Logo
>

Apakah Rupiah Sempat Menguat Setelah Gabung BRICS? ini Faktanya

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Apakah Rupiah Sempat Menguat Setelah Gabung BRICS? ini Faktanya

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Pengamat pasar uang Ibrahim Assuaibi mengungkapkan, keputusan Indonesia bergabung dengan kelompok ekonomi BRICS sempat memicu optimisme di pasar keuangan domestik.

    Penguatan nilai tukar rupiah sesaat setelah pengumuman masuknya Indonesia ke dalam BRICS, kata dia, merupakan sesuatu yang sementara dan dipengaruhi oleh sentimen pasar dan bukan fundamental ekonomi yang solid.

    “Seandainya kemarin rupiah menguat karena Indonesia masuk BRICS, itu cuma karena rumor. Indonesia dianggap hebat karena berani menantang Amerika,” ujar Ibrahim kepada kabarbursa.com, Senin 13 Januari 2025.

    Menurutnya, dampak keanggotaan BRICS terhadap aliran modal asing dan stabilitas rupiah masih terbatas. Di sisi lain, kondisi ekonomi global masih cukup kuat ketika Bank Sentral Amerika menurunkan suku bunga 35 basis poin pada tahun 2025.

    Ditambah lagi dengan kebijakan proteksionis Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump diprediksi bakal ancaman bagi anggota BRICS.

    “Trump kemungkinan akan melakukan proteksi terhadap ekonominya dengan cara perang dagang. Ini sebenarnya yang membuat dolar menguat cukup tajam,” jelasnya.

    Ibrahim menilai, keberanian Indonesia bergabung dengan BRICS, meski harus membayar biaya keanggotaan yang signifikan, mencerminkan langkah strategis pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto.

    Namun, ia juga mengingatkan bahwa ancaman sanksi dari Amerika terhadap negara-negara yang menggunakan mata uang lokal di BRICS dapat menjadi tantangan besar di masa depan.

    “Prabowo Subianto berani membawa Indonesia masuk BRICS pada kondisi seperti sekarang, meskipun nantinya, jika Trump benar-benar menjadi presiden, ada ancaman sanksi 100 persen terhadap anggota BRICS yang menggunakan mata uang lokal,” tambah Ibrahim.

    Meski sempat ada penguatan rupiah, Ibrahim menyoroti bahwa aliran modal asing ke Indonesia belum menunjukkan peningkatan signifikan. Sebaliknya, tekanan terhadap rupiah dan pasar saham domestik masih terjadi, terutama di sektor teknologi dan komoditas seperti minyak mentah yang harganya menurun.

    “Kondisi seperti ini membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh, dan aliran modal asing mengalami pengeluaran. Kalau aliran dana asing keluar, pasti membuat rupiah melemah dan IHSG jatuh,” tegasnya.

    Keinginan Sejak Era SBY

    Wacara pemerintah untuk gabung ke poros ekonomi BRICS sudah mencuat sejak era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Wacana ini terus bergulir hingga masa Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, selama dua dekade tersebut, Indonesia menghadapi berbagai kendala untuk bergabung sebagai anggota resmi.

    “Sejak zaman SBY, baik di periode pertama maupun kedua, isu BRICS sudah kencang sekali. Begitu pula pada masa Jokowi. Namun, persyaratan untuk masuk sebagai anggota BRICS sangat berat. Ekonomi harus stabil dan tumbuh di angka 5 persen ke atas, baru bisa bergabung,” jelasnya.

    Ia mengingatkan, pada era SBY, wacana BRICS muncul di tengah tekanan ekonomi, termasuk pelemahan nilai tukar rupiah akibat penguatan dolar AS. Pada saat itu, gagasan menggunakan mata uang lokal sebagai alat transaksi bilateral muncul sebagai solusi untuk mengurangi ketergantungan pada dolar.

    “Saya masih ingat banyak sekali pernyataan dari mantan Presiden ke-6 tentang BRICS, apalagi saat itu terjadi krisis ekonomi akibat dolar yang begitu kuat. Ada secercah harapan untuk menggunakan mata uang lokal,” ujarnya.

    Memasuki era Presiden Jokowi, wacana bergabung dengan BRICS semakin menguat, meski Indonesia belum menjadi anggota resmi. Ibrahim mencatat, langkah konkret masuk BRICS mulai dilakukan dengan penerapan transaksi bilateral menggunakan mata uang lokal, terutama dengan mitra dagang utama seperti Tiongkok, Jepang, dan negara-negara ASEAN.

    “Perdagangan terbesar Indonesia menggunakan rupiah itu dengan Tiongkok. Selain itu, kita juga melakukan transaksi dengan Jepang, Korea, dan ASEAN menggunakan mata uang lokal,” ungkapnya.

    Namun, menurut Ibrahim, mata uang lokal masih belum mampu menandingi dominasi dolar AS. Bahkan saat pandemi Covid-19, dolar terus menunjukkan kekuatannya, mencapai puncaknya pada momen Lebaran dengan nilai tukar rupiah yang melemah hingga Rp16.000 per dolar AS.

    Meski negara-negara anggota BRICS telah menggunakan mata uang lokal, namun menurutnya porsinya belum signifikan melawan kedigdayaan dolar dan presentasenya masih sekitar 30-40 persen.

    Bergabung dengan BRICS membawa harapan besar untuk memperkuat posisi ekonomi Indonesia di kancah global, termasuk diversifikasi mata uang dalam transaksi internasional.

    “Meskipun mata uang rupiah belum kuat, tapi Indonesia sudah mulai melaiukan ekspor impor dengan negara-negara tetangga dengan menggunakan mata uang lokal,” terangnya

    Namun, Ibrahim menekankan bahwa pasar akan terus memantau apakah langkah ini benar-benar efektif mengurangi ketergantungan pada dolar AS.

    “Ini bukan hanya soal bergabung dengan BRICS, tapi juga bagaimana Indonesia bisa meningkatkan daya saing ekonomi dan memastikan mata uang lokal lebih berdaya di tengah dominasi dolar,” ujarnya. (*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.