KABARBURSA.COM – Anjloknya permintaan India dan pelemahan impor China, menyeret harga batu bara global ke tren negatifnya. Pada perdagangan Rabu waktu setempat, 26 November 2025, komoditas energi ini anjlok hingga 0,67 persen, ke USD110,65 per ton.
Pelemahan ini memperpanjang tren negatif dalam dua hari berturut-turut, dengan total penurunan mencapai 1,7 persen.
India, sebagai salah satu konsumen terbesar batu bara dunia, mencatat penurunan produksi dan pengiriman untuk bulan kedua berturut-turut pada Oktober. Produksi batu bara nasional turun 8,5 persen YoY menjadi 77,43 juta ton, sementara pengiriman menyusut hampir 5 persen YoY ke 80,44 juta ton.
Pelemahan ini juga sejalan dengan turunnya konsumsi listrik India, yang merosot 6 persen YoY menjadi 132 miliar unit. Penurunan ini mencerminkan minimnya permintaan sektor listrik dan industri, yang biasanya menjadi motor konsumsi energi negara tersebut.
Tekanan juga datang dari sektor transportasi batu bara. Kebutuhan kereta pengangkut merosot 3,47 persen YoY menjadi 289,6 gerbong per hari. Sementara, permintaan dari sektor listrik turun lebih dalam ke 254,8 gerbong per hari.
Situasi ini memperlihatkan rantai permintaan batu bara India melambat di seluruh lini. Musim monsun biasanya memang mengurangi aktivitas tambang dan konsumsi listrik, tetapi tahun ini menjadi pengecualian karena penurunan permintaan terjadi jauh lebih cepat akibat turunnya suhu sejak Mei.
Penutupan Terminal Batu Bara Wisconsin
Sinyal negatif juga datang dari Amerika Serikat. Terminal batu bara di Superior, Wisconsin—salah satu fasilitas kunci distribusi batu bara AS—dipastikan akan tutup pada Juni 2026. Penutupan terminal Midwest Energy Resources Company ini menggambarkan pergeseran signifikan menuju energi bersih.
Terminal yang pernah mencatat pemuatan 22 juta ton batu bara pada 2008 kini mengalami penurunan volume hingga 75 persen. Dampaknya tidak hanya mengenai tenaga kerja, tetapi juga menunjukkan semakin rendahnya permintaan batu bara di Amerika Utara.
China, pemain terbesar dalam pasar batu bara dunia, mengirimkan kabar yang tidak kalah berat. Output listrik tenaga air melonjak 28,2 persen pada Oktober 2025 menjadi 135,13 miliar kWh.
Dengan kapasitas hydropower raksasa, peningkatan produksi sebesar ini langsung menekan kebutuhan batu bara sebagai sumber energi. Utility China mulai mengurangi tender pembelian batu bara impor, terutama untuk kategori low-CV yang banyak dipasok Indonesia.
Stok domestik yang cukup dan harga lokal yang lebih kompetitif membuat batu bara impor kehilangan daya tarik.
Kondisi tersebut memberikan tekanan besar bagi eksportir utama Asia, termasuk Indonesia. Pelemahan permintaan low-CV dari China membuka risiko penurunan harga lebih lanjut dan berpotensi menekan margin produsen.
Pasar global kini memasuki fase di mana oversupply dan perubahan preferensi energi semakin sering terjadi bersamaan.
Pengenaan Bea Keluar Batu Bara di Indonesia
Di tengah ketidakpastian pasar batu bara, pemerintah Indonesia bersiap dengan kebijakan baru. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, menyampaikan bahwa rencana pengenaan bea keluar batu bara kemungkinan berlaku pada 2026.
Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan penerimaan negara, meski diperkirakan akan mengurangi margin pelaku usaha. Pemerintah juga menilai dampaknya terhadap daya saing ekspor tidak akan signifikan, selama produsen tidak menaikkan harga secara agresif.
Sementara itu, pemerintah juga menargetkan penerapan bea keluar emas pada 2026, dengan tarif 7,5 persen hingga 15 persen. Kebijakan ini diperkirakan dapat menambah penerimaan negara hingga Rp6 triliun.
Dengan tekanan permintaan dari India dan China, transisi energi di AS, serta potensi kebijakan fiskal baru di dalam negeri, pasar batu bara global kini berada pada fase yang rapuh.
Pelemahan harga dua hari terakhir menjadi cerminan risiko fundamental yang semakin besar dan perlunya pelaku industri untuk menyesuaikan strategi menghadapi volatilitas yang berpotensi berlanjut dalam waktu dekat.(*)