KABARBURSA.COM - Aktivitas pelabuhan di China mengalami penurunan tajam pada awal April 2025, seiring tekanan berat terhadap ekspor ke Amerika Serikat akibat tarif impor yang diberlakukan Presiden Donald Trump. Dalam periode 7–13 April 2025, total kargo yang ditangani pelabuhan-pelabuhan di seluruh China anjlok 9,7 persen dibanding minggu sebelumnya, turun menjadi 244 juta ton.
Dilansir dari The Wall Street Journal di Jakarta, Selasa, 15 April 2025, penurunan ini jauh lebih besar dibanding pekan sebelumnya yang hanya mencatat koreksi 0,88 persen, ketika Trump pertama kali mengumumkan rencana tarif timbal balik terhadap mitra dagang besar. Data dari Kementerian Transportasi China pada Selasa menunjukkan bahwa volume peti kemas (container throughput) ikut terdampak dengan penurunan 6,1 persen, setelah sempat naik 1,9 persen sepekan sebelumnya.
Angka ini mencerminkan pembalikan tajam dari tren sebelumnya yang menunjukkan peningkatan stabil sejak libur panjang Tahun Baru Imlek berakhir pada akhir Januari lalu.
Tarif AS atas produk China—yang kini berada di level 145 persen, meski ada pengecualian lebih rendah untuk barang elektronik—diperkirakan akan mengalihkan arus perdagangan dari Amerika menuju pasar global lainnya. Pergeseran ini mulai terlihat dari perubahan biaya pengapalan.
Untuk pekan yang berakhir pada 11 April, Ningbo Container Freight Index mencatat penurunan tajam biaya pengiriman ke Pantai Barat AS sebesar 18,0 persen, dan 10,8 persen ke Pantai Timur. Data ini dirilis oleh penyedia informasi pasar Wind.
Sebaliknya, biaya pengiriman ke Eropa justru naik 1,8 persen, dengan tarif ke kawasan Mediterania Barat dan Timur masing-masing melonjak 15,3 persen dan 13,0 persen. Kenaikan paling tajam tercatat pada rute Amerika Selatan bagian timur, yakni sebesar 52,5 persen.
Melihat tekanan dari sisi perdagangan ini, bank investasi UBS pada Selasa memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China untuk tahun ini dari 4 persen menjadi 3,4 persen, dengan asumsi tarif saat ini tetap diberlakukan dan pemerintah Beijing menyiapkan tambahan stimulus.
UBS juga memperkirakan bahwa ekspor China ke Amerika Serikat akan menyusut hingga dua pertiga dalam beberapa kuartal mendatang dan total ekspor keluar negeri China secara keseluruhan akan turun 10 persen dalam nilai dolar pada 2025.
Perdagangan Bergeser, Investor Harus Siap Membaca Jalur Baru
Penurunan aktivitas pelabuhan di China bukan hanya bicara kontainer yang lebih sedikit atau kargo yang tertunda. Tapi kondisi ini adalah cermin bahwa alur perdagangan dunia sedang bergeser. Dan dalam dunia perdagangan global yang semakin kompleks dan saling terhubung, pergeseran jalur barang bisa jadi isyarat penting bagi investor.
Kondisi ini bisa dijelaskan dengan menggunakan teori ekonomi klasik tentang trade diversion yang pertama kali dikembangkan oleh ekonom Jacob Viner dan kemudian diperdalam oleh para ekonom pembangunan seperti Todaro & Smith. Merujuk artikel jurnal Politeknik Statistika STIS berjudul Pengaruh Trade Creation dan Trade Diversion pada ACFTA terhadap Ekspor Karet (HS 40) Indonesia yang ditulis Nissa Shahadah Qur’ani dan Efri Diah Utami, mereka menjelaskan trade diversion terjadi ketika suatu negara mengalihkan impor dari sumber termurah (yang terkena hambatan tarif) ke sumber yang lebih mahal, hanya karena alasan kebijakan dagang—biasanya karena perang tarif atau perubahan perjanjian dagang.
Dalam konteks saat ini, Amerika Serikat menaikkan tarif impor dari China hingga 145 persen, menyebabkan ekspor China ke AS anjlok. Data dari Kementerian Transportasi China bahkan mencatat penurunan volume peti kemas sebesar 6,1 persen hanya dalam sepekan. Ini bukan gejala biasa. Ini adalah gejala bahwa AS mulai mencari jalur pasok baru, entah ke Meksiko, India, Vietnam, atau bahkan—kalau kita jeli membaca peluang—Indonesia. Dan di sinilah trade diversion bekerja.
Barang-barang China yang tadinya mendominasi pasar Amerika kini harus bersaing dengan produk negara lain yang tidak dikenakan tarif. Impor AS akan terdiversifikasi ke luar China dan menciptakan ruang bagi negara berkembang untuk masuk ke pasar yang selama ini sudah "dikuasai".
Bagi investor, fenomena ini penting. Karena perpindahan rute dagang bukan hanya soal siapa mengirim barang ke mana, tapi juga menentukan sektor mana yang bakal tumbuh, mana yang akan kehilangan momentum. Misalnya:
- Eksportir tekstil Indonesia bisa jadi alternatif di pasar AS.
- Produsen komponen elektronik atau otomotif di Asia Tenggara bisa mendapatkan lonjakan permintaan.
- Perusahaan pelayaran dan logistik yang punya rute ke Amerika bisa mencetak cuan lebih awal.
Tapi di sisi lain, efek buruknya juga nyata. Barang-barang China yang sebelumnya diekspor ke AS bisa dialihkan ke negara-negara Asia, khususnya Indonesia. Artinya, pasar domestik bisa dibanjiri produk impor murah. Ini berisiko menekan industri lokal, terutama manufaktur yang belum efisien atau tidak punya skala produksi besar.
Investor yang terlalu fokus pada laporan keuangan kuartal kemarin mungkin tidak akan melihat ini. Tapi bagi mereka yang memahami pola global, perang tarif adalah sinyal perubahan lintasan perdagangan. Dalam kondisi seperti ini, nilai saham bisa lebih banyak dipengaruhi oleh jalur logistik dan kebijakan tarif dibanding sekadar penjualan bulan lalu.
Dengan kata lain, harga saham itu tak cuma dipengaruhi oleh kinerja perusahaan secara langsung, seperti laporan penjualan atau laba bulan lalu, tapi juga oleh hal-hal eksternal yang bisa mengubah arah bisnis ke depan.
Dalam teorinya, Todaro & Smith menegaskan efek trade diversion bisa menyebabkan negara-negara anggota blok perdagangan malah mengimpor dari sumber yang lebih mahal hanya karena alasan politis. Dalam kasus Trump–China, kita menyaksikan negara bukan anggota blok, seperti China, justru jadi korban pengalihan ini.(*)