KABARBURSA.COM - Pemerintah menargetkan peningkatan kapasitas pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) hingga 5 gigawatt pada tahun 2030. Salah satu strategi untuk mencapai hal ini adalah melalui kemitraan dengan berbagai institusi global.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, mengungkapkan pemerintah dan PT PLN sedang merancang Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Dokumen ini akan mencakup target peningkatan pembangkit energi terbarukan hingga lima tahun ke depan atau hingga 2030.
"Sampai 2030, kita butuh 5 gigawatt (GW) dari tenaga angin," kata Eniya dalam keterangannya, Jumat, 27 September 2024.
Data dari Kementerian ESDM menunjukkan potensi energi angin di Indonesia mencapai 154,6 GW, terbesar kedua setelah tenaga surya. Dari jumlah tersebut, 60,4 GW berada di daratan, sementara 94,2 GW di lepas pantai, dengan potensi terbesar di wilayah Indonesia Timur seperti Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara, yang menyumbang 40 persen dari total potensi nasional.
Namun, meski potensinya besar, pemanfaatan energi angin saat ini masih rendah, hanya mencapai 152,3 MW. Padahal, pemerintah menargetkan kapasitas terpasang PLTB mencapai 37 GW pada 2060. Beberapa kendala, seperti investasi yang besar dan tantangan keekonomian, menjadi penghambat pengembangan PLTB.
Eniya menegaskan pentingnya kerja sama dengan pihak internasional untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan, terutama energi angin. Kementerian ESDM bekerja sama dengan Energy Transition Partnership - United Nations Office for Project Services (ETP-UNOPS) untuk memfasilitasi berbagai studi pengembangan PLTB di Indonesia.
"Dukungan ini merupakan langkah strategis untuk mempercepat pengembangan energi angin di Indonesia. Kita bersama-sama dapat memajukan sektor energi terbarukan di negara ini," katanya.
Selain energi angin, pemanfaatan energi terbarukan lainnya di Indonesia masih tergolong rendah. Dari potensi energi terbarukan sebesar 3.600 GW, kapasitas terpasang pembangkit listrik energi bersih baru mencapai 13,8 GW per Juni 2024.
Energi Terbarukan Lewat Skema Power Wheeling
Pengembangan energi terbarukan di Indonesia yang berjalan lambat diupayakan untuk dipercepat melalui skema pemanfaatan jaringan listrik bersama atau power wheeling, yang rencananya akan dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET). Meski begitu, masih muncul perdebatan terkait implementasi power wheeling ini.
Skema power wheeling memungkinkan penggunaan jaringan transmisi bersama. Melalui mekanisme ini, energi terbarukan bisa disalurkan langsung dari produsen ke industri atau perusahaan pengguna, meskipun tetap menggunakan jaringan transmisi milik PLN. Nantinya, PLN akan mendapatkan pendapatan dari biaya sewa jaringan tersebut.
Di satu sisi, skema ini menjawab kebutuhan industri akan energi bersih dan meningkatkan realisasi energi terbarukan dalam bauran energi nasional. Namun, ada kekhawatiran skema ini bisa menjadi jalan masuk bagi liberalisasi kelistrikan yang berpotensi meningkatkan harga listrik bagi masyarakat.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut power wheeling sebagai langkah strategis untuk memperluas akses energi ramah lingkungan, khususnya bagi sektor industri. Selain itu, skema ini diharapkan dapat mempercepat adopsi teknologi energi terbarukan dan mendukung pencapaian target bauran energi terbarukan serta net zero emission (NZE) pada 2060.
Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR, Deon Arinaldo, mengatakan kebutuhan industri terhadap energi terbarukan meningkat, terutama karena tekanan dari pasar internasional terkait pengurangan emisi gas rumah kaca. Karena itu, skema power wheeling bisa menjadi solusi atas lambatnya perkembangan energi terbarukan.
"Akses yang luas terhadap energi terbarukan perlu segera disediakan untuk menjawab kebutuhan industri, baik melalui power wheeling atau mekanisme lain. Perusahaan multinasional terutama yang tergabung dalam grup (inisiasi) RE100, sudah banyak menargetkan 100 persen penggunaan energi terbarukan paling lambat pada 2050," jelasnya.
Perlu Disesuaikan dengan Konteks Indonesia
Deon menekankan pentingnya menyesuaikan mekanisme power wheeling dengan situasi di Indonesia agar dapat menyediakan energi terbarukan secara optimal sekaligus memaksimalkan pemanfaatan jaringan listrik yang sudah ada. Ia juga menambahkan bahwa skema ini harus memberikan kompensasi yang layak kepada PLN sebagai pemilik jaringan, namun tetap kompetitif bagi konsumen energi terbarukan.
Di sisi lain, mekanisme power wheeling menghadapi tantangan, salah satunya dari Komisi VII DPR RI. Ketidaksepakatan antara pemerintah dan DPR terkait power wheeling membuat pengesahan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) menjadi undang-undang batal dilakukan pada periode pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin serta anggota DPR 2019-2024.
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, berharap pemerintahan yang baru dapat mengkaji lebih dalam terkait penerapan power wheeling, dengan mengutamakan kepentingan masyarakat dibandingkan kepentingan pengusaha. Sementara itu, Eniya menyatakan subsidi dari pemerintah akan tetap berlaku, sehingga harga listrik bagi masyarakat tetap terjangkau meski skema power wheeling diterapkan.
Peneliti dari Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Akmaluddin Rachim, mengatakan prinsip kehati-hatian harus diterapkan dalam memasukkan skema power wheeling ke dalam RUU EBET. Ia menyarankan adanya batasan tegas yang mengatur agar power wheeling hanya untuk keperluan industri dan bukan untuk penjualan listrik oleh swasta kepada masyarakat.(*)