KABARBURSA.COM – Harga batu bara memang belum jatuh, tapi rasanya sudah nyeri duluan. Di balik gegap gempita transisi energi dan tekanan pasar global yang makin ketat, industri batu bara nasional kini kian sulit bernapas. Bukan hanya karena harga acuan yang labil, tapi juga karena beban operasional yang terus membengkak dan regulasi yang makin banyak tapi belum tentu matang.
Situasi ini ditegaskan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Gita Mahyarani. Ia menyebut pelaku industri kini dibelit tantangan berlapis—mulai dari dinamika pasar global, tekanan domestik, hingga biaya produksi tambahan yang makin sulit ditekan.
"Para anggota kami tetap berkomitmen untuk mematuhi regulasi, termasuk dalam hal Harga batu bara Acuan (HBA). Namun, fluktuasi HBA selalu memicu reaksi pasar yang cepat. Pembeli cenderung ingin harga lebih murah dari penjual. Ini adalah mekanisme pasar global yang memang harus kita hadapi bersama," ujar Gita kepada awak media di Jakarta, Kamis, 29 Mei 2025.
Menurut Gita, tekanan harga tidak hanya terjadi karena permintaan dan penawaran global, namun juga akibat dinamika internal dari negara tujuan ekspor utama seperti China.
“Uniknya, batu bara domestik China saat ini dijual dengan harga yang lebih rendah dibandingkan batu bara impor. Selisihnya bahkan bisa mencapai USD2 per ton. Ini menciptakan tekanan harga yang tidak bisa kita abaikan, apalagi cadangan dan produksi batu bara mereka sangat besar,” jelasnya.
Gita menambahkan, tren harga batu bara global sejak 2023 sudah tidak sekuat pada 2022. Menurutnya, saat ini harga USD100 per ton saja sudah dikategorikan tinggi oleh pelaku pasar.
“Ini jelas menjadi tantangan besar bagi perusahaan tambang, terutama yang bergantung pada ekspor. Margin makin tipis, sementara beban operasional tidak ikut turun,” katanya.
Tantangan Teknis dan Finansial
Sementara itu, wacana penerapan teknologi rendah emisi seperti Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) yang mulai digulirkan pemerintah, dinilai belum aplikatif secara luas. Gita menyebut, kendala teknis dan biaya menjadi hambatan utama.
“Teknologi CCS dan CCUS sulit diterapkan di tambang terbuka karena sumber emisinya tersebar, bukan terpusat seperti di PLTU. Biayanya juga sangat tinggi, sehingga implementasinya masih jauh dari kata ekonomis bagi mayoritas pelaku industri,” ungkap Gita.
Di sisi lain, mekanisme carbon trading yang sudah diperkenalkan sejak 2024 belum menunjukkan geliat yang signifikan. Padahal, lanjut Gita, potensi reklamasi lahan tambang sebagai penyerap karbon sebenarnya cukup menjanjikan.
“Tapi karena harga karbon masih belum menarik, para pelaku industri belum melihat insentif yang cukup besar untuk ikut ambil bagian,” ujarnya.
Gita mengungkapkan kenaikan harga bahan bakar B40 setelah dicabutnya subsidi juga menjadi beban baru bagi perusahaan tambang. Kenaikan harga ini berdampak langsung pada biaya logistik dan operasional tambang.
“Biaya angkut bisa naik hingga USD 2 per ton. Harga B40 sendiri sekarang sudah mencapai Rp3.000 per liter. Ini tentu menambah beban produksi yang makin besar,” ujarnya.
Menurut Gita, tantangan seperti ini membuat pelaku industri berada dalam posisi serba sulit. Di satu sisi, harga jual global menurun, sementara di sisi lain, beban produksi terus meningkat.
Meski kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) belum menjadi hambatan signifikan bagi anggota APBI, Gita mengingatkan bahwa potensi perubahan regulasi yang tiba-tiba tetap menjadi perhatian serius.
“Kita tidak ingin kebijakan berubah di tengah jalan tanpa masa transisi yang memadai. Pelaku usaha butuh kepastian untuk menyusun strategi jangka panjang,” katanya.
Hilirisasi: Satu Perusahaan, Banyak Tantangan
Gita juga menyoroti kebijakan pemerintah yang mendorong hilirisasi batu bara. Menurutnya, dari seluruh anggota APBI, hanya satu perusahaan yang saat ini menjalankan proses hilirisasi secara aktif. Hal ini mencerminkan besarnya investasi dan kompleksitas teknis dari proyek semacam ini.
“Investasi hilirisasi bisa jauh lebih besar daripada membangun tambang itu sendiri. Nilai jual produk hilirisasi seperti DME juga masih tinggi, sehingga perlu subsidi agar dapat terserap pasar. Ini belum termasuk tantangan teknis seperti gasifikasi atau sintesis bahan bakar alternatif yang juga mahal dan rumit,” papar Gita.
Gita mengimbuhkan, pasar untuk produk hilirisasi belum sepenuhnya terbentuk. Padahal beberapa perusahaan telah menjajaki berbagai pendekatan teknologi, namun hasilnya belum signifikan.