Logo
>

Analis Sarankan OJK-BEI Buka Kode Broker Buntut Memanasnya Tensi Geopolitik

Ketidakpastian geopolitik menghapus optimisme jangka pendek terhadap pemangkasan suku bunga oleh The Fed, dan menggantinya dengan kekhawatiran inflasi berbasis komoditas.

Ditulis oleh Hutama Prayoga
Analis Sarankan OJK-BEI Buka Kode Broker Buntut Memanasnya Tensi Geopolitik
Ilustrasi logo BEI: BEI dan OJK disarankan untuk lebih transparan. (Foto: KabarBursa/Abbas Sandji)

KABARBURSA.COM – Tensi geopolitik sedang meningkat. Presiden Amerika Serikat Donald Trump, baru saja mengumumkan telah melakukan serangan udara ke tiga titik fasilitas nuklir utama Iran, yaitu Fordo, Natanz, dan Isfahan pada Sabtu waktu setempat, atau Minggu, 22 Juni 2025.

Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) diminta bertindak cepat. Analis sekaligus Founder Stocknow.id Hendra Wardana mengatakan, aksi AS menjadi babak baru dari ketegangan Timur Tengah, yang sejak Oktober 2023 telah memanas akibat konflik Iran-Israel.

"Kini, dengan keterlibatan langsung AS, dunia menghadapi risiko pecahnya perang terbuka skala besar di kawasan yang menjadi salah satu urat nadi pasokan energi global," kata Hendra kepada KabarBursa.com, Senin, 23 Juni 2025.

Di tengah gejolak ini, Hendra berharap OJK dan BEI mengambil langkah proaktif untuk menjaga stabilitas. Salah satu langkah penting yang perlu dilakukan adalah membuka kembali tampilan kode broker (broker summary). 

"Transparansi data perdagangan menjadi krusial dalam kondisi volatil seperti saat ini, agar pelaku pasar, terutama investor ritel dan institusi domestik, memiliki visibilitas yang memadai terhadap aliran transaksi dan likuiditas," saran dia. 

Bila tekanan pasar membesar, Hendra merasa otoritas perlu mempertimbangkan penyesuaian auto rejection atau langkah stabilisasi lain sesuai perkembangan situasi.

Dari sisi fiskal, lanjut dia, pemerintah perlu memanfaatkan momen kenaikan harga komoditas untuk mengoptimalkan penerimaan negara.

"Namun, tetap waspada terhadap dampak negatif terhadap daya beli dan pertumbuhan ekonomi domestik," ujarnya. 

Lebih jauh Hendra melihat ketidakpastian geopolitik ini menghapus optimisme jangka pendek terhadap pemangkasan suku bunga oleh The Fed, dan menggantinya dengan kekhawatiran inflasi berbasis komoditas.

"Investor global kini cenderung berpindah ke aset defensif seperti US Treasury dan dolar AS, serta menurunkan eksposur terhadap pasar ekuitas, terutama di negara berkembang," pungkasnya. 

Serangan AS ke Iran Diprediksi Tekan Rupiah dan Picu Inflasi

Sebelumnya diberitakan, harga minyak jenis Brent sempat menyentuh USD108 per barel dalam perdagangan intrahari kemarin, dengan proyeksi kenaikan lebih lanjut jika Iran membalas serangan atau menutup Selat Hormuz. Selat ini merupakan jalur distribusi yang selama ini dilewati sekitar 20 persen pasokan minyak dunia.

Kondisi ini memperberat tekanan terhadap nilai tukar rupiah yang pada Jumat lalu ditutup melemah ke level Rp16.420 per dolar AS. Dalam jangka pendek, lonjakan harga minyak dan penguatan dolar akan memperbesar risiko inflasi dan mempersempit ruang kebijakan fiskal maupun moneter nasional.

Subsidi energi berpotensi membengkak, sementara target defisit APBN 2025 sebesar 2,6 persen dari PDB menjadi sulit dicapai tanpa penyesuaian signifikan.

“Lonjakan harga minyak bukan sekadar ancaman bagi neraca dagang, tapi juga menyulitkan manuver Bank Indonesia menjaga stabilitas rupiah tanpa mengorbankan pertumbuhan,” ujar Syafruddin Karimi, ekonom dari Universitas Andalas pada Minggu, 22 Juni 2025 malam.

Ia menilai bahwa pemerintah harus bergerak cepat dan terkoordinasi. Sementara menurut kajian terbaru Oxford Economics, jika Iran benar-benar menutup Selat Hormuz, harga minyak bisa melonjak ke USD130 per barel.

Kondisi itu diperkirakan akan mendorong inflasi AS ke 6 persen dan memaksa The Fed menunda rencana pemangkasan suku bunga tahun ini. Konsekuensinya, arus modal akan kembali mengalir deras ke Amerika Serikat dan menjauh dari pasar negara berkembang termasuk Indonesia.

“Jika aliran dana asing keluar dalam jumlah besar, rupiah bisa makin melemah, dan beban bunga utang luar negeri otomatis meningkat,” tambah Syafruddin.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Hutama Prayoga

Hutama Prayoga telah meniti karier di dunia jurnalistik sejak 2019. Pada 2024, pria yang akrab disapa Yoga ini mulai fokus di desk ekonomi dan kini bertanggung jawab dalam peliputan berita seputar pasar modal.

Sebagai jurnalis, Yoga berkomitmen untuk menyajikan berita akurat, berimbang, dan berbasis data yang dihimpun dengan cermat. Prinsip jurnalistik yang dipegang memastikan bahwa setiap informasi yang disajikan tidak hanya faktual tetapi juga relevan bagi pembaca.