Logo
>

Rights Issue BUVA Bongkar Realitas di Balik Reli

Reli 1.200 persen saham Bukit Uluwatu Villa (BUVA) akhirnya diuji. Rights issue besar-besaran di harga Rp150 membuka fase koreksi dan menguji keyakinan investor terhadap fundamentalnya.

Ditulis oleh Yunila Wati
Rights Issue BUVA Bongkar Realitas di Balik Reli
Pemandangan darti salah satu hotel milik PT Bukit Uluwatu Villa Tbk. Foto: BuvaGroup.

KABARBURSA.COM – Reli spektakuler saham PT Bukit Uluwatu Villa Tbk. (BUVA) sepanjang 2025 akhirnya menemui ujian serius. Setelah melesat lebih dari 1.200 persen hanya dalam waktu sepuluh bulan, emiten properti milik Happy Hapsoro itu kini menghadapi fase penyesuaian tajam menyusul aksi Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau rights issue yang tengah berlangsung. 

Langkah ini seolah membuka topeng euforia pasar yang selama ini menutupi realitas fundamental BUVA. Di tengah retorika “penguatan struktur modal,” pasar justru membaca sinyal sebaliknya. Tanda-tanda koreksi valuasi dan keluarnya investor besar mulai terlihat jelas.

BUVA berencana menghimpun dana sebesar Rp603,98 miliar dengan menerbitkan 4,02 miliar saham baru di harga Rp150 per saham. Diskon ini lebih dari 80 persen harga pasar saat cum-rights di Rp870. Adapun rasio penerbitannya sebagai berikut: pemilik 225 saham lama berhak atas 44 saham baru. Rasio ini menjadi salah satu rights issue paling agresif di sektor properti untuk tahun ini.

Secara formal, langkah ini disebut sebagai upaya memperkuat kas dan memperbaiki struktur permodalan. Namun secara praktis, BUVA sedang memperluas jumlah saham beredar secara masif, yang berpotensi mendilusi kepemilikan investor lama dan menekan nilai intrinsik per saham.

BEI Turun Tangan: Koreksi Nilai yang Tak Terhindarkan

Melihat lonjakan harga yang tak lagi sejalan dengan nilai ekonominya, Bursa Efek Indonesia (BEI) menetapkan harga teoretis Rp750 per saham mulai 4 November 2025. Harga ini dikeluarkan sehari setelah cum-rights, untuk mencegah distorsi harga. 

Langkah ini bukan intervensi, melainkan tanda bahwa valuasi BUVA sudah di luar batas wajar setelah tambahan saham baru berharga murah.

Efeknya langsung terasa. Di hari pertama perdagangan ex-rights, saham BUVA anjlok 10,9 persen ke Rp775, dan menandai fase koreksi alami. Dari sisi teknikal, bandar value turun tajam dari Rp50,84 miliar menjadi Rp35,35 miliar, di bawah rata-rata 20 harinya (Rp48,19 miliar). 

Data ini mengindikasikan bahwa pelaku besar (smart money) mulai mengurangi eksposur dan memanfaatkan puncak harga sebelum pasar menyesuaikan ke level baru yang lebih rasional.

Sementara itu, kenaikan harga saham lebih dari sepuluh kali lipat sejak Mei 2025 jelas tak disertai perubahan fundamental yang sepadan. Tak ada lonjakan laba, tak ada ekspansi besar, dan tak ada inovasi produk yang signifikan. 

Reli BUVA lebih menyerupai euforia spekulatif daripada refleksi pertumbuhan bisnis yang sehat.

Dengan harga rights issue di Rp150, pasar kini dipaksa mengakui bahwa valuasi lama tidak lagi relevan. Penetapan harga teoretis Rp750 oleh BEI sejatinya merupakan penyesuaian struktural atas ekspektasi yang terlalu tinggi, bukan sekadar penurunan teknis jangka pendek.

Momentum Koreksi yang Perlu Diwaspadai

Bagi investor lama, aksi ini menjadi pilihan sulit, antara menebus saham baru agar tidak terdilusi, atau membiarkan porsi kepemilikan menyusut. Sementara bagi investor baru, harga teoretis bisa menjadi peluang akumulasi, namun dengan risiko besar jika dana hasil rights issue tidak digunakan secara produktif.

Jika Rp603 miliar tersebut hanya untuk menutup beban bunga dan utang lama tanpa menghasilkan pendapatan baru, maka rights issue ini hanya akan mengganti satu risiko dengan risiko lainnya, atau bisa disebut dari utang ke dilusi.

Jadi, rights issue BUVA bukan sekadar langkah finansial, tetapi bentuk uji realitas terhadap narasi pertumbuhan yang selama ini dibangun pasar. Reli yang sempat menjadikan BUVA “bintang 2025” kini berubah menjadi fase evaluasi keras terhadap valuasi.

Dengan harga teoretis Rp750 sebagai penanda normalisasi, pasar tampak mulai menyesuaikan ekspektasinya. Penurunan bandar value mengindikasikan distribusi sedang berlangsung, dan investor besar tidak lagi agresif menahan posisi.

Kesimpulannya, BUVA kini berada di persimpangan, di mana apakah rights issue ini akan menjadi awal transformasi finansial yang sehat, atau justru titik balik dari reli paling spekulatif di sektor properti tahun ini. 

Jika dana segar benar-benar diarahkan untuk ekspansi produktif, fase koreksi ini bisa menjadi dasar revaluasi baru. Namun jika tidak, BUVA berisiko terjerumus ke dalam siklus distribusi besar-besaran yang menandai akhir dari euforia harga.(*)

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79