KABARBURSA.COM - Wakil Ketua Badan Legislasi atau Baleg DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, mengatakan alasan di balik revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) adalah untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam lebih berpihak pada kepentingan masyarakat.
"Undang-undang Minerba itu harus direvisi. Ada dua alasannya, yang pertama adalah karena memang ada putusan Mahkamah Konstitusi yang harus disesuaikan terhadap undang-undang itu," kata Doli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 20 Januari 2025.
"Yang kedua adalah, ini sebetulnya yang kita revisi itu untuk memperkuat affirmative action keberpihakan negara dan pemerintah kepada masyarakat terhadap sumber daya mineral yang dikehendaki oleh negara," tambahnya.
Menurut Doli, revisi UU Minerba ini bertujuan untuk memberikan penekanan lebih pada pemberdayaan masyarakat di sektor pertambangan. Ia menyoroti selama ini peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam masih terbatas, khususnya melalui partisipasi organisasi masyarakat (Ormas) yang diatur dalam peraturan presiden dan pemerintah.
"Kita mau merumuskan lebih konkret Pasal 33 dan UUD 45 itu. Nah kalau dulu kan bentuknya diserahkan ke Ormas-Ormas dan itu diatur payung hukumnya kan peraturan presiden dan peraturan pemerintah. Nah sekarang itu kita mau angkat," jelas politisi Partai Golkar ini.
Revisi UU Minerba diharapkan dapat membuka peluang lebih besar bagi masyarakat, mulai dari ormas, perguruan tinggi, hingga UMKM, untuk mendapatkan akses dan manfaat dari pengelolaan sumber daya alam. Doli mengatakan revisi ini juga untuk memastikan proses yang adil dan transparan dalam pemberian izin usaha pertambangan (IUP).
"Bagaimana peran masyarakat, keterlibatan masyarakat untuk mendapatkan affirmative action dalam pengelolaan sumber daya alam itu melalui Ormas, melalui perguruan tinggi, melalui badan-badan usaha UKM dan segala macam. Itu yang sebetulnya titik tekan dari revisi undang-undang ini," kata Doli.
Rapat Mendadak RUU Minerba
BalegbDPR RI sebelumnya menggelar rapat secara mendadak pada Senin, 20 Januari 2025. Rapat ini bertujuan untuk membahas penyusunan revisi ketiga terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, mengatakan rapat tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil pertemuan sebelumnya antara pimpinan Baleg dan para ketua kelompok fraksi yang di antaranya menugaskan tim ahli untuk merumuskan perubahan UU Minerba.
“Pimpinan Baleg menugaskan tim ahli untuk merumuskan RUU Perubahan Keempat atas UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara,” ujar Bob di ruang Rapat Pleno RUU Minerba, Senayan, Jakarta, Senin, 20 Januari 2025.
Bob Hasan mengatakan revisi UU Minerba mencakup empat poin utama. Pertama, percepatan hilirisasi mineral dan batu bara yang dinilai penting untuk mempercepat tercapainya swasembada energi di Indonesia. Kedua, pengaturan pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi masyarakat berbasis keagamaan.
Selain itu, poin ketiga membahas pemberian IUP kepada perguruan tinggi, sedangkan poin keempat menyangkut alokasi IUP untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Hingga kini, pembahasan dalam rapat tersebut masih dilakukan secara terbatas.
Perubahan Tata Kelola Pertambangan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkenalkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2020, yang merevisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dikutip dari laman esdm.go.id, Minggu, 19 Januari 2025, regulasi baru ini membawa perubahan besar dalam tata kelola sektor pertambangan di Indonesia.
Undang-undang ini dirancang untuk menghadirkan pengaturan yang lebih komprehensif guna menjawab berbagai tantangan di sektor pertambangan mineral dan batu bara. Fokusnya tidak hanya pada kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah yang berkelanjutan, tetapi juga pada upaya menjaga kelestarian lingkungan.
Salah satu poin penting dalam UU Nomot 3 Tahun 2020 adalah penguatan aturan soal reklamasi dan pasca-tambang. Dalam regulasi sebelumnya, pemegang izin usaha pertambangan (IUP dan IUPK) diwajibkan menyediakan dana jaminan reklamasi dan pascatambang. Jika kewajiban ini tidak dipenuhi, sanksi berupa penugasan pihak ketiga untuk melaksanakan reklamasi akan diberlakukan.
Namun, undang-undang baru ini menerapkan langkah yang lebih tegas. Selain sanksi administratif, aturan ini memperkenalkan ancaman sanksi pidana yang lebih berat bagi pemegang izin yang gagal memenuhi kewajibannya. Mereka yang tidak melaksanakan reklamasi atau pascatambang, atau yang tidak menempatkan dana jaminan untuk tujuan tersebut, kini dapat dijatuhi hukuman penjara hingga lima tahun dan denda mencapai Rp100 miliar.
Tidak hanya itu, pelaku pelanggaran juga dapat dikenai pidana tambahan berupa kewajiban pembayaran dana untuk pelaksanaan reklamasi dan pascatambang. Dengan aturan ini, pemerintah berharap dapat memastikan pengelolaan tambang yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan di masa depan.(*)