Logo
>

Alasan OJK Terapkan Co-Payment Asuransi: Proteksi Lemah, Inflasi Medis Meningkat

Jasa asuransi sangat krusial bagi masyarakat dan pelaku usaha dalam menunjang ketahanan ekonomi nasional

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Alasan OJK Terapkan Co-Payment Asuransi: Proteksi Lemah, Inflasi Medis Meningkat
Ilustrasi DPR Senayan. Foto: dok KabarBursa.com

KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya buka suara soal alasan utama di balik lahirnya kebijakan co-payment pada produk asuransi kesehatan. Kebijakan ini mewajibkan peserta menanggung sebagian kecil dari biaya klaim, sebesar 10 persen, dengan batas maksimal Rp300.000 untuk rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap.

Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, membeberkan bahwa fondasi utama dari keputusan ini adalah terbatasnya kapasitas industri asuransi di Indonesia dalam memberikan perlindungan. Padahal, jasa asuransi sangat krusial bagi masyarakat dan pelaku usaha dalam menunjang ketahanan ekonomi nasional.

"Namun di lain pihak, saat ini kapasitas dari industri asuransi di Indonesia dapat dikatakan masih terbatas dalam memberikan proteksi kepada masyarakat dan pelaku usaha itu," ujar Mahendra dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI, Senin 30 Juni 2025.

Ia mencontohkan, nilai aset industri asuransi Indonesia hanya menyumbang sekitar 5,1 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah rata-rata ASEAN yang berada di angka 15 persen. Sementara Singapura mencatatkan penetrasi hingga hampir 70 persen dari PDB.

"Begitu pula dengan total premi asuransi yang dibayarkan setiap tahunnya dibandingkan PDB atau terminologi penetrasi, saat ini masih di bawah 3 persen dari PDB, jauh di bawah Singapura 10 persen dan rata-rata ASEAN 3–5 persen," jelas Mahendra.

Data itu menggambarkan lemahnya cakupan proteksi asuransi kesehatan yang tersedia saat ini. Mahendra menegaskan, kualitas layanan dan perlindungan asuransi sangat terbatas—padahal risiko kesehatan adalah bagian penting dari ketahanan ekonomi nasional.

"Berkaitan dengan itu, tentu kami melihat bahwa kualitas dan cakupan pelindungan yang dapat diberikan dari risiko kesehatan yang merupakan bagian integral dari ketahanan ekonomi masyarakat juga bersifat terbatas," katanya.

Tak hanya itu, OJK juga mengacu pada data gap proteksi (protection gap) di kawasan Asia Pasifik yang masih lebar, termasuk Indonesia. Ia pun menggarisbawahi masih banyak risiko yang belum ter-cover baik oleh BPJS Kesehatan maupun asuransi swasta.

"Jumlahnya ditaksir mencapai USD 886 miliar pada tahun 2022," ungkap Mahendra.

Inflasi di sektor medis menjadi alasan tambahan. Menurut Mahendra, biaya kesehatan mengalami lonjakan signifikan dan diperkirakan akan semakin tinggi di masa mendatang.

"Pada tahun 2023 terlihat bahwa tingkat inflasi kesehatan itu mencapai hampir tiga kali lipat dari tingkat inflasi secara umum, dan untuk tahun 2025 diperkirakan tingkat inflasi medis mencapai 13,6 persen," tuturnya.

Menjawab tantangan-tantangan tersebut, OJK resmi mengeluarkan Surat Edaran Nomor 7/SEOJK.05/2025 sebagai dasar hukum implementasi skema co-payment. Aturan ini akan berlaku mulai 1 Januari 2026, dan mencakup semua jenis produk asuransi kesehatan baik yang konvensional maupun syariah.

Mahendra juga menegaskan bahwa skema ini bukan hal baru di dunia internasional.

"Tetap kami laporkan bahwa mekanisme co-payment ini memang sudah menjadi best practice secara internasional diterapkan di negara-negara lebih maju seperti Singapura, Korea Selatan, Malaysia, maupun juga negara-negara berkembang di kawasan seperti Thailand dan Filipina," kata dia.

Asuransi Kesehatan Itu Rugi

Lonjakan premi asuransi kesehatan sebesar 43,01 persen pada 2024 menandai beban baru bagi masyarakat. Kenaikan ini mencerminkan tekanan bisnis yang dihadapi industri asuransi, terutama pasca lonjakan klaim akibat pandemi.

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, memaparkan bahwa perusahaan asuransi kesehatan menghadapi masa sulit, dengan rasio klaim yang sempat mendekati total premi yang dihimpun.

“Klaimnya hampir sama dengan premi yang diterima, itu belum masuk dengan biaya operasional yang mencapai 10–15 persen. Sebenarnya asuransi kesehatan itu rugi,” jelas Ogi dalam rapat di DPR RI, Senin 30 Juni 2025

Data OJK mencatat, rasio klaim terhadap premi berada di level 86,12 persen pada 2019, melonjak menjadi 97,52 persen di 2023. Walaupun tahun ini sempat melandai ke angka 71,23 persen, dampak kenaikan beban masih terasa dalam bentuk premi yang melonjak tajam.

Banyak pemegang polis yang terkejut dengan kenaikan premi yang signifikan. “Premi di tahun 2024 naik 43,01 persen. Beberapa pemilik polis merasa tinggi sekali kenaikan premi asuransi kesehatan,” ujar Ogi.

Efek dari kondisi ini juga tercermin pada keputusan sejumlah perusahaan asuransi untuk menghentikan penjualan produk kesehatan. Menurut OJK, terdapat empat perusahaan yang menghentikan lini produk ini, menyisakan hanya 78 penyelenggara di tahun 2024, turun dari 82 pada dua tahun sebelumnya.

“Ada 4 perusahaan yang tidak lagi menjual produk asuransi kesehatan karena beberapa faktor, antara lain klaim cukup tinggi,” tambahnya.

Namun di tengah tekanan tersebut, nilai premi yang dihimpun justru meningkat, menembus angka Rp40,19 triliun. Peningkatan juga tercermin dari jumlah polis yang aktif, yang bertambah dari 29,29 juta pada 2023 menjadi 31,34 juta pada 2024.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.