KABARBURSA.COM – Tingkat kemiskinan Indonesia kembali menjadi sorotan setelah Bank Dunia memperbarui metode penghitungan garis kemiskinan global.
Dalam laporan terbarunya, lembaga internasional itu menyebut 68,3 persen penduduk Indonesia masuk kategori miskin berdasarkan standar negara berpendapatan menengah atas, yang kini menjadi kelompok tempat Indonesia tergolong.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menjelaskan bahwa lonjakan angka ini bukan karena kemiskinan Indonesia memburuk secara tiba-tiba, melainkan karena perubahan metodologi dan pembaruan tahun dasar dalam penghitungan paritas daya beli (Purchasing Power Parity/PPP).
“Bank Dunia memakai standar garis kemiskinan terbaru sebesar USD 8,20 per orang per hari dengan tahun dasar 2021 PPP,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Rabu 25 Juni 2025.
Ia menyebut bahwa angka kemiskinan sebesar 68,3 persen itu mengacu pada jumlah penduduk yang pengeluarannya di bawah batas tersebut, setara dengan sekitar Rp1.512.000 per bulan.
“Jika menggunakan asumsi jumlah penduduk 279,29 juta orang, maka yang tergolong miskin mencapai lebih dari 190 juta jiwa,” ujar Awalil.
Di sisi lain, angka resmi versi BPS pada Maret 2024 menunjukkan tingkat kemiskinan Indonesia hanya 9,03 persen, atau sekitar 25,22 juta orang.
Standar garis kemiskinan nasional saat itu berada di angka Rp582.932 per orang per bulan, jauh di bawah ambang batas Bank Dunia untuk negara menengah atas.
Menurut Awalil, ketimpangan angka antara versi BPS dan Bank Dunia sebetulnya tidak menunjukkan kontradiksi, melainkan perbedaan pendekatan metodologis.
“Standar nasional kita justru lebih mendekati ukuran kemiskinan ekstrem internasional yang ditetapkan Bank Dunia sebesar USD 3 per hari, atau sekitar Rp546.400 per bulan,” jelasnya.
Awalil menambahkan bahwa ukuran garis kemiskinan global memiliki fungsi sebagai alat pemantau global untuk melihat sejauh mana kemajuan negara-negara dalam pengentasan kemiskinan.
“Bank Dunia sejak 2017 mulai memperluas definisi garis kemiskinan, tidak lagi hanya satu, tapi menjadi tiga: untuk kemiskinan ekstrem, menengah bawah, dan menengah atas,” katanya.
Ia menilai bahwa fakta banyaknya penduduk yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan versi BPS juga harus menjadi perhatian.
Berdasarkan kalkulasi, ketika batas garis kemiskinan dinaikkan menjadi Rp765.000 per bulan, atau standar negara berpendapatan menengah bawah, jumlah orang miskin melonjak ke 19,99 persen, lebih dari dua kali lipat versi BPS.
“Ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sangat rentan. Sedikit saja tekanan ekonomi, maka jutaan orang bisa tergelincir masuk kategori miskin,” tegas Awalil.
Dalam konteks ini, ia menyarankan agar pemerintah lebih terbuka terhadap standar internasional, bukan untuk dipertentangkan secara politis, melainkan untuk memperluas perspektif dalam menyusun kebijakan pengentasan kemiskinan.
Ia juga menekankan pentingnya memahami konsep PPP (purchasing power parity), yang tidak dapat disamakan dengan kurs pasar. Pada ukuran terbaru, USD 1 setara dengan Rp6.071, yang menjelaskan mengapa nilai ambang kemiskinan terlihat lebih tinggi dibanding pengukuran BPS.
“Konversi daya beli ini mempertimbangkan biaya hidup dan perbedaan harga antarnegara. Jadi wajar bila kurs PPP menghasilkan angka yang sangat berbeda dari kurs pasar atau kurs BI,” jelas Awalil.(*)