KABARBURSA.COM – Keputusan Korea Selatan menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dalam proses industrinya, termasuk industri baja, menjadi sinyal penting bagi arah ekonomi Asia di masa depan.
Pergeseran yang terjadi menandakan persaingan baru menuju pasar baja rendah emisi, yang perlu diantisipasi Indonesia dengan mentransformasi industri baja nasional.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS mengatakan, transformasi yang dilakukan Korea Selatan berimplikasi langsung pada Indonesia. Selama ini, Indonesia memasok batu bara metalurgi sekaligus menjadi bagian dari rantai pasok baja Asia.
Namun, intensitas karbon industri baja Indonesia saat ini masih mencapai 1,6 tCO₂ per ton produk sehingga digolongkan sebagai high-carbon steel dalam benchmark global. Kondisi ini membuat industri baja nasional berada dalam posisi rentan ketika pasar global semakin mengutamakan material rendah karbon.
“Ketika Korea Selatan meninggalkan batu bara untuk menyelamatkan daya saing industrinya, Indonesia tidak boleh terpaku pada masa lalu. Baja hijau adalah arena baru kompetisi ekonomi Asia. Yang bertahan bukan yang paling murah, tetapi yang paling rendah emisi.” kata Bhima dalam keterangan tertulis, dikutip Senin, 1 Desember 2025.
Langkah Korea Selatan juga mempertegas transformasi struktural peleburan baja global dari proses blast furnace berbasis batu bara menuju teknologi Electric Arc Furnace (EAF) dan Direct Reduced Iron berbasis hidrogen hijau (H-DRI) yang menghasilkan baja rendah emisi. Perubahan ini lah yang harus didorong Indonesia agar industri baja nasional tetap kompetitif di pasar global.
Di saat yang sama, Danantara memberikan fasilitas pinjaman modal kerja senilai Rp8,28 triliun ke PT Krakatau Steel (Persero) Tbk sebagai upaya pengembangan industri baja nasional.
“Langkah Danantara perlu diselaraskan dengan dinamika di Korea Selatan karena berpotensi membuka peluang besar bagi perekonomian Indonesia. Apalagi kebutuhan baja hijau global saat ini meningkat pesat, terutama didorong oleh permintaan industri otomotif yang tumbuh lebih cepat, melampaui kapasitas produksi baja hijau dunia,” Bhima menambahkan.
Momentum untuk mengakselerasi baja hijau nasional juga semakin besar dengan partisipasi investor internasional yang mulai mengalihkan pembiayaan ke produsen baja rendah emisi. Contohnya, pembiayaan International Finance Corporation (IFC) untuk PT Gunung Raja Paksi Tbk USD60 juta guna memperluas produksi baja rendah karbon berbasis EAF.
Namun, tanpa langkah transisi energi yang tegas, Indonesia terancam kehilangan daya saing. Emisi industri baja nasional melonjak 75 persen hanya dalam satu tahun (2019–2020) akibat ekspansi produksi. Padahal, produk baja dengan intensitas emisi tinggi berpotensi terkena tarif penyesuaian karbon seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa.
Peluang Indonesia terbuka jika kebijakan energi dan industri berjalan searah, termasuk percepatan penerapan teknologi EAF dan H-DRI, penerapan standar industri hijau yang selaras dengan standar global, dan penguatan green public procurement untuk menciptakan pasar domestik bagi baja rendah karbon.
“Keputusan Korea Selatan menjauh dari PLTU batu bara dan blast furnace di industri baja adalah alarm sekaligus momentum penting bagi Indonesia. Ini menunjukkan bahwa daya saing global ke depan akan ditentukan oleh besaran intensitas karbon. Dengan transformasi global menuju rendah emisi, produsen yang gagal beradaptasi akan menghadapi risiko kehilangan akses pasar ekspor, termasuk Indonesia,” kata Dwi Wulan Ramadani, Policy Strategist CERAH.
Menurutnya, transformasi ke industri baja hijau akan lebih menguntungkan secara ekonomi bagi Indonesia. Langkah ini membuka peluang meningkatkan nilai tambah dengan mendorong pengolahan produk turunan baja dalam negeri, memperoleh pasar ekspor global yang lebih stabil, dan menyerap tenaga kerja dalam rantai produksi modern.
Transformasi tersebut juga akan memperkuat kedaulatan industri nasional yang sejalan dengan target iklim global dan komitmen dekarbonisasi nasional.
Melihat tren pasar, arah kebijakan energi, dan peta investasi global, dekarbonisasi industri baja bukan lagi sekadar agenda lingkungan, namun diperhitungkan sebagai strategi ekonomi untuk mempertahankan daya saing ekspor, menarik investasi, dan memastikan hilirisasi nasional tidak terkunci dalam industri beremisi tinggi. (*)