KABARBURSA.COM – Pergantian pengendali di PT Sumber Mas Konstruksi Tbk (SMKM) menandai perubahan arah bisnis yang tidak biasa. Perusahaan konstruksi ini kini bersiap meninggalkan sektor lamanya dan masuk ke industri akuakultur setelah diambil alih oleh Lim Shrimp Org Pte. Ltd. (LSO), entitas berbasis di Singapura.
Dalam keterbukaan informasi, LSO telah membeli 313,25 juta saham SMKM atau setara 25 persen modal ditempatkan dan disetor penuh. Transaksi dilakukan melalui perjanjian jual beli saham dengan PT Vina Nauli Jordania pada 10 Oktober 2025.
Struktur akuisisi dilakukan bertahap. Tahap pertama telah rampung, sementara tahap kedua, sebanyak 136,75 juta saham atau 10,91 persen, masih bersyarat dan baru dapat dijalankan setelah pelaksanaan mandatory tender offer (MTO). Bila seluruh proses selesai, LSO akan menguasai 35,91 persen saham SMKM.
Pasca MTO, perseroan berencana menggelar penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (rights issue). Dana hasil aksi korporasi itu akan digunakan untuk mengakuisisi bisnis LSO di sektor akuakultur serta memisahkan unit lama di konstruksi. Rangkaian ini menunjukkan bahwa pengendali baru tidak sekadar menambah kepemilikan, melainkan mengubah arah fundamental perusahaan.
Direktur Utama SMKM, Budi Aris, menyebut langkah tersebut sebagai bagian dari strategi jangka panjang.
“Perubahan pengendali dan rencana integrasi bisnis menjadi bagian dari upaya memperkuat nilai perusahaan dan menciptakan sumber pertumbuhan baru yang berkelanjutan,” ujar Budi dalam keterangannya, dikutip Kamis, 6 November 2025.
Namun di lantai bursa, investor melihatnya lebih hati-hati. Transformasi total ke sektor yang berbeda membuka peluang sekaligus risiko baru. SMKM akan menjadi salah satu dari sedikit emiten publik yang bergerak di bidang akuakultur, sektor yang relatif belum teruji di pasar modal Indonesia.
LSO membawa aset riil yang tersebar di Indonesia dan Malaysia. Menurut dokumen yang sama, LSO memiliki lebih dari 800 ribu meter persegi lahan tambak, dengan 40 kolam aktif dan rencana ekspansi tambahan lebih dari 50 kolam. Target produksinya mencapai 3.500 ton udang per tahun, sedangkan kapasitas pengolahan ditingkatkan hingga 5.000 ton.
Selain udang, LSO mengembangkan diversifikasi ke bisnis teripang laut di Palau, Pasifik, dengan lahan tahap awal seluas 10.000 meter persegi dan potensi ekspansi sampai 50 hektare. Langkah ini menunjukkan ambisi membangun jaringan produksi lintas negara.
Masalahnya, strategi itu membutuhkan pendanaan besar dan kesiapan integrasi lintas yurisdiksi. Rencana rights issue SMKM akan menjadi titik krusial karena nilai, rasio, dan harga pelaksanaannya belum diumumkan. Tanpa kepastian struktur, potensi dilusi bagi pemegang saham eksisting tetap terbuka.
Transisi bisnis juga memerlukan waktu. Proses akuisisi bisnis LSO melalui injeksi aset akan dimulai setelah MTO rampung, lalu disusul restrukturisasi internal. Perseroan menargetkan seluruh proses selesai pada paruh pertama 2026, bergantung pada persetujuan OJK dan pemegang saham.
Secara industri, potensi pasar akuakultur memang besar. Data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mencatat produksi akuakultur Indonesia pada 2023 mencapai 15,36 juta ton dalam bentuk biomassa hidup atau sekitar 11 persen pangsa global. Nilai pasar global mencapai sekitar USD60 miliar per tahun, dengan potensi efisiensi hingga USD7,2 miliar jika survival rate udang naik 20 persen.
Namun peluang besar itu datang dengan tantangan serius. Produktivitas tambak nasional masih rendah dibanding standar global, dan sebagian besar pemain menghadapi kendala kualitas air, infrastruktur pakan, serta fluktuasi harga ekspor. LSO memang membawa teknologi pemantauan dan otomatisasi pakan, tapi efektivitasnya di skala komersial masih perlu pembuktian.
Bagi pasar modal, kehadiran LSO bisa memperkenalkan subsektor baru—blue economy stocks—yang hingga kini belum banyak diwakili di Bursa Efek Indonesia. Meski demikian, tanpa kejelasan valuasi dan kapasitas produksi yang sudah menghasilkan arus kas stabil, investor kemungkinan menunggu kepastian sebelum memberi respons positif.
Kinerja keuangan SMKM sebelumnya belum menunjukkan fundamental yang bisa menopang ekspansi besar. Karena itu, arah baru ini lebih mirip langkah membangun ulang identitas korporasi ketimbang sekadar diversifikasi usaha. Pengendali baru juga akan membawa tim manajemen dan arah bisnis baru setelah proses MTO tuntas.
Sampai seluruh tahapan selesai, bisnis lama di sektor konstruksi tetap berjalan. Perseroan menyebut kegiatan operasional masih berlangsung normal selama masa transisi. Namun arah strategisnya jelas berubah: dari proyek berbasis kontrak menjadi bisnis produksi dan ekspor berbasis rantai pasok.
“Kami fokus memastikan proses integrasi dan transisi berlangsung mulus agar arah bisnis baru dapat segera dijalankan,” ujar Budi menambahkan. (*)