul dalam cara kedua negara mendefinisikan kegiatan transisi. Taksonomi keuangan Australia menetapkan bahwa industri tambang dan pengolahan hanya dapat masuk kategori transisi apabila memiliki strategi dekarbonisasi yang kredibel, berbasis ilmiah, dan terverifikasi. Sebaliknya, TKBI cenderung lebih permisif, bahkan tetap memberi label transisi bagi kegiatan yang masih bergantung pada listrik dari PLTU batu bara.
“Jika tujuan taksonomi Indonesia adalah untuk mengarahkan investasi menuju masa depan industri pertambangan dan mineral yang tangguh dan rendah karbon, maka kerangka saat ini justru berisiko menghasilkan dampak sebaliknya. Tanpa reformasi segera, sistem ini berpotensi mengunci ketergantungan pada batu bara, menyesatkan arus investasi, dan mengganggu kepercayaan investor terhadap agenda transisi hijau nasional,” kata Hans dalam keterangan tertulis, Senin, 28 Juli 2025.

Taksonomi Australia menetapkan bahwa semua aktivitas transisi harus selaras dengan target iklim 1,5°C sesuai panduan International Energy Agency (IEA) dan Science Based Targets initiative (SBTi). Sementara itu, Indonesia masih mendasarkan evaluasinya pada standar domestik seperti PROPER yang belum tentu sejalan dengan acuan internasional. Akibatnya, aktivitas yang sekadar menyatakan niat atau komitmen, tanpa menunjukkan bukti pengurangan emisi, tetap bisa memperoleh label transisi.
“Dalam taksonomi Indonesia tidak ada keharusan untuk menunjukkan pengurangan emisi secara bertahap, tidak diwajibkan menunjukkan bukti nyata pengurangan emisi, hanya dengan menyampaikan rencana atau komitmen pada standar iklim global untuk mendapat label transisi. Secara esensial, taksonomi Indonesia lebih menghargai niat daripada dampaknya,” kata Hans.

Bagan alur perbandingan penerapan taksonomi transisi untuk proyek pertambangan dan pemurnian mineral kritis di Australia dan Indonesia. Australia hanya mengakui proyek sebagai transisi jika benar-benar mendukung dekarbonisasi dan tidak bergantung pada PLTU batu bara. Sebaliknya, Indonesia masih memberi ruang bagi proyek yang menggunakan listrik dari PLTU captive, selama memenuhi sejumlah syarat administratif dan memiliki rencana transisi. (Sumber: Energy Shift Institute)
Laporan ini juga menyoroti meningkatnya tuntutan dari investor global yang menaruh perhatian pada transparansi emisi dan kredibilitas arah transisi energi. Oleh karena itu, proses revisi taksonomi Indonesia yang saat ini sedang berlangsung menjadi momen strategis bagi otoritas seperti OJK dan Kementerian ESDM untuk melakukan pembenahan menyeluruh.
“Taksonomi bukan sekadar kerangka teknis, tetapi menjadi sinyal strategis yang menunjukkan arah suatu negara. Kredibilitas ambisi industri hijau Indonesia bergantung pada keberhasilan menyusun taksonomi ini dengan benar,” kata Managing Director ESI, Christina Ng.
Sebagai sistem klasifikasi resmi, taksonomi keuangan berkelanjutan seharusnya berfungsi sebagai panduan bersama bagi investor, pelaku industri, dan pemerintah dalam mengarahkan dana dan kebijakan menuju aktivitas yang betul-betul mendukung transisi energi. Tanpa ketegasan standar, label hijau atau transisi berisiko kehilangan makna dan justru menciptakan celah bagi praktik greenwashing di sektor-sektor padat emisi.(*)