KABARBURSA.COM - Janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengerek rasio pajak hingga 12,2 persen dari produk domestik bruto (PDB) tidak terwujud. Justru kebalikannya, terjadi penurunan.
Sebagai pengingat, saat pertama kali menjabat sebagai Presiden RI, tepatnya setelah dilantik yaitu 2015, penerimaan pajak yang berhasil didapat negara sebesar Rp1.240,42 triliun dengan rasio pajak 10,76 persen terhadap PDB.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, tahun pertama Jokowi berkuasa di 2015, rasio pajak masih di angka 10,76 persen dari PDB, turun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 10,85 persen.
Penurunan berlanjut hingga 2017 ke angka 9,89 persen, kemudian naik ke angka 10,24 persen pada 2018.
Tren kenaikan tidak dapat dipertahankan. Pada 2020, rasio pajak Indonesia kembali turun ke level 8,33 persen, menjadi titik terendah dalam dua periode kepemimpinan Jokowi. Pandemi COVID-19 dituding sebagai dalang utama penurunan ini, diiringi oleh kemerosotan ekonomi global.
Jokowi kemudian meluncurkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Tax Amnesty Jilid II pada 2022. Program ini berhasil mengangkat rasio pajak menjadi 10,39 persen. Namun, tanpa PPS, rasio pajak hanya akan mencapai 10,08 persen.
Di sepanjang 2022 dan 2023, rasio pajak terjaga di atas 10 persen, berkat lonjakan harga komoditas global.
Indonesia memang mendapat ‘durian runtuh’ dengan kenaikan penerimaan negara yang signifikan melonjak hingga 31,09 persen year on year (yoy) pada 2022, dan masih tumbuh 5,25 persen pada 2023. Sayangnya, fenomena ini tidak diikuti oleh peningkatan rasio pajak yang lebih tinggi.
Padahal, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, rasio pajak ditargetkan mencapai 10,7 persen hingga 12,3 persen terhadap PDB.
Jika dibandingkan dengan era pemerintahan sebelumnya, di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menunjukkan capaian berbeda. Ketika terjadi booming komoditas bersamaan dengan krisis global 2008, rasio pajak langsung melonjak dan mencapai titik tertinggi pada angka 13,31 persen.
Anggota Komisi XI DPR, Primus Yustisio, menuding Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya membanggakan keberhasilan penerimaan negara yang melampaui target, tapi tak mampu mengangkat rasio pajak.
“Kalau dibandingkan 10 tahun, pemerintahan Pak Jokowi dibandingkan Pak SBY, apple to apple, itu banyak menurun, tax ratio di pemerintah ini jadi yang terendah di era pemerintahan SBY,” ucap Primus beberapa waktu lalu.
Primus pun menyinggung potensi pajak dari kegiatan digital layak didorong untuk memperkuat kas negara. Pada Juli 2024, penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital seperti Google dan perusahaan pinjaman online tercatat mencapai Rp26,75 triliun.
Namun, angka ini berasal dari transaksi, bukan dari seluruh aktivitas usaha dan laba perusahaan-perusahaan digital raksasa.
Ancaman Shadow Economy
Sementara itu, Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menyoroti penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital yang belum terjaring secara maksimal, karena aktivitas ini banyak dilakukan oleh pekerja informal.
Menurut Fajry, pemerintah seharusnya melakukan berbagai upaya untuk meraih pendapatan negara yang cukup signifikan.
“Semua opsi memang perlu dilakukan, jika semua itu berani dilaksanakan maka menghasilkan penerimaan negara yang cukup signifikan,” kata Fajry kepada Kabar Bursa, Rabu, 14 Agustus 2024.
Menyinggung soal saran dari IMF agar pemerintah Indonesia memperluas basis Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi, menurutnya itu akan menurunkan threshold PKP dan UMKM, serta mendorong pengenalan cukai BBM.
Meski saran-saran ini bisa menambah pendapatan negara sebesar 6,1 persen dari PDB atau lebih dari Rp1.200 triliun (PDB 2023 sebesar Rp20.892,4 triliun), implementasinya tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Menurut Fajry, faktanya pada praktiknya, pemerintah sering kali menemui banyak hambatan dan pro kontra saat ingin mengeluarkan kebijakan perpajakan baru, seperti cukai plastik dan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Dia kembali mengatakan, seharusnya pemerintah bisa memanfaatkan digitalisasi untuk peningkatan pajak. Di antaranya seperti, melalui digitalisasi administrasi., menjadikan platform digital sebagai pemungut pajak, dan peningkatan basis data pajak melalui pembayaran digital.
“Tentu, kita bisa manfaatkan digitalisasi untuk peningkatan pajak,” tuturnya.
Ke depannya, lanjut Fajry, pemerintahan harus dapat mengatasi tantangan ekonomi informal (shadow economy) yang semakin marak. Katanya, sekarang tengah terjadi peningkatan shadow economy dikarena ekonomi Indonesia sedang mengalami deindustrialisasi.
Kata Fajry, manufaktur sektor pertanian masih menjadi sektor yang kontribusinya paling kecil dibandingkan dengan besaran PDB-nya. Hal ini karena sektor pertanian sulit dipajaki disebabkan pelakunya sebagian besar adalah usaha kecil atau perorangan, dan mendapatkan fasilitas pajak. (*)