Logo
>

Antara Data dan Dapur: Dua Wajah Pembangunan Prabowo–Gibran Satu Tahun Pertama

Visi besar kerap tersandung realitas operasional yang tidak selalu siap menyambut kecepatan ambisi

Ditulis oleh Uslimin Usle
Antara Data dan Dapur: Dua Wajah Pembangunan Prabowo–Gibran Satu Tahun Pertama
Transformasi digital dan revolusi gizi nasional. Keduanya dijanjikan sebagai fondasi produktivitas bangsa

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka menandai dua arah pembangunan manusia yang berjalan berdampingan. Transformasi digital dan revolusi gizi nasional. Keduanya dijanjikan sebagai fondasi produktivitas bangsa. Namun fakta di lapangan menunjukkan betapa keduanya masih berjuang antara ambisi dan kapasitas.

    Di atas kertas, strategi ini tampak visioner. Pemerintah ingin menata ulang negara dari dua pintu, data dan dapur, dari ruang siber hingga ruang makan anak sekolah. Namun visi besar kerap tersandung realitas operasional yang tidak selalu siap menyambut kecepatan ambisi.

    Digitalisasi Negara, Branding Politik atau Revolusi Administratif?

    Perubahan nama Kementerian Komunikasi dan Informatika menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mungkin tampak simbolik. Akan tetapi, maknanya politis. Digitalisasi kini diposisikan sebagai tulang punggung ekonomi dan pemerintahan. Namun patut dicatat bahwa simbol tanpa struktur hanya akan menghasilkan ilusi kemajuan.

    Komdigi di bawah kepemimpinan Meutya Hafid mengusung mandat yang tidak ringan. Yaitu mewujudkan Single Identity Number (SIN) sebagai identitas tunggal nasional, dan menyatukan layanan publik digital di bawah payung GovTech INA Digital.
    Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2023 tentang SPBE (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik) telah memberi dasar hukum kuat. Namun, pengalaman pengguna INA Digital selama uji coba pada 2024, memperlihatkan jurang yang nyata antara regulasi dan realitas. Verifikasi biometrik sering gagal. Sistem masih meminta unggahan dokumen berulang. Dan,  interoperabilitas antarinstansi berjalan tersendat.

    Langkah berikutnya, penerapan Permen Komdigi No. 5/2025 tentang registrasi sistem elektronik, memperlihatkan kemauan politik yang serius untuk memperkuat keamanan data. Tetapi kebijakan ini juga menciptakan biaya kepatuhan tinggi bagi daerah dengan infrastruktur terbatas. Hasilnya, muncul ketimpangan baru. Instansi pusat bergerak cepat, tapi daerah tertinggal dan terseret lambat.

    Meski begitu, keberhasilan penurunan transaksi judi daring menjadi bukti lain bahwa digitalisasi bukan hanya jargon. Data PPATK menunjukkan transaksi judi online anjlok dari Rp359,81 triliun (2024) menjadi Rp99,67 triliun semester I-2025, atau turun lebih dari 70 persen. Pemerintah memutus akses lebih dari 1,3 juta situs dan konten, serta membekukan lebih dari 122 juta rekening dormant di 105 bank. Efeknya langsung terasa. Deposit judi daring jatuh 55 persen hanya dalam dua bulan.

    Angka ini menunjukkan efektivitas teknologi ketika diarahkan secara tepat. AI untuk penegakan hukum, registrasi eSIM biometrik untuk menghapus identitas palsu, dan sinkronisasi data Dukcapil untuk menutup ruang kriminal digital, adalah fakta tak terbantahkan. Akan tetapi, efektivitas teknis belum tentu berarti efisiensi kelembagaan.
    Komdigi masih perlu membuktikan bahwa transformasi digital bisa menciptakan negara efisien. Bukan hanya negara dengan banyak aplikasi.

    Tantangan ke depan adalah sinkronisasi lintas kementerian dan penguatan SDM digital di birokrasi. Tanpa hal itu, digitalisasi berisiko menjadi kosmetika administrasi — mempercantik laporan, tetapi tidak mempercepat pelayanan.

    Nutrisi Nasional, Antara Gizi Politik dan Gizi Ekonomi

    Jika digitalisasi mencerminkan modernisasi birokrasi, maka Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah wajah populis pemerintahan Prabowo–Gibran di sektor sosial. Program ini menargetkan 83 juta penerima pada 2029, mulai anak sekolah hingga ibu hamil. Pada 2025 saja, pemerintah menyiapkan Rp71 triliun, namun kebutuhan tambahan disebut hampir Rp100 triliun agar cakupan lebih luas.

    Dengan pembentukan Badan Gizi Nasional (BGN), pemerintah ingin mengakhiri tumpang tindih lintas kementerian. Namun percepatan ekspansi menimbulkan pertanyaan serius, seberapa siap birokrasi mengelola proyek sosial berskala raksasa ini?

    Dari sisi kuantitas, capaian memang impresif. Hanya dalam delapan bulan, peserta MBG melonjak dari 570 ribu menjadi 23 juta penerima. Namun dari sisi mutu gizi, hasilnya jauh dari target. Kajian CISDI (2025) mencatat hanya 17 persen menu yang memenuhi sasaran 30–35 persen Angka Kecukupan Gizi (AKG). Bahkan 45 persen menu menggunakan bahan ultra-processed tinggi gula — ironi di tengah kampanye perbaikan gizi.

