Logo
>

Ambisi Menaikkan Pertumbuhan Ekonomi RI Berpotensi Merusak Ekologis

Ditulis oleh KabarBursa.com
Ambisi Menaikkan Pertumbuhan Ekonomi RI Berpotensi Merusak Ekologis

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Organisasi pecinta lingkungan, Greenpeace Indonesia, mengingatkan masyarakat untuk tidak melihat pertumbuhan ekonomi sebagai wujud kesejahteraan semata. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sebesar 5 persen tidak berlaku menyeluruh di Indonesia.

    Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak menuturkan, ambisi mendorong pertumbuhan ekonomi selama ini hanya mementingkan aktivitas ekonomi material. Faktanya, Produk Domestik Bruto (PDB) dianggap sebagai mitos kesejahteraan yang selama ini langgeng dilembagakan.

    Leonard menuturkan, PDB tidak memperhitungkan distribusi pendapatan, kualitas hidup, kebahagiaan, dan faktor-faktor sosial lainnya yang penting untuk kesejahteraan manusia.

    Dia mengungkapkan, berdasarkan data Bank Dunia (World Bank), 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 77 persen kekayaan nasional.

    Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di angka 5 persen yang digaungkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) juga dianggap tidak mencerminkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Leonard menyebut, hal itu terwujud dari menurunnya proporsi kelas menengah, maraknya PHK, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, hingga eksploitasi alam berlebihan.

    “Pembangunan yang hanya semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi mungkin akan membawa kita kepada kerusakan ekologis permanen, yang pada akhirnya justru tidak akan mensejahterakan masyarakat,” kata Leonard dalam siaran persnya yang dikutip, Minggu, 22 September 2024.

    Dia menegaskan, saatnya publik melihat PDB tidak sebagai indikator utama kesejahteraan, melainkan pendekatan pembangunan yang lebih holistik, inklusif, adil, dan berkelanjutan. Dia menuturkan, praktik eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, demi mengejar pertumbuhan ekonomi.

    Menurut Leonard, pendekatan yang mengutamakan PDB sebagai indikator kesuksesan ekonomi terbukti tidak cukup untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial dan lingkungan.

    Karena itu, Greenpeace mendesak pemerintah untuk mengimplementasikan prinsip keberlanjutan yang tidak sekadar seruan teoretis, tetapi juga tindakan nyata dalam mengurangi jejak lingkungan.

    “Sudah saatnya PDB tidak lagi menjadi indikator utama kesejahteraan, tetapi pendekatan pembangunan yang lebih holistik, inklusif, adil dan berkelanjutan,” pungkasnya.

    Pertumbuhan Ekonomi RI Ditargetkan 5,2 Persen

    Sebagaimana diketahui, DPR RI mensahkan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RUU APBN) 2025 menjadi UU APBN 2025 melalui Rapat Paripurna yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 19 September 2024.

    Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mengatakan pihaknya bersama pemerintah telah menyepakati seluruh asumsi APBN dalam menjawab risiko tantangan perekonomian dalam negeri di tahun pertama kepemimpinan Presiden terpilih, Prabowo Subianto.

    Said menuturkan, APBN 2025 menjadi kerangka kerja yang kokoh dalam asumsi dasar ekonomi makro untuk mendorong pertumbuhan hingga 5,2 persen. Optimisme pertumbuhan ekonomi di tahun 2025 juga sejalan dengan prediksi lembaga internasional.

    Begitu juga dengan target penurunan inflasi yang ditargetkan dalam APBN 2025, yakni sebesar 2,5 persen. Said menyebut inflasi Indonesia telah mencapai angka normal dibandingkan negara-negara lainnya.

    “Di saat negara-negara lain masih berjuang menurunkan angka inflasi, kita sudah bisa mencapai angka inflasi normal, sama seperti saat sebelum terjadi krisis,” ujarnya.

    Sematara itu, lanjut Said, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga ditargetkan Rp16.100 dalam APBN 2025. Mesk begitu, Banggar merevisi target tersebut dengan mendorong nilai tukar ke level yang lebih rendah sebesar Rp16.000 di tahun 2025.

    “Pimpinan Badan Anggaran mendorong agar lebih rendah di level 15.900. Namun kita bersepakat akhirnya di Rp16.000 per dolar AS,” terangnya.

    Di sisi lain, Banggar DPR dan pemerintah juga menyepakati anggaran subsidi pendidikan minimal sebesar 20 persen, yakni Rp724,26 triliun dari APBN 2025 yang disahkan. Begitu juga dengan tingginya angka stunting, APBN juga diharapkan bisa menyelesaikan persoalan stunting melalui dukungan anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG).

    “Jujur saja, kita sudah on the track untuk terus berlari menuju negara maju di 2045 nanti. Kita sudah meletakkan kerangka kerja yang cukup kokoh dalam asumsi dasar ekonomi makro pada tahun 2025,” imbuhnya.

    Lonjakan Utang tak Seimbang dengan Pertumbuhan Ekonomi

    Ekonom yang juga peneliti Bright Institute, Awalil Rizky, menyoroti lonjakan utang yang terjadi selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, pertambahan utang dalam satu dekade terakhir tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan.

    Dia menilai, pemerintah sering kali berargumen bahwa utang digunakan untuk keperluan produktif, namun data menunjukkan hal sebaliknya.

    Awalil menyebut ada empat indikasi utama yang menunjukkan bahwa peningkatan utang tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Pertama, kenaikan pendapatan negara tidak signifikan dibandingkan dengan peningkatan utang.

    Menurut Awalil, rasio utang pemerintah atas pendapatan negara pada 2024 mencapai 315,81 persen. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan saat Jokowi pertama kali menjabat pada 2014, yakni sebesar 168,27 persen.

    Indikasi kedua adalah nilai aset tetap pemerintah yang tidak sebanding dengan jumlah utang yang terus meningkat. Pada 2023, utang pemerintah pusat tercatat sekitar Rp8.144 triliun, sementara nilai aset tetap pemerintah hanya hampir mencapai Rp7.000 triliun.

    Awalil menjelaskan lonjakan nilai aset ini terjadi karena revaluasi aset tetap pemerintah pada 2017-2018, bukan karena pembangunan baru yang signifikan.

    “Misalnya jalan tol yang bertambah, sedangkan pertambahan jalan nasional lebih sedikit dibandingkan era SBY (Susilo Bambang Yudhoyono),” kata Awalil dalam diskusi Forum Insan Cita secara virtual, Selasa, 17 September 2024.

    Ketiga, investasi pemerintah di BUMN tidak sebanding dengan posisi utang pemerintah pusat. Awalil menyoroti pemerintah sering menyatakan utang digunakan untuk mendukung BUMN menjalankan proyek strategis nasional. Namun, data menunjukkan penyertaan modal pemerintah pada BUMN tidak sampai Rp3.000 triliun, sementara utang pemerintah pusat mencapai Rp8.144 triliun pada 2023.

    Terakhir, Awalil menegaskan, laju pertumbuhan ekonomi tidak berbanding lurus dengan peningkatan utang. Kenaikan utang tidak membuat pertumbuhan ekonomi lebih cepat dibandingkan saat utang lebih sedikit.

    Senada dengan Awalil, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J. Rachbini, juga mengkritisi penumpukan utang selama era Presiden Jokowi.

    Meskipun rasio utang pemerintah terhadap PDB masih di bawah 40 persen, Didik menyoroti beban bunga yang harus ditanggung oleh Indonesia begitu besar. Berbeda halnya dengan Jepang yang meskipun rasio utangnya mencapai 100 persen, namun bunga yang dibayar lebih rendah.

    Negeri Sakura itu memiliki bunga utang sekitar 0,7 persen sampai dengan 0,9 persen. Jika berutang Rp500 triliun, mereka hanya membayar bunganya 30 triliun.

    “Indonesia Utang Rp8.500 triliun harus membayar bunga Rp500 triliun,” kata Didik. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi