KABARBURSA.COM - Kebijakan pemerintah membuka keran kembali terhadap aktivitas ekspor pasir laut diprotes nelayan dan masyarakat pesisir. Mereka pun mewanti-wanti pemerintah.
Pemerintah membuka kembali keran ekspor pasir laut setelah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor, dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan menjelaskan secara keilmuan, pembersihan sedimentasi di laut dimungkinkan, khususnya sedimentasi yang mengganggu alur pelayaran baik di laut maupun muara.
Namun, katanya, tanpa harus diekspor atau dijual pun, pemerintah harus berupaya membersihkannya. Menurut dia, pemerintah tidak seharusnya membuka celah bagi komersialisasi pemanfaatan sumber daya laut.
"Negara tidak boleh berbisnis dalam mengurus kepentingan publik dan hajat hidup orang banyak. Saat membersihkan sendimen, ada koridor-koridor yang perlu diperhatikan," kata Dani, Jumat, 20 September 2024.
Kata Dani lagi, saat melakukan pembersihan sendimentasi, tidak boleh merusak atau mengganggu lokasi penangkapan ikan (fishing ground) nelayan kecil maupun tradisional. Apalagi yang berlokasi di wilayah-wilayah yang menunjang perlindungan pantai, khususnya pulau-pulau kecil.
Dia menegaskan, lokasi-lokasi tersebut merupakan wilayah sensitif yang perlu dilindungi dan tidak boleh sembarang dikeruk.
"Ini yang jadi persoalan sebenarnya, rencana zonasi dan tata ruang laut belum mengakomodasi fishing ground nelayan tradisional. Jadi, sangat rentan diambil dan dialihkan untuk kepentingan lain, termasuk penambangan pasir laut," ungkapnya.
Dia mewanti-wanti pemerintah agar mematuhi asas kemanfaatan pembersihan sedimentasi agar benar-benar ditujukan untuk menjawab aspek keamanan pelayaran dan pendangkalan di muara sungai.
"Artinya, kebijakan ini ditujukkan untuk membantu dan mempermudah nelayan kecil dalam mencari ikan dan keselamatan nelayan," imbuhnya.
"Selain itu, pemanfaatan hasil sedimentasi harus melalui kajian oseanografi dan lingkungan yang ketat. Tidak boleh kegiatan pembersihan sendimentasi dimanfaatkan untuk membuka celah bagi praktek komersialisasi dan privatisasi ruang laut. Apalagi memfasilitasi eksploitasi sumber daya laut secara tidak berkelanjutan dan ekspor pasir laut ke negara lain, khususnya negara tetangga yang akan memunculkan problem geopolitik baru," sambungnya.
Kata Dani, berdasarkan pengalaman yang sudah terjadi sebelumnya, dampak dari penambangan pasir laut terhadap nelayan kecil atau tradisional sangat besar, seperti mencemarkan, bahkan merusak lingkungan laut sehingga ikan-ikan menjauh, terumbu karang serta lamun rusak.
Akibatnya, nelayan harus menangkap ikan ke lokasi yang jauh, dan terburuknya tidak bisa mendapat ikan. Alhasil, meningkatkan kerentanan yang dialami nelayan akibat risiko biaya melaut yang lebih besar dan risiko kecelakaan melaut yang lebih tinggi.
"Hasil pengamatan cepat anggota KNTI khususnya di Kepulauan Riau, khususnya di Kabupaten Karimun yang akan menjadi salah satu lokasi pengerukan sedimentasi/pasir. pengurus daerah KNTI menyampaikan sangat khawatir dampaknya akan sangat besar bagi anggota kami yang merupakan nelayan kecil, termasuk potensi bencana lingkungan, pulau di kawasan itu akan tenggelam," terangnya.
Sementara itu, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati mengatakan kebijakan tersebut sangat mengganggu nelayan. Dia bilang banyak kelompok-kelompok nelayan maupun masyarakat adat yang berada di pesisir menolak kebijakan ini.
"Kalau dari nelayan, ini sangat mengganggu mereka. Karena banyak sekali kelompok-kelompok nelayan ataupun masyarakat adat yang berada di pesisir sangat menolak kebijakan ini," kata Susan.
Meski begitu, diakuinya, pengelolaan sedimentasi laut sangat dibutuhkan. Namun, dia menilai kebijakan mengekspor pasir laut jauh dari misi awal.
Menurut Susan, kebijakan tersebut ingin meliberalisasi sumber daya yang ada di pesisir dan pulau-pulau kecil. Di mana, dampaknya merusak ekosistem.
"Ini lebih cenderung bagaimana negara ingin meliberalisasi sumber daya yang ada di pesisir dan pulau-pulau kecil. Jelas akan berdampak pada ekosistem. Dan, ekosistem yang rusak akan berdampak pada pendapatan, dan pada akhirnya nelayan tidak bisa melaut. Ini yang mengerikan," pungkasnya.
Penjelasan Jokowi
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan agar tidak ada kesalahpahaman perihal kebijakan pembukaan ekspor sedimen laut yang sebelumnya telah dilarang selama 20 tahun.
Menurut Jokowi, yang diperbolehkan untuk diekspor adalah hasil sedimentasi laut, bukan pasir laut yang biasa dipahami.
"Itu bukan pasir laut, yang dibuka adalah sedimen, sedimen yang mengganggu alur jalannya kapal," kata Jokowi di Menara Danareksa Gambir, Jakarta Pusat, Selasa, 17 September 2024.
Jokowi menyatakan, sedimen dan pasir laut adalah dua hal yang berbeda. Tapi diakuinya, wujud sedimen seperti pasir, namun tidak serta-merta bisa disebut sebagai pasir laut.
"Sekali lagi bukan, kalau diterjemahkan pasir ini beda lho. Sedimen itu beda, meskipun wujudnya juga pasir, tapi sedimen. Coba dibaca di situ, sedimen," jelas Jokowi. (*)