KABARBURSA.COM - Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai tahun 2026 akan menjadi fase paling menentukan bagi pemerintahan Prabowo Subianto. Setelah masa transisi berakhir, seluruh arah kebijakan dalam APBN 2026 akan menjadi cerminan langsung kemampuan pemerintahan baru mengelola ekonomi.
“Pemerintahan Prabowo tidak bisa lagi menggunakan narasi mewarisi kondisi buruk Jokowi,” ujarR Wijayanto dalam paparannya Tantangan Ekonomi 2026, dikutip Selasa 9 Desember 2025.
Ia menegaskan bahwa APBN 2026 adalah anggaran pertama yang sepenuhnya dirancang presiden dan kabinet baru, sehingga pencapaiannya akan langsung dinilai publik. Program-program besar seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) pun akan diuji efektivitasnya di tahun tersebut.
“Program unggulan dan strategis nasional seperti MBG dan KDMP akan mulai nampak bentuk lengkapnya,” ucapnya.
Menurut dia, angka pertumbuhan ekonomi tahun itu akan menjadi penentu apakah target pertumbuhan 8 persen pada 2029 akan terwujud atau tidak
Risiko Eksternal: Mitra Dagang Melemah
Wijayanto juga menyoroti kondisi eksternal yang dinilai kurang mendukung. Meskipun ekonomi global diperkirakan pulih secara moderat, negara-negara tujuan ekspor utama Indonesia justru mengalami perlambatan.
Contohnya, proyeksi pertumbuhan China turun dari sekitar 4,8 persen menjadi 4,2 persen. India juga melemah ke 6,2 persen, sementara Jepang merosot ke 0,6 persen. Kondisi serupa terlihat di Malaysia yang hanya diperkirakan tumbuh 4,0 persen, Filipina 3,9 persen, Amerika Serikat naik tipis dari 2,0 persen menjadi 2,1 persen, dan Korea Selatan dari 0,8 persen menjadi 1,8 persen.
Ia menyebut rata-rata perlambatan pertumbuhan negara mitra dagang utama mencapai sekitar 0,3–0,4 poin. Situasi tersebut diperburuk oleh ketidakpastian perdagangan global akibat kebijakan tarif baru Amerika Serikat.
“Kondisi ini menyebabkan potensi pertumbuhan volume ekspor Indonesia 2026 terhambat,” katanya.
Tekanan Baru dari Komoditas
Lebih lanjut, Wijayanto mengingatkan bahwa ketergantungan Indonesia pada ekspor berbasis komoditas membuat perekonomian rentan terhadap volatilitas harga.
Untuk diketahui, Sekitar 60 persen ekspor Indonesia adalah komoditas, Ia mencatat enam komoditas utama masih mewakili 42 persen nilai ekspor nasional.
Namun, tiga komoditas terbesar yaitu batubara, CPO, dan nikel tengah mengalami penurunan harga dalam setahun terakhir. Sementara beberapa komoditas lain seperti tembaga, LNG, dan timah mencatat penguatan, kontribusinya belum cukup besar untuk menutup pelemahan pada komoditas utama tersebut.
Kombinasi antara pelemahan harga komoditas, perlambatan negara mitra dagang, dan ketidakpastian global dinilai berpotensi membatasi kinerja ekspor tahun depan.(*)