KABARBURSA.COM - Baru beberapa jam menjabat untuk periode keduanya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump langsung menandatangani perintah eksekutif yang mengarahkan Negeri Paman Sam itu untuk sekali lagi menarik diri dari Perjanjian Paris. Keputusan ini kembali mengguncang upaya global untuk melawan pemanasan global dan semakin menjauhkan AS dari sekutu terdekatnya.
Langkah ini mengulang aksi Trump di 2017, ketika ia pertama kali mengumumkan AS akan meninggalkan kesepakatan iklim global tersebut. Perjanjian Paris, yang diadopsi oleh 196 negara, bertujuan untuk membatasi pemanasan global agar tetap di bawah 2 derajat Celsius dari tingkat pra-industri—atau idealnya, hanya 1,5 derajat Celsius.
Trump juga menandatangani surat untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan niat AS untuk menarik diri dari perjanjian tersebut. Perjanjian ini memungkinkan negara-negara menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca masing-masing, yang harus diperbarui dengan target yang lebih ketat pada Februari 2025. Sebagai perbandingan, pemerintahan Biden sebelumnya sempat mengusulkan rencana ambisius untuk mengurangi emisi AS lebih dari 60 persen pada 2035.
Dalam perintah eksekutifnya, Trump menyebut Perjanjian Paris adalah bagian dari sejumlah kesepakatan internasional yang tidak mencerminkan nilai-nilai Amerika dan hanya mengarahkan dana pajak rakyat ke negara-negara yang menurutnya tidak layak menerima bantuan finansial. Sebagai gantinya, Trump menyatakan rekam jejak Amerika yang sukses dalam menggabungkan tujuan ekonomi dan lingkungan seharusnya menjadi contoh bagi negara lain.
Namun, tidak semua pihak sepakat. CEO European Climate Foundation sekaligus arsitek utama Perjanjian Paris, Laurence Tubiana, menyebut langkah AS ini sebagai keputusan yang amat disesalkan. Namun, ia menegaskan aksi untuk memperlambat perubahan iklim lebih kuat daripada politik atau kebijakan satu negara saja.
Tubiana mengatakan konteks global saat ini berbeda jauh dengan 2017. “Ada momentum ekonomi yang tak terhentikan menuju transisi energi global,” ujarnya, dikutip dari AP di Jakarta, Selasa, 21 Januari 2025.
Tubiana juga mengingatkan pasar teknologi energi bersih global diperkirakan akan tumbuh tiga kali lipat menjadi lebih dari USD2 triliun (Rp32 kuadriliun dengan kurs Rp16.000) pada 2035. Sementara itu, ia menyinggung dampak krisis iklim yang semakin parah, seperti kebakaran hutan dahsyat di Los Angeles, sebagai pengingat bahwa Amerika, seperti negara lain, tidak kebal terhadap perubahan iklim.
[caption id="attachment_99200" align="alignnone" width="1160"] Seorang pria berjalan melewati banjir yang mengalir deras di pinggiran Boone, Carolina Utara, untuk membantu pengemudi yang terdampar saat badai Helene melanda pada 27 September 2024. Foto: onathan Drake/Reuters[/caption]
Mantan penasihat iklim Gedung Putih di bawah pemerintahan Joe Biden, Gina McCarthy, mengatakan jika Trump benar-benar ingin memimpin ekonomi global dan menciptakan lapangan kerja bergaji tinggi di AS, ia harus tetap fokus pada pengembangan industri energi bersih. Menurutnya, teknologi bersih sudah terbukti menekan biaya energi bagi masyarakat di seluruh negeri.
Faktanya, suhu global saat ini sudah naik 1,3 derajat Celsius dibandingkan pertengahan 1800-an. Tahun lalu bahkan tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah, menurut sebagian besar lembaga pemantau iklim.
Proses resmi untuk keluar dari Perjanjian Paris memakan waktu satu tahun. Penarikan AS yang pertama di bawah Trump berlaku sehari setelah pemilu 2020 setelah ia kalah dari Joe Biden. Kali ini, keputusan Trump dianggap lebih simbolis ketimbang efektif karena dunia sudah bergerak maju. “Tidak satu pun negara mengikuti jejak AS keluar dari pintu,” ujar analis negosiasi iklim dari lembaga think tank E3G, Alden Meyer.
