KABARBURSA.COM - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim keputusan Presiden Prabowo Subianto meluncurkan bullion bank atau bank emas sebagai langkah yang tepat di tengah pelemahan harga komoditas global akibat ketidakpastian ekonomi.
Pasalnya, imbas kebijakan tersebut, saat ini mayoritas harga komoditas global mengalami menurun tajam. Airlangga mengungkapkan bahwa harga crude oil turun hampir 30 persen, brand juga turun 28 persen, sehingga angkanya diangkat 60-an, batu bara turun ke 24 persen ke angka 97
Kedelai turun, gandum turun, CPO turun, dan harga beras turun. Jadi seluruh komoditas turun,” ungkap Airlangga dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden RI di menara Mandiri, Jakarta Selatan, Selasa 8 April 2025.
Namun, di tengah tren penurunan itu, satu-satunya komoditas yang justru mengalami kenaikan adalah emas. “Jadi Pak Presiden melaunching bullion tepat waktu, karena ini menjadi komoditas yang recession proof. Safe haven itu ada dua, dolar dan emas, dan kita punya emas. Jadi kita punya daya pertahanan yang kuat,” tegasnya.
Hingga saat ini Indonesia kini telah memiliki dua bullion bank, yang akan menjadi instrumen penting dalam memperkuat sistem keuangan nasional di tengah krisis global.
Meski begitu, Airlangga mengakui bahwa masih diperlukan penyempurnaan regulasi agar sistem bullion bank bisa berfungsi optimal dan terintegrasi ke dalam sistem perbankan nasional.
“Memang masih perlu ada regulasi-regulasi tambahan, di mana bullion bank ini penjualan atau peminjamannya tidak berbentuk gadai. Tetapi ini sebagai deposito yang bisa dijaminkan. Jadi ini masih ada satu tahapan lagi Pak Presiden supaya ini betul-betul bisa masuk di balance sheet perbankan,” jelasnya.
Dampak di Sektor Tekstil
Dalam konteks perdagangan internasional, Airlangga juga menyinggung dampak kebijakan perdagangan Amerika Serikat terhadap sektor tekstil. Ia menyebut Indonesia masih memiliki pengecualian untuk sejumlah komoditas, termasuk emas, tembaga, dan furniture.
“Selanjutnya karena yang paling terkena adalah tekstil, kita punya pengecualian. Jadi emas dan tembaga dikecualikan. Tidak masuk, termasuk juga furniture tidak dikenakan biaya masuk setinggi itu,” kata dia.
Menurut Airlangga, pengecualian ini disebabkan oleh dinamika geopolitik yang terjadi antara Amerika dan Kanada, yang membuat AS mencari alternatif sumber bahan baku dan investasi, termasuk dari Indonesia.
Airlangga mengungkapkan konflik Amerika dan Kanada menyebabkan bahan baku seperti tembaga dan emas malah mengalami kenaikan “Sehingga tentu ini peluang kita untuk melakukan hilirisasi dari produk itu untuk masuk ke Amerika,” ungkapnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa, menanggapi kebijakan pemerintah Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump yang memberlakukan tarif resiprokal terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Kebijakan tersebut dinilai berpotensi mengganggu kinerja ekspor tekstil nasional, yang selama ini bergantung pada pasar Amerika.
"Tarif ini berlaku sangat cepat. Kalau biasanya ada masa tenggang yang panjang, kali ini maksimal seminggu sudah langsung diterapkan," ujar Jemmy dalam konferensi pers yang diadakan secara hybrid, Jumat, 4 April 2025.
Jemmy menjelaskan, sekitar 35–40 persen ekspor tekstil Indonesia—baik berupa benang, kain, maupun pakaian jadi—dikirim ke pasar Amerika. Di antara produk tersebut, ekspor pakaian jadi mendominasi dengan porsi sekitar 60–70 persen. Saat ini, Indonesia merupakan pemasok pakaian jadi terbesar kelima ke Amerika Serikat, di bawah China, India, Vietnam, dan Bangladesh.
"Posisi kita di sana sangat baik, tapi dengan kebijakan tarif baru ini, tentu akan banyak perubahan. Yang paling penting adalah bagaimana kita menyikapinya," katanya.
Jemmy mengingatkan bahwa salah langkah dalam merespons kebijakan ini bisa berdampak buruk bagi industri tekstil nasional. Ia menilai, tekanan terhadap ekspor dapat merembet pada kerusakan di sektor domestik dan memperparah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang belakangan sudah mulai terjadi.
Menurut Jemmy, tarif baru ini merupakan bagian dari strategi Trump untuk memangkas defisit perdagangan Amerika Serikat, termasuk dengan Indonesia, yang mencapai USD17 miliar. Jumlah ini, meskipun masih lebih kecil dibandingkan defisit dengan Tiongkok dan Vietnam, tetap menjadikan Indonesia sebagai sasaran kebijakan tarif AS.
"Jangan sampai kita merespons dengan langkah yang keliru, seperti melonggarkan aturan impor atau melemahkan regulasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Itu justru akan merugikan kita sendiri," tegasnya.
Jemmy juga menolak anggapan bahwa tarif dikenakan karena Indonesia dianggap memiliki hambatan non-tarif (NTB) atau non-tariff measures (NTM) yang tinggi. Menurutnya, satu-satunya alasan utama Amerika adalah mengurangi defisit perdagangan.
Sementara itu, Ketua API Jawa Barat, Ian Syarif, menambahkan bahwa tarif tinggi akan membuat harga barang di pasar Amerika naik, yang akan menekan daya beli masyarakat. Dampaknya, permintaan terhadap produk dari luar negeri, termasuk dari Indonesia, akan menurun. Hal ini dapat menimbulkan overproduksi di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), yang selanjutnya mendorong negara eksportir mencari pasar baru—termasuk Indonesia.
"Jangan sampai Indonesia jadi tempat pembuangan barang-barang sisa ekspor dari negara-negara pesaing kita. Kalau itu terjadi, industri dalam negeri akan terpukul dua kali lipat," kata Ian.
Sebagai solusi, API mendesak pemerintah Indonesia untuk segera membentuk tim negosiasi dan melakukan pendekatan langsung ke pemerintahan Trump.
"Jadi mungkin kita meminta perlindungan dari pemerintah kita, mungkin untuk segera menyusun tim negosiasi, bisa berangkat ke Amerika, bisa berbicara dengan pemerintah Trump, bagaimana kebijakan pemerintah Indonesia dalam hal dapat menurunkan trade defisit Amerika dengan harapan tarif yang 32 persen yang akan dikenakan tanggal 9 ini, kita bisa mendapatkan tarif yang lebih ringan,” ujar Jemmy.(*)