    Dari aspek fiskal, beban program ini terus membengkak. RAPBN 2026 memproyeksikan alokasi MBG mencapai Rp335 triliun, hampir 10 persen dari total belanja negara. Artinya, setiap porsi yang seharusnya senilai Rp10.000 hanya didukung dana efektif sekitar Rp5.970 per anak. Kesenjangan ini memperlihatkan potensi underfunded policy — ambisi sosial yang melampaui kapasitas fiskal.

    Lebih parah lagi, BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) melaporkan 31 kasus keracunan massal di sepuluh provinsi, dan YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) mencatat 5.914 korban hingga September 2025. Sementara data KSP (Kantor Staf Presiden) menunjukkan hanya 413 dari 1.379 dapur MBG (SPPG) yang memiliki SOP, dan 312 yang benar-benar menjalankannya.

    Kritik publik tidak bisa diabaikan. CELIOS menilai program ini berisiko bocor hingga Rp8,52 triliun per tahun, dan INDEF merekomendasikan moratorium untuk penataan ulang standar gizi serta higienitas dapur. Namun di sisi lain, kajian makro justru mencatat multiplier effect positif di mana pendapatan domestic bruto (PDB) naik 0,06 persen, penyerapan tenaga kerja bertambah 0,19 persen, dan upah meningkat 0,39 persen.

    Inilah paradoks kebijakan sosial, ketika ia menstimulasi ekonomi jangka pendek, namun mengancam keberlanjutan fiskal dan keselamatan publik bila tak dikawal ketat.

    Antara Inovasi dan Kapasitas

    Baik transformasi digital maupun revolusi gizi, keduanya menunjukkan karakter khas pemerintahan Prabowo–Gibran. Kekhasannya pada eksekusi yang cepat, masif, dan berani mengambil risiko fiskal. 

    Namun kecepatan tanpa kesiapan, dapat berubah menjadi krisis legitimasi. Masalah bukan pada ide besarnya. Melainkan pada ketimpangan antara desain dan eksekusi.

    Di sektor digital, pemerintah sudah menempuh langkah besar dalam penegakan hukum dan perlindungan data. Tapi, belum tuntas dalam membangun infrastruktur pemerintahan digital yang terintegrasi. 

    Di sektor kesehatan, program MBG sudah menciptakan efek ekonomi nyata, tetapi belum berhasil membangun disiplin mutu gizi dan sistem keamanan pangan nasional. Solusinya tidak terletak pada penghentian, melainkan pada perbaikan tata kelola. Pemerintah perlu menjadikan BGN setara lembaga otoritatif dengan fungsi koordinatif lintas kementerian dan sistem audit publik real-time.

    Digitalisasi juga harus berpindah dari “branding kementerian” ke ekosistem interoperabilitas nasional. Di mana data, pelayanan, dan fiskal saling terkoneksi secara efisien.

    Bagi dunia usaha, dua program besar ini membuka peluang baru. Yaitu digitalisasi menciptakan pasar teknologi layanan publik dan keamanan data, sementara MBG menghidupkan rantai pasok pangan lokal, manufaktur alat makan, dan jasa katering.
    Namun keduanya membutuhkan standar industri yang jelas agar tidak jatuh ke perang harga dan kualitas.

    Refleksi Progresif

    Transformasi digital dan gizi nasional sejatinya adalah dua sisi dari satu agenda, yakni membangun manusia Indonesia modern. Yang satu memperkuat kecerdasan sistem negara, yang lain memperkuat daya tahan tubuh bangsanya. Namun, tanpa reformasi birokrasi dan tata kelola yang disiplin, dua wajah ini bisa berakhir sebagai polesan ganda dari sistem lama. Ambisius di wacana, rapuh di lapangan.

    Pemerintahan Prabowo–Gibran telah memulai dua eksperimen besar yang akan menguji arah pembangunan Indonesia satu dekade ke depan. Apakah digitalisasi dan nutrisi akan menjadi instrumen kemajuan, atau sekadar alat legitimasi politik? Jawabannya bergantung pada satu hal sederhana tapi mendasar. Yaitu, kemampuan negara belajar dari kesalahan. Bukan sekadar menambah proyek baru. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Uslimin Usle

    Jurnalis jenjang utama (November 2012) dan penguji nasional pada Aliansi Jurnalistik Independen sejak 2013. 
    Aktif sebagai jurnalis pertama kali pada Desember 1993 di koran kampus PROFESI IKIP Ujungpandang (kini Universitas Negeri Makassar). 
    Bergabung sebagai reporter Majalah Dwi Mingguan WARTA SULSEL pada 1996-1997. Hijrah ke majalah DUNIA PENDIDIKAN (1997-1998) dan Tabloid PANCASILA (1998), lalu bergabung ke Harian Fajar sebagai reporter pada Maret 1999. 
    Di grup media yang tergabung Jawa Pos Grup, meniti karier secara lengkap dan berjenjang (reporter-redaktur-koordinator liputan-redaktur pelaksana-wakil pemimpin redaksi hingga posisi terakhir sebagai Pemimpin Redaksi  pada Januari 2015 hingga Agustus 2016).
    Selepas dari Fajar Grup, bergabung ke Kabar Grup Indonesia sebagai Direktur Pemberitaan pada November 2017-Mei 2018, dan Juni 2023 hingga sekarang, merangkap sebagai Pemimpin Redaksi KabarBursa.Com (Januari 2024) dan KabarMakassar.Com (Juni 2023). (*)