Sebaliknya, negara-negara lain malah memperbarui komitmen mereka untuk memperlambat perubahan iklim, bersama dengan investor, bisnis, gubernur, hingga wali kota di AS sendiri. Meyer menambahkan, “Meskipun AS menarik diri, dunia tetap melangkah.”
Dunia Tetap Melangkah
[caption id="attachment_86913" align="alignnone" width="1200"] Tampilan drone menunjukkan turbin kincir angin yang menghasilkan daya di taman angin di La Regrippiere, dekat Nantes, Prancis, 17 April 2024. Foto: REUTERS.[/caption]
Meski dunia terus bergerak maju dalam upaya melawan perubahan iklim, hilangnya kepemimpinan AS tetap diratapi. Tahun demi tahun, bumi mencatat rekor suhu panas baru dan bencana dari kekeringan hingga badai, banjir, hingga kebakaran hutan semakin sering terjadi.
“Jelas sekali, Amerika tidak lagi memainkan peran penting dalam menyelesaikan krisis iklim, masalah terbesar yang pernah dihadapi umat manusia,” ujar aktivis iklim sekaligus penulis, Bill McKibben. “Dalam beberapa tahun ke depan, harapan terbaik kita adalah Washington tidak merusak upaya yang dilakukan negara lain.”
Survei dari The Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research menunjukkan sekitar separuh orang Amerika “agak” atau “sangat” menentang keputusan AS untuk keluar dari Perjanjian Paris. Bahkan di kalangan Republikan sendiri, dukungan penuh terhadap langkah ini tidak signifikan. Hanya sekitar 2 dari 10 orang dewasa di Amerika yang mendukung keputusan tersebut, sementara seperempat responden bersikap netral.
Sebagian besar penentangan terhadap penarikan ini berasal dari Partai Demokrat, tetapi Partai Republik juga menunjukkan ambivalensi. Kurang dari separuh anggota Partai Republik mendukung penarikan diri dari kesepakatan iklim, sementara 2 dari 10 justru menentangnya.
China yang beberapa tahun lalu melampaui AS sebagai penghasil karbon dioksida terbesar di dunia, terus menjadi sorotan. Namun, AS—yang kini menempati posisi kedua—masih menyumbang 4,9 miliar metrik ton karbon dioksida ke atmosfer pada 2023. Meski angka ini turun 11 persen dibandingkan satu dekade sebelumnya, gas rumah kaca ini bertahan di atmosfer selama berabad-abad. Menurut data Global Carbon Project, AS telah menyumbang hampir 22 persen karbon dioksida ke atmosfer sejak 1950, lebih banyak dari negara mana pun.
[caption id="attachment_112048" align="alignnone" width="1200"] Sebuah helikopter melakukan tetesan air, saat asap dan api naik dari Kebakaran Matahari Terbenam di perbukitan yang menghadap ke Hollywood, 8 Januari. Foto: Reuters[/caption]
Para ahli khawatir, periode kedua kepemimpinan Donald Trump yang menolak perubahan iklim bisa lebih merusak dibanding periode pertama. Keputusan Trump untuk kembali menarik AS dari upaya global melawan perubahan iklim dikhawatirkan akan melemahkan langkah presiden-presiden berikutnya.
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia, kepemimpinan AS penting dalam memengaruhi negara lain, termasuk China, agar tidak melonggarkan komitmen mereka untuk mengurangi emisi karbon.
Sekretaris Eksekutif Perubahan Iklim PBB, Simon Stiell, masih menyimpan harapan bahwa AS akan terus mendukung gelombang energi bersih global.
“Jika diabaikan, semua kekayaan besar itu akan mengalir ke ekonomi pesaing, sementara bencana iklim seperti kekeringan, kebakaran hutan, dan badai super terus memburuk,” kata Stiell. “Pintu untuk Perjanjian Paris tetap terbuka, dan kami menyambut keterlibatan konstruktif dari negara mana pun.”(*)