Logo
>

51,9 Persen Kebutuhan Plastik Indonesia Diimpor dari China

Ditulis oleh KabarBursa.com
51,9 Persen Kebutuhan Plastik Indonesia Diimpor dari China

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Impor produk plastik jadi terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2024 hingga bulan April, nilai impor tercatat mencapai USD233,15 miliar.

    Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Eko Harjanto, mengungkapkan bahwa selama 10 tahun terakhir, neraca perdagangan plastik Indonesia selalu mengalami defisit. Defisit tersebut cenderung meningkat, dan pada tahun 2023 mencapai USD1,7 miliar.

    “Ekspor plastik Indonesia cenderung stagnan setiap tahun, sedangkan impornya terus meningkat, seperti yang terlihat dalam grafik. Pada tahun 2023, ekspor mencapai USD1,49 miliar, sementara impor mencapai USD3,27 miliar,” kata Eko Harjanto dalam acara FGD ‘Membedah Tingkat Daya Saing Industri Plastik Hilir Indonesia di Tengah Maraknya Impor Produk Jadi Plastik’ di Pullman Hotel Thamrin, Jakarta, Kamis, 15 Agustus 2024.

    Sementara pada 2024, periode Januari-April, nilai impor mencapai USD233,15 miliar. Sedangkan ekspor stagnan di nilai USD103,47 juta.

    Di sisi lain, lanjut Eko memaparkan, kebutuhan plastik di Indonesia terus bertambah. Pertama, plastik untuk keperluan rumah tangga, produksinya dari dalam negeri 963.000 ton, lalu kebutuhan 605.000 ton, ekspornya 520.125 ton, sedangkan impornya masih 165.333 ton.

    Plastik untuk bahan bangunan produksinya 67.996 ton, kebutuhannya 79.363 ton, ekspornya 5.486 ton, dan impornya 17.225 ton.

    Lalu plastik untuk kemasan, produksinya hampir 112.532 ton, kebutuhannya 116.946 ton, ekspornya 2.916 ton, impornya masih lebih besar 7.330 ton. Terakhir, ada plastik lainnya dengan produksi 67.996 ton, kebutuhan 79.763 ton, ekspor 5.488 ton, dan impor 17.225 ton.

    “Ternyata dari kesemuanya untuk plastik rumah tangga, kebutuhan bahan bangunan, kemasan, dan plastik lainnya, total kita masih lebih besar impornya daripada ekspornya,” ungkap Eko.

    Adapun negara negara terbesar yang mengimpor plastik ke Indonesia adalah China sebesar 51,9 persen, diikuti Jepang 8,16 persen, Malaysia 6,4 persen, Thailand 5,3 persen, dan Korea Selatan 4,31 persen, kemudian Singapura 4,21 persen.

    Sementara, dari sisi bahan baku plastik, Indonesia juga masih impor. Menurut Eko, bahan baku plastik untuk jenis PE, PP, PS, PVC dan PET oleh produsen dalam negeri saat ini baru bisa terpenuhi 50 persen sampai dengan 60 persen dari total kebutuhan bahan baku plastik nasional.

    “Impor bahan baku plastik didominas oleh polyolefin yang terdiri dari impor polietilena (PE) sebesar 605.000 ton dan impor polipropilena (PP) sebesar 599.000 ton,” terangnya.

    Lanjut Eko, pemerintah telah menyiapkan sejumlah langkah untuk mendukung geliat industri plastik tanah air dengan menerapkan ekonomi sirkular untuk keberlanjutan. Salah satunya dengan pengurangan pengenaan tarif PPN untuk industri plastik berbasis bahan daur ulang dan industri daur ulang plastik.

    “Kedua, pemberian insentif fiskal lainnya dengan bobot persentase sesuai kedalaman ekonomi sirkularnya (9R), seperti pembobotan TKDN. Ketiga, mendorong akses pasar produk hijau melalui pengadaan barang/jasa pemerintah untuk menggunakan produk yang telah tersertifikasi industri hijau. Keempat, mendorong kemudahan pembiayaan bagi industri plastik/industri daur ulang yang sudah memiliki sertifkat industri hijau,” pungkasnya.

    BMAD tak Mampu Tekan Impor China

    Beberapa waktu lalu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) khawatir kebijakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) bernasib sama seperti Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) yang diberlakukan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 119 tahun 2018 lalu.

    Adapun hal itu dia ungkap menyusul rekomendari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Rekomendasi itu juga lahir dari temuan dumping barang impor keramik yang diduga berasal dari perusahaan asal China.

    Ketua Tim Kerja Pembinaan Indusri Keramik dan Kaca Kemenperin Ashady Hanafie menuturkan, kebijakan BMTP atau safeguard sebelumnya telah diberlakukan selama tiga tahun, terhitung sejak 2018 hingga 2021.

    Awalnya, kata Ashady, kebijakan safeguard terbukti mampu menekan impor keramik dan ubi asal China dengan pengenaan BMTP sebesar 23 persen pada tahun pertama, 21 persen pada tahun kedua, dan 19 persen di tahun ketiga.

    “Pertama dari awal, nilainya 23 persen saja dikenakan safeguard-nya itu di awal. Ternyata, kita kan awalnya kita mengenakan safeguard itu ke negara China, pada tahap saat awal diberlakukan turun impor, setelah beberapa saat kembali naik lagi,” kata Ashady dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Senior Institute For Develompment of Economics and Finance (INDEF) di Jakarta, Selasa, 16 Juli 2024.

    Akan tetapi, kata Ashady, impor keramik dan ubin kembali mengalami lonjakan. Hal itu terjadi kerena China mengimpor komoditasnya melalui India dan Vietnam. Sementara kedua negara tersebut, lepas dari kebijakan safeguard.

    “Jadi pengiriman barang itu tidak dilakukan melalui China, tetapi malaui india dan Vietnam. Makanya pada akhirnya, kami meminta safeguard ini diberlakukan juga kepada India dan Vietnam,” katanya.

    Ashady khawatir, kebijakan BMAD juga akan bernasib serupa safeguard. Karenanya, Kemenperin juga hendak melihat perkembangan dari implementasi BMAD seandainya diterapkan. Diketahui, berdasarkan rekomendasi KADI, BMAD yang hendak dikenakan sekitar 100,12 persen hingga 199,88 persen. BMAD ditetapkan dengan harapan mampu meredam angka impor keramik dan ubin.

    Meski begitu, untuk mengurangi potensi terjadinya hal serupa safeguard, Ashady berharap BMAD juga diberlakukan terhadap semua negara.

    “Pengenaan BMAD ini kan berjenjang, jadi beberapa perusahaan itu kan diberikan preferensi, presentase masing-masing jadi ada yang terkecil 100 sampai 199 ibaratnya kalau diberikan begitu nanti pengiriman ke Indonesia pun bisa lewat yang paling kecil,” jelasnya. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi