KABARBURSA.COM - Proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional yang dipatok pemerintah dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026 dinilai terlalu optimistis di tengah perlambatan ekonomi yang tengah berlangsung.
Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menilai, jika tidak diiringi dengan kebijakan yang realistis, target ambisius itu justru bisa menjadi bumerang bagi pemulihan ekonomi.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menyebut bahwa asumsi pertumbuhan sebesar 5,2 persen hingga 5,8 persen yang ditetapkan Kementerian Keuangan sulit dicapai dalam kondisi ekonomi saat ini. Menurut dia, indikator di kuartal pertama tahun ini saja sudah menunjukkan perlambatan yang cukup nyata.
“Kita memprediksikan di quarterly-quarterly berikutnya tidak lebih baik untuk tahun ini. Jadi makanya maksimal di 4,8 persen kalau untuk prediksi dari CORE,” ujar Faisal kepada KabarBursa.com, Rabu 21 Mei 2025.
Faisal menilai bahwa proyeksi yang terlalu tinggi tersebut bukan semata-mata soal optimisme. Tapi lebih kepada fondasi bagi Kemenkeu untuk menetapkan target penerimaan negara. Namun, jika target itu tak sejalan dengan realitas di lapangan, maka beban terhadap perekonomian bisa meningkat.
Menurutnya, strategi fiskal yang menuntut penerimaan tinggi bisa menjurus pada arah yang justru bertentangan dengan kebutuhan saat ini, yaitu pemulihan. Bila dipaksakan, maka alih-alih mendorong pertumbuhan, langkah itu justru bisa memperkuat tekanan fiskal.
“Tapi yang perlu dicatat di sini adalah jangan sampai target penerimaan yang lebih tinggi yang di atas dari kondisi real-nya pada saat sekarang... itu malah jadi membebani perekonomian,” katanya.
Ia menekankan pentingnya sikap adaptif pemerintah dalam merumuskan kebijakan fiskal yang bersifat kontra-siklus, bukan justru membebani sektor riil dengan tekanan penerimaan yang tidak realistis.
“Padahal yang kita butuhkan adalah pelonggaran dari sisi fiskal untuk bisa mendorong sektor real dan perekonomian domestik itu lebih tinggi lagi,” jelasnya.
Dengan tekanan global yang terus berlanjut dan pelemahan permintaan dalam negeri, menurut Faisal, strategi terbaik saat ini adalah menyesuaikan kebijakan agar tidak kontra produktif.
“Paling tidak untuk meredam tekanan yang kita hadapi pada saat sekarang. Jadi kebijakan-kebijakan yang counter cyclical,” tutupnya.
Senada, Dosen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menyatakan bahwa proyeksi tersebut terbilang ambisius, meskipun bukan berarti mustahil dicapai.
Ia menilai, efektivitas seluruh instrumen kebijakan akan sangat menentukan apakah target tersebut realistis untuk diraih atau justru menjadi beban bagi perekonomian nasional.
“Proyeksi IMF sebesar 4,7 persen merefleksikan baseline tanpa intervensi fiskal dan reformasi,” kata Syafruddin kepada KabarBursa.com, Rabu 21 Mei 2025.
Ia merujuk pada isi dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026, di mana pemerintah menekankan pentingnya memperkuat konsumsi dalam negeri, mendorong akselerasi investasi, serta menjalankan program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis.
Namun di sisi lain, Syafruddin mengingatkan bahwa tantangan struktural belum sepenuhnya teratasi. Dominasi sektor informal, produktivitas yang masih rendah, serta hambatan dalam transformasi industri menjadi batu sandungan yang dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi.
“Jika transformasi industri, reformasi birokrasi, dan penguatan sektor ekspor tidak signifikan, maka pertumbuhan 5,2 persen bisa tercapai, tetapi mendekati 5,8 persen akan sulit tanpa momentum luar biasa,” terangnya.
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2026
Sebelumnya dituliskan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam Sidang Paripurna DPR RI pada Selasa, 20 Mei 2025 mengumumkan proyeksi pertumbuhan ekonomi indonesia untuk 2026 berada di kisaran 5,2 persen hingga 5,8 persen, sebagaimana tertuang dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEMPPKF) 2026.
“Kami memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2026 pada kisaran 5,2 persen hingga 5,8 persen,” ujar Sri Mulyani.
Bila dibandingkan dengan target pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2025 yang hanya sebesar 5,2 persen, target tahun 2026 mengalami sedikit kenaikan.
Lebih lanjut, bendahara negara itu menekankan bahwa target tersebut tetap harus dihadapkan dengan kenyataan global yang penuh ketidakpastian.
Oleh karena itu, stabilitas harga, daya beli masyarakat, serta penciptaan lapangan kerja harus menjadi prioritas untuk menjaga konsumsi rumah tangga sebagai penopang utama ekonomi nasional.
Ia juga menyampaikan bahwa proyeksi pertumbuhan ini merupakan pijakan awal untuk mendorong percepatan ekonomi Indonesia hingga bisa mencapai angka 8 persen dalam beberapa tahun mendatang.
Di sisi lain, pemerintah juga menetapkan sasaran pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran. Pada 2026, tingkat kemiskinan ditargetkan turun ke angka 6,5 hingga 7,5 persen.
Sementara itu, tingkat pengangguran terbuka diproyeksikan menyusut hingga berada dalam kisaran 4,5 hingga 5 persen. “Dengan terus konsisten mencapai visi Indonesia Maju 2045,” tambahnya.
Berikut Asumsi Dasar Ekonomi Makro dalam KEM-PPKF 2026:
Pertumbuhan ekonomi: 5,2 persen - 5,8 persen
Suku Bunga Surat Berharga Negara 10 Tahun: 6,6 persen - 7,2 persen
Nilai tukar: Rp16.500 - Rp16.900/USD
Inflasi: 1,5 persen - 3,5 persen
Harga minyak mentah Indonesia/Indonesia Crude Oil Price (ICP): USD60 - USD80/barel
Lifting minyak mentah: 600 - 605 ribu barel per hari (rbph)
Lifting gas bumi: 953 - 1.017 ribu barel setara minyak per hari (rbsmph)
Tingkat pengangguran terbuka: 4,44 persen - 4,96 persen
Rasio gini: 0,377 - 0,380
Tingkat kemiskinan ekstrem: 0 persen
Tingkat kemiskinan: 6,5 persen -7,5 persen
Indeks modal manusia: 0,57 (*)