KABARBURSA.COM - Pada Desember 2024, Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia tercatat mengalami kenaikan tahunan sebesar 1,57 persen secara year on year (yoy), mencapai angka 106,8, dibandingkan dengan bulan November.
Kenaikan ini dipicu oleh peningkatan harga barang dalam komponen harga bergejolak (volatile), yang naik 0,12 persen setelah sebelumnya mengalami deflasi sebesar 0,32 persen pada November.
Ekonom senior Masyita Crystallin menilai dari sisi lain terkait inflasi inti (core) tetap stabil di angka 2,26 persen, sementara inflasi pada barang yang diatur pemerintah (administered) mengalami penurunan dari 0,82 persen menjadi 0,56 persen.
“Secara keseluruhan, inflasi bulan Desember masih berada dalam batas yang terkendali. Hal ini mengindikasikan kebijakan stabilitas harga berjalan dengan baik, meski beberapa kelompok barang mengalami kenaikan harga,” ujar Masyita dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu, 4 Januari 2024.
Secara bulanan (month-to-month), inflasi mengalami kenaikan sebesar 0,44 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan November (0,30 persen) maupun Desember tahun lalu (0,42 persen). Peningkatan ini disebabkan oleh lonjakan harga pada kebutuhan sehari-hari yang naik 7,02 persen, serta makanan, minuman, dan tembakau yang naik 2,48 persen. Namun, sektor telekomunikasi dan transportasi mencatatkan deflasi masing-masing sebesar 0,27 persen dan 0,3 persen.
“Peningkatan pada kelompok kebutuhan pokok memang lazim terjadi menjelang akhir tahun, terutama karena permintaan yang meningkat. Di sisi lain, deflasi pada sektor telekomunikasi dan transportasi memberikan penyeimbang, sehingga tekanan inflasi tidak melonjak tajam,” tambah Masyita.
Harga bahan bakar non-subsidi seperti Pertamina Dex dan Pertamax 92 mengalami penurunan masing-masing sebesar 14,8 persen dan 9,4 persen, seiring dengan turunnya harga minyak mentah dunia yang rata-rata mencapai USD 73,81 per barel pada bulan Desember. Di sisi lain, harga LPG 50 kg tercatat mengalami kenaikan signifikan sebesar 17,9 persen, yang dipengaruhi oleh tingginya permintaan menjelang akhir tahun.
“Sektor energi mencerminkan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, penurunan harga minyak dunia membawa dampak positif pada bahan bakar non-subsidi, namun tingginya permintaan LPG menunjukkan adanya dinamika konsumsi yang khas di akhir tahun,” jelas Masyita.
Di sektor pangan, harga Gabah Kering Giling di tingkat petani dan pabrik penggilingan masing-masing mengalami penurunan sebesar 8,9 persen dan 8,5 persen, sementara harga Gabah Kering Panen turun sebesar 5,47 persen di tingkat petani dan 5,34 persen di tingkat pabrik.
"Harga berbagai jenis beras baik di level petani maupun di penggilingan masih meneruskan trend penurunan harga meski musim panen sudah lewat (Maret-Oktober), pasar nampaknya masih berusaha menyerap gabah petani sisa dari musim panen lalu," kata Masyita,
Optimisme masyarakat terhadap perekonomian semakin meningkat. Indeks Keyakinan Konsumen pada November tercatat naik menjadi 125,86, dibandingkan dengan 121,1 pada bulan sebelumnya. Di sisi lain, sektor manufaktur juga menunjukkan tanda-tanda positif dengan kenaikan Indeks Pembelian Manajer menjadi 51,2, yang mengindikasikan fase ekspansi.
"Kondisi ini membuat optimisme akan terbukanya lapangan kerja, meningkatnya pendapatan, maupun peningkatan akitivitas produksi dan penjualan dalam beberapa waktu mendatang," ungkap Masyita.
Meskipun demikian, masyarakat terlihat lebih selektif dalam pengeluaran, terutama untuk kebutuhan sekunder dan tersier, termasuk saat merayakan libur akhir tahun.
Data pinjaman untuk sektor industri maupun konsumsi rumah tangga tercatat mengalami kenaikan sejak pertengahan 2024. Namun, jumlah pinjaman tersebut masih belum mencapai level sebelum pandemi. Pada November 2024, pinjaman mengalami penurunan sedikit menjadi 10,109 persen, dibandingkan dengan 10,44 persen pada Oktober.
“Kami melihat masyarakat cenderung menunda pengeluaran besar menjelang akhir tahun. Pola ini mengindikasikan mereka menunggu momentum yang lebih baik di awal tahun, khususnya untuk aktivitas produktif,” beber Masyita.
Perilaku selektif dalam konsumsi ini dianggap sebagai dampak dari pengalaman selama pandemi, di mana masyarakat menjadi lebih bijak dalam mengatur pengeluaran mereka. Bahkan, meskipun ada berita tentang kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang seharusnya memengaruhi harga barang, dampaknya terhadap inflasi tidak terlalu signifikan.
“Kenaikan PPN tidak banyak berpengaruh karena masyarakat sudah terbiasa membatasi pengeluaran rumah tangga mereka. Ada pola kehati-hatian yang masih melekat sejak pandemi,” jelas Masyita.
Di tengah situasi ini, masyarakat juga tampak berhati-hati sembari menunggu gebrakan pemerintahan baru di bidang ekonomi pada tahun 2025.
“Kunci keberhasilan pemerintah adalah menjaga kepercayaan ini dengan langkah konkret di sektor produktif. Jika itu terwujud, konsumsi akan kembali meningkat secara bertahap dan dapat menciptakan lapangan kerja baru,” pungkas Masyita. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.