KABARBURSA.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami surplus sebesar Rp 4,3 triliun, setelah sebelumnya mencatat defisit selama tiga bulan pertama tahun ini.
Surplus tersebut setara dengan 0,02 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
"Terjadi pembalikan dari yang tadinya tiga bulan berturut-turut defisit, posisi akhir April APBN kita mengalami surplus Rp 4,3 triliun," ujar Sri Mulyani saat menyampaikan laporan kinerja APBN KiTA dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Jumat 23 Mei 2025.
Kondisi ini mencerminkan bahwa pendapatan negara berhasil melampaui belanja yang dikeluarkan.
Hingga akhir April, pendapatan negara terkumpul sebesar Rp810,5 triliun atau 27 persen dari total target tahun ini.
Sementara itu, belanja negara berada sedikit di bawahnya, yakni Rp806,2 triliun atau sekitar 22,3 persen dari target belanja nasional.
Perubahan arah fiskal ini, menurut Sri Mulyani, dipicu oleh percepatan di sisi penerimaan negara yang mengimbangi tekanan belanja.
Sebelumnya, kondisi defisit terjadi akibat lambatnya penerimaan, khususnya dari sektor perpajakan.
"Januari-Maret waktu itu kita membukukan defisit karena terutama penerimaan pajak kita yang mengalami beberapa shock seperti restitusi dan adanya adjustment terhadap penghitungan TER," jelasnya.
Rincian dari total pendapatan negara yang mencapai Rp810,5 triliun menunjukkan kontribusi utama berasal dari pajak sebesar Rp557,1 triliun.
Diikuti oleh bea dan cukai yang menyumbang Rp100 triliun, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang mencapai Rp153,3 triliun.
Sementara itu, total belanja hingga April terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp546,8 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp259,4 triliun.
Belanja pemerintah pusat tersebut terbagi menjadi dua pos besar, yaitu belanja kementerian/lembaga (K/L) senilai Rp253,6 triliun dan belanja non-K/L sebesar Rp293,1 triliun.
Di sisi lain, keseimbangan primer juga menunjukkan angka positif, yang menjadi indikator penting dalam pengelolaan anggaran.
"Keseimbangan primer surplus Rp173,9 triliun dan total postur surplus Rp4,3 triliun," ungkap Sri Mulyani.
Sebagai informasi, jika merujuk pada data terakhir per 30 April 2025, yang dipaparkan oleh Sri Mulyani, penerimaan perpajakan secara keseluruhan telah menyumbang Rp657 triliun atau 26,4 persen dari target, terdiri dari penerimaan pajak (25,4 persen) dan bea-cukai (33,1 persen). Adapun PNBP telah terkumpul 29,8 persen dari total target.
Sementara itu, belanja negara yang ditetapkan sebesar Rp3.621,3 triliun untuk tahun ini telah terealisasi 22,3 persennya. Realisasi transfer ke daerah bahkan mencatatkan capaian cukup tinggi dengan 28,2 persen dari total alokasi.
Dengan surplus keseimbangan primer mencapai Rp173,9 triliun, jauh berbalik dari estimasi defisit Rp 63,3 triliun dalam rancangan APBN.
Lima Poin Penting Surplus APBN Bagi Investor
Surplus APBN sebesar Rp4,3 triliun yang diumumkan Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi kabar segar bagi pelaku pasar. Setelah tiga bulan berturut-turut berada di zona defisit, keuangan negara akhirnya mencatat posisi lebih sehat pada akhir April 2025.
Bagi investor, ini bukan sekadar angka, melainkan sinyal yang bisa memengaruhi arah keputusan investasi, baik di pasar saham maupun obligasi.
Berikut lima hal yang perlu dicermati investor dari surplus ini:
1. Stabilitas Fiskal Mulai Terjaga
Surplus anggaran menjadi penanda bahwa kondisi fiskal Indonesia masih dalam kendali. Pendapatan negara, yang mencapai Rp810,5 triliun, berhasil melampaui belanja yang sebesar Rp806,2 triliun. Ini menunjukkan pengelolaan APBN yang disiplin dan responsif terhadap dinamika ekonomi.
Investor umumnya lebih percaya diri menempatkan dana ketika melihat negara menjaga akuntabilitas fiskal. Stabilitas ini penting, apalagi di tengah gejolak global dan ketidakpastian suku bunga internasional.
2. Sinyal Positif untuk Rupiah dan Pasar Obligasi
Keseimbangan primer yang juga mencatat surplus hingga Rp173,9 triliun menjadi sorotan tersendiri. Artinya, pemerintah bisa membiayai pengeluaran rutin tanpa perlu terlalu bergantung pada utang baru.
Bagi pasar obligasi, ini kabar baik. Imbal hasil surat utang negara (SUN) bisa tetap atraktif dengan risiko yang lebih rendah.
Di sisi lain, rupiah berpotensi lebih stabil karena tekanan dari sisi defisit anggaran menurun. Kombinasi ini jadi incaran investor asing yang mengutamakan kestabilan makroekonomi.
3. Ruang Fiskal untuk Dorong Sektor Strategis
Dengan kas negara yang lebih longgar, pemerintah memiliki ruang tambahan untuk menyalurkan belanja ke sektor-sektor prioritas, seperti infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.
Untuk investor saham, ini berarti ada peluang di sektor konstruksi, ritel, dan layanan publik yang biasanya terdongkrak oleh belanja negara.
Data yang menunjukkan realisasi belanja kementerian dan transfer ke daerah mencapai 22–28 persen dari target juga menjadi indikator bahwa belanja fiskal sudah mulai bergerak aktif.
4. Potensi Turunnya Tekanan Bunga Acuan
Stabilitas fiskal dapat memberikan ruang lebih luas bagi Bank Indonesia untuk mempertahankan atau bahkan menurunkan suku bunga acuan jika diperlukan. Bagi pasar saham, hal ini bisa mendorong sentimen positif.
Suku bunga yang lebih rendah akan membuat biaya pinjaman lebih murah bagi emiten dan meningkatkan konsumsi masyarakat. Dua faktor ini dapat menopang kinerja sektor-sektor sensitif terhadap bunga, seperti properti, perbankan, dan barang konsumsi.
5. Meningkatkan Daya Tarik Pasar Indonesia di Mata Investor Global
Kondisi fiskal yang kembali surplus memberi narasi yang kuat bahwa Indonesia masih termasuk negara berkembang dengan tata kelola anggaran yang baik.
Ini penting bagi investor institusional asing yang biasanya sangat memperhatikan risiko fiskal sebelum menempatkan dana dalam jumlah besar.
Di tengah ketidakpastian pasar global, kabar surplus APBN menjadi pembeda yang bisa meningkatkan aliran modal ke Indonesia, terutama pada instrumen berdenominasi rupiah.
Jadi, bagi investor, surplus APBN bukan hanya berita baik untuk pemerintah. Ini adalah sinyal yang memperkuat fondasi makro Indonesia dan membuka peluang strategis di pasar keuangan.
Saat fiskal menunjukkan ketahanan, maka risiko sistemik ikut menurun dan itulah yang membuat pasar jadi lebih menarik.(*)