KABARBURSA.COM – Ketua Komite Sustainability Asosiasi Perusahaan Batu Bara Indonesia (APBI) FH Kristiono, dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) menegaskan, batu bara masih tercatat akan digunakan hingga tahun 2055.
Di tengah dorongan global menuju energi bersih dan target net zero emission 2060, industri batu bara Indonesia tetap memiliki peran penting, setidaknya hingga beberapa dekade ke depan.
Namun, penggunaan tersebut bukan tanpa syarat. Sejumlah teknologi dan skema pendanaan besar diperlukan agar batu bara tetap relevan dan ramah lingkungan.
“Batu bara masih dipakai sampai 2055. Tapi tentu ada syarat. Harus retrofit, pakai amonia, biomass, dan carbon capture. Supaya emisinya bisa ditekan sampai nol,” kata FH Kristiono kepada awak media di Jakarta, Minggu, 1 Juni 2025.
FH Kristiono menyebut bahwa meski ke depan produksi batu bara untuk kebutuhan listrik akan cenderung menurun, namun cadangan batu bara Indonesia masih sangat besar. Oleh karena itu, batu bara tidak bisa begitu saja disingkirkan dari peta ketahanan energi nasional.
“Produksinya akan turun, tapi batu bara kita masih banyak. Jadi apa yang harus dilakukan? Ya tadi, dilakukan retrofit, campur biomass, dan carbon capture,” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa langkah-langkah tersebut akan menjaga Indonesia tetap berada di jalur netral karbon atau net zero emission.
“Emisinya akan berkurang, dan target net zero tetap bisa tercapai,” ujarnya.
Target Nol Emisi, tapi Biayanya Tidak Sedikit
Meski teknologi dan strategi sudah tersedia, tantangan terbesar tetap pada sisi pendanaan. FH Kristiono mengungkapkan bahwa untuk mencapai target netral karbon melalui pemanfaatan teknologi bersih di sektor batu bara, dibutuhkan investasi yang sangat besar.
“Kalau dihitung total, untuk batu baranya sendiri butuh sekitar 1.000 miliar dolar. Untuk grid-nya hampir 100 miliar dolar. Jadi total hampir 1.100 miliar dolar. Dibagi 30 tahun, ya sekitar 30 miliar dolar per tahun, atau sekitar Rp480 triliun setahun,” papar Kristiono.
Ia menambahkan, syarat keberlanjutan dalam RUKN telah diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No. 314 Tahun 2024. Di dalamnya disebutkan bahwa batu bara hanya bisa terus digunakan jika memenuhi tiga syarat utama.
“Satu, tersedia grant atau dana dari luar. Kedua, tidak boleh meningkatkan biaya listrik. Dan ketiga, sistemnya harus andal,” jelasnya.
Ancaman Ketidakstabilan Energi Terbarukan
Kristiono juga mewanti-wanti agar Indonesia tidak gegabah meninggalkan batu bara tanpa kesiapan infrastruktur dan teknologi pendukung yang memadai. Ia mencontohkan kejadian blackout di beberapa negara Eropa seperti Italia, Spanyol, dan Portugal yang terlalu bergantung pada energi terbarukan yang tidak stabil.
“Di Bali saja sempat dua hari mati listrik karena pasokan tidak stabil. Genset diburu. Itu karena terlalu banyak mengandalkan renewable yang saat itu tidak bisa diandalkan. Jangan sampai kita ikut-ikutan seperti itu,” ujarnya mengingatkan.
Batu Bara sebagai Simbol Kedaulatan Energi
Lebih jauh, FH Kristiono menekankan pentingnya melihat batu bara bukan hanya dari sisi ketahanan energi, tetapi juga dari aspek kedaulatan energi nasional. Menurutnya, Indonesia selama ini terlalu bergantung pada impor minyak dan gas.
“Selama ini kita impor minyak, impor gas. Padahal batu bara kita bisa diubah jadi minyak, bisa jadi gas. Ini soal kedaulatan, bukan sekadar ketahanan,” tegasnya.
Kristiono menilai bahwa batu bara bisa menjadi solusi strategis untuk menekan impor energi, sekaligus menjadi bahan bakar transisi apabila dikombinasikan dengan teknologi tepat guna.
FH Kristiono menegaskan bahwa Indonesia tidak menolak transisi energi, namun transisi harus dilakukan secara bertahap, realistis, dan berbasis pada kekuatan nasional yang sudah ada.
“Transisi itu bukan soal mengganti semua langsung. Tapi bagaimana menjaga keberlanjutan energi sambil tetap memenuhi komitmen lingkungan. Batu bara tetap relevan, selama teknologinya tepat dan pendanaannya jelas,” pungkasnya.(*)