KABARBURSA.COM – Batu bara memang menjanjikan pundi‐pundi rupiah, tetapi di Mahakam Ulu potensi itu mulai dipertanyakan soal siapa sebenarnya yang diuntungkan. Wakil Ketua DPRD Mahakam Hulu, Nor Lili Bulan, mengatakan keresahan warganya atas operasi perusahaan grup Adaro yang dinilai meninggalkan jejak lingkungan tanpa imbal setimpal bagi kantong daerah.
“Batu bara adalah potensi besar Mahulu (Mahakam Ulu). Tapi kami tidak ingin daerah kami hanya jadi tempat gali lalu tinggal. Masyarakat lokal harus merasakan manfaat ekonominya secara langsung, bukan jadi penonton di tanah sendiri,” ujar Lili saat audiensi dengan Komisi XII DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu 25 Juni 2025.
Padahal, Adaro telah mengantongi izin operasi produksi di kabupaten paling muda di Kalimantan Timur itu. Harapannya adalah menyuntik Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kenyataannya, kata Lili, setoran masih “mini” lantaran skema pembagian hasil tambang belum berpihak pada daerah.
Ia menuntut legalisasi tambang rakyat sekaligus pengetatan pungutan pajak untuk pelaku tambang skala besar. Tanpa mekanisme transparan, risiko konflik sosial dan kerusakan lingkungan akan lebih mahal daripada royalti mana pun.
“Kalau potensi batu bara dikelola secara legal, jelas, dan transparan, maka kami bisa menarik pajak, mendapatkan retribusi, dan meningkatkan PAD. Tapi kalau aktivitasnya tidak diatur dengan baik, justru menimbulkan konflik dan kerusakan lingkungan,” katanya.
Lili juga meminta pemerintah pusat memberi ruang lebih luas bagi pemda—mulai dari hak mengawasi operasi perusahaan hingga memastikan program CSR benar‐benar menjangkau kebutuhan warga. Penolakan sejumlah kelompok terhadap aktivitas Adaro, kata dia, lahir dari kekhawatiran atas pencemaran sungai, degradasi hutan, dan tergerusnya mata pencaharian tradisional.
“Mahulu sedang berada di persimpangan,” kata Lili. “Jika regulasi tak segera dibenahi, batu bara akan meninggalkan lubang lebih dalam ketimbang manfaat yang dijanjikan.”
“Suara-suara keberatan dari masyarakat jangan dianggap angin lalu. Itu bentuk kewaspadaan atas dampak buruk tambang kalau tidak dikendalikan. Kita ingin tambang yang dikelola dengan prinsip kehati-hatian dan keadilan,” imbuhnya.
Ia mengingatkan Mahakam Ulu adalah kabupaten yang sebagian besar masyarakatnya masih bergantung pada alam, baik dari pertanian, kehutanan, maupun pendulangan emas tradisional. Oleh sebab itu, keberadaan tambang harus berdampingan dengan keberlanjutan lingkungan dan mata pencaharian lokal.
Bagi Nor, target utama dari pengelolaan tambang adalah kesejahteraan masyarakat lokal. Ia menegaskan kontribusi batu bara terhadap PAD harus disertai dengan peningkatan kualitas hidup warga—baik dari sisi pendidikan, kesehatan, maupun infrastruktur dasar.
“Kita tidak bisa bicara tambang kalau masyarakatnya tetap hidup dalam keterbatasan. PAD harus naik, tapi warga juga harus naik taraf hidupnya. Harus ada sinergi yang konkret,” katanya.
Ia pun mendorong agar program Corporate Social Responsibility atau CSR yang dijalankan oleh perusahaan tambang tidak sekadar formalitas, melainkan berbasis kebutuhan riil masyarakat Mahakam Ulu, seperti penguatan ekonomi lokal, pelatihan kerja, serta pembangunan infrastruktur desa.
“Kita tidak anti tambang, tapi kita menolak eksploitasi tanpa tanggung jawab. Mahulu punya potensi besar, tapi harus dikelola dengan visi keberlanjutan dan keadilan. Kalau ini dilakukan, bukan hanya PAD yang naik, tapi juga martabat masyarakat Mahulu,” katanya.